Di era post-truth, informasi telah mati. Ia sudah tak terlalu dipercaya karena semua sudah bisa membikin informasi sendiri, sesuai kepentingan masing-masing.
Percaya tak percaya, kepercayaan pada informasi memang mengalami penurunan. Seiring maraknya bermacam narasi yang saling membenarkan kepentingan masing-masing.
Sehingga, kebenaran sudah bukan lagi urusan data atau fakta. Tapi didominasi ikatan emosi dan perihal-perihal di luar konteks benar-salah itu sendiri. Sebab, ini zaman ketika data dan fakta bisa diproduksi oleh perasaan kepentingan.
Memang benar, kita sedang memasuki era pasca-kebenaran (post-truth) —suatu keadaan di mana ‘kebenaran’ tak lagi bernilai atau berpengaruh. Sebab semua bisa menyajikan fakta kebenaran sesuai keyakinan masing-masing.
Bukan sekadar mitos, pasca-kebenaran memang benar-benar ada di muka bumi. Banyak yang meratapi, tapi banyak pula yang merayakannya. Sebab, semua orang kini bisa mendirikan sejarah kebenaran sesuai kepentingan.
YD. Anugrahbayu, seorang esais dan peminat filsafat, dalam satu esainya mengatakan jika di era post-truth, kita hanya perlu menyukai atau membenci. Sesuatu bisa benar hanya karena disukai, atau sebaliknya, sesuatu bisa salah hanya karena dibenci.
Pasca kebenaran, pada akhirnya, tak berasal dari planet mana pun, kecuali dari diri manusia sendiri: diri yang selalu mau merasa benar, diri yang tak mau salah. Begitu katanya.
Pasca-kebenaran sedikit banyak menjawab kebutuhan dasar jiwa manusia, yang dengan jeli ditangkap Sigmund Freud dalam self-defense mechanism: kebutuhan untuk merasa benar. Atau, dirumuskan secara lain: kehendak tak mau salah.
Post-truth serupa apa yang jauh-jauh hari digambarkan George Orwell dalam novel 1984. Tentang sebuah negara yang mengganti catatan sejarah tiap hari, agar sesuai dengan narasi propaganda saat itu.
Orwell bahkan menggambarkan sebuah lembaga unik bernama Kementerian Kebenaran (The Ministry of Truth) yang menghancurkan secara mudah imaji yang tak sesuai narasi.
Istilah pasca-kebenaran diperkenalkan Steve Tesich di majalah The Nation ketika menulis tentang perang Teluk dan Iran (1992) dan dipopulerkan oleh penulis Amerika, Ralph Keyes (2004) dalam bukunya, The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life.
Menurut keterangan Keyes, dulu kita hanya kenal benar atau palsu, jujur atau bohong. Sekarang, kita cenderung akan memaafkan orang yang menambah fakta dengan bumbu kebohongan. Begitulah sifat Pasca Kebenaran.
Kamus Oxford, dikutip dari remotivi.or.id, bahkan menjadikan post-truth sebagai “word of the year” tahun 2016. Berdasar keterangan editornya, jumlah penggunaan istilah itu, pada 2016, mengalami peningkatan hingga 2000 persen bila dibanding 2015.
Sebagian besar penggunaan istilah post-truth merujuk pada dua momen politik paling berpengaruh di tahun 2016. Yakni keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat.
Di mana, tahun-tahun itu, Eropa dan Amerika dipenuhi hujan narasi hoax. Inilah era ketika fakta dan opini dicampur sehinggga kita tidak tahu lagi mana yang fakta dan mana yang opini.
Di era post-truth, batas antara fakta dan fiksi, jujur dan bohong, serta benar dan salah menjadi kabur. Peristiwa yang sederhana dan tidak penting dijadikan masalah besar karena dibesar-besarkan.
Sialnya, era internet memperburuk ini semua. Kualitas berita dan pesan-pesan diukur dari banyaknya jumlah pengikut dari si pembawa pesan. Berita, meskipun tidak sesuai fakta, menjadi trending ketika diulang-ulang.
Post-Truth dalam Ingatan Kolektif Kita Semua
Kasus paling segar yang mungkin masih ada di ingatan kita semua, adalah riuhnya tagar #ReformasiDikorupsi dan #STMmelawan beberapa pekan silam. Kita bisa merasakan betapa fenomena post-truth benar-benar ada di depan mata.
Dalam keriuhan tersebut, ada dua narasi besar yang seolah saling bertentangan. Pertama, aksi yang dilakukan anak STM murni sebagai panggilan jiwa, empati dan keberpihakan pada demokrasi.
Sedang narasi yang kedua, aksi yang dilakukan anak STM tidak murni dan ditunggangi sosok-sosok elit politik yang ingin menggoyah stabilitas negara.
Dari sana, kita bisa melihat betapa post-truth mampu mengaburkan makna kebenaran. Fakta dan data sudah tak penting. Yang paling penting adalah keberpihakan emosional. Itulah post-truth.
Pada kasus tersebut, sebagai manusia yang berjalan menggunakan logika dan menyisakan ruang nurani sebagai pegangan hidup, tentu kita tahu, pada kebenaran mana kita harus berpihak.
Memang, ciri utama pada era post-truth adalah dijadikannya rumor dan desas desus sebagai bahan dasar utama membikin kisah pemicu empati.
Teori otak atik gatuk dikembangkan menjadi teori konspirasi yang menggambarkan ada perkara serius di balik sebuah kejadian yang sederhana. Yang sebenarnya tak ada apa-apa.
Di era post-truth, kebenaran tak seluruhnya ditinggalkan. Tapi dibedaki dengan kosmetik bikinan sendiri sesuai tujuan dan selera pengedar pesan. Makin lama orang makin canggih dan terampil dalam mengolah kebohongan menjadi kebenaran superfisial.
Etika menjadi relatif dan dikompromikan. Untuk membenarkan tindakan bohong, bila perlu nilai-nilai yang diyakini kita sesuaikan dengan maksud kita. Bohong, menyesatkan, dan menipu musuh dan lawan menjadi barang yang halalan thoyiban.
Maka, agar ia tak mati dan ditinggalkan, informasi pun mengalami metamorfosis. Informasi kini berbentuk infografis, video looping, photo looping, hingga komik. Apapun itu, asal disajikan secara berbeda, setidaknya bisa tetap diperhatikan.
Tak hanya dalam bentuk. Dalam isi pun berbeda. Ia disajikan secara dekonstruktif dan alternatif. Di Indonesia, itu ditandai munculnya media-media alternatif serupa Jurnaba.
Pertama dipost 16 Oktober 2019