Jika memang surat ijin membuka hutan Keracil diberikan Belanda pada Karolus Wiryoguno, kenapa dalam sejumlah literatur zending Belanda mengatakan bahwa Ditrotuno lah sang pembabat Hutan Keracil? Hmm.
Mojowarno, pernah dengar kan? Siapa sih yang nggak kenal “Desa Kelahiran Gereja Kristen Jawi Wetan” itu. Tapi, tahukah kamu siapa sang pembabat wilayah Hutan Keracil yang dahulunya bagian dari wilayah Mojowarno kini?
Iya, dialah Karolus Wiryoguno. Dia lahir di Bangkalan pada 1809.
Wiryoguno merupakan anak ketiga dari enam bersaudara yang lahir dari pasangan Raden Abdurrasid atau Pangeran Tjokrokoesoemo yang merupakan putra ke-25 dari Sultan Cokroadiningrat II (Sultan Bangkalan II), dengan istri tertuanya, Bok Hanafiah alias Dorkas yang silsilah keturunannya menghadap langsung ke Raden Haryo Pecat Tondoterung, seorang bupati di Kabupaten Terung.
Wiryoguno memiliki nama kecil Paing. Nama ‘Wiryoguno’ didapatnya ketika ia belajar mendalang kepada Pak Kunto di Desa Karungan, Sidoarjo.
Penggunaan nama Wiryoguno didapatnya agar ketika ia bertindak sebagai pendalang, terlihat lebih berwibawa dan mempunyai sisi daya tarik yang menarik.
Ketika masih muda, Paing sangat menyukai ilmu-ilmu kebatinan dan kanuragan. Ia mendapatkan ilmu-ilmu itu dengan cara berguru dan bertapa.
Menurut pemahamannya, bila seseorang telah mendapatkan ilmu kanuragan dalam kehidupannya, maka ia akan disegani dan dihormati oleh orang lain.
Perjalanan mencari ilmu kanuragan inilah yang mengantarkan Paing dari pelosok Surabaya hingga ke pelosok Jember.
Ilmu-ilmu kanuragan yang didapat Paing diantaranya: Sepi Angin, Lelimunan, Bala Srewu, Bandhung Bandawasa, Brama Kendhali, dan lain sebagainya. Melalui ilmu-ilmu itu, Paing menjadi manusia yang sakti mandraguna dan tak tersaingi.
Suatu saat, Wiryoguno bertamu ke rumah dalang pak Kunto.
Di rumah Pak Kunto itu, Wiryoguno mendapat cerita bahwa di persil Ngoro terdapat seorang yang mampu mengajarkan “ilmu baru”. Orang yang dimaksud oleh Pak Kunto adalah Coenraad Lourens Coolen yang mengajarkan ilmu tiga rapal.
Pada saat bersamaan, Wiryoguno juga bercerita pada pak Kunto bahwa selama bersemedi, ia menerima penglihatan seakan-akan ia berjumpa dengan sosok yang mempunyai rambut panjang, dengan berpakaian serba putih yang menyuruhnya (Wiryoguno) untuk mencari Ilmu Musqab Qaib.
Karena tertarik dengan cerita Pak Kunto, maka Wiryoguno mengajak Pak Kunto untuk menemaninya pergi ke persil Ngoro. Ia mengajak Pak Kunto dengan tujuan agar gurunya dapat membuka rahasia mengenai ilmu musqab qaib.
Pada waktu yang telah ditentukan sebelumnya, mereka berdua pergi melewati jalan menuju ke arah Japan (Modjokerto), berlanjut ke wilayah Wirosobo (Modjoagoeng), melawati wilayah Kerandon (Selorejo) hingga ke Rowo Mlaten, kemudian berbelok ke wilayah Bowotruno (Bedok) lalu melewati Sugihwaras, Gajah, Kwarengan, Delik dan tibalah mereka berdua di persil Ngoro.
Rute yang dilalui oleh Wiryoguno dan Pak Kunto merupakan jalan melingkar tepi barat dari Hutan Keracil yang terkenal angker itu.
Selama perjalanan melewati Hutan Keracil ini, Wiryoguno sempat memiliki keinginan untuk mewujudkan keinginan ayahnya, yakni memiliki tanah lapang yang luas untuk tempat tinggal keturunannya. Maka, yang diinginkan oleh Wiryoguno tentu saja Hutan Keracil yang angker.
Akhirnya mereka sampai di persil Ngoro dan ketika bertandang di sana, Wiryoguno tak sengaja bertemu dengan kawan lamanya sewaktu di Kedungturi yang bernama Singotruno.
Singotruno sendiri merupakan orang kepercayaan Coolen. Wiryoguno dan pak Kunto akhirnya dapat berjumpa langsung dengan Coolen. Singotruno membeberkan maksud kedatangan para tamunya kepada Coolen.
Paparan yang disampaikan oleh Coenraad Lourens Coolen membuat Wiryoguno semakin tertarik untuk mendalami ilmu tersebut, yang tak lain dan tak bukan adalah ajaran Nasrani.
Bahkan Wiryoguno berjanji akan membuang ilmu-ilmu lama dan segala jimat yang telah ia pelihara sejak bertahun-tahun itu, demi mempelajari ajaran Nasrani.
Wiryoguno dan keluarganya melakukan pembaptisan kudus di GPI Surabaya dengan dipimpin langsung oleh Pendeta Van Meyer. Sejak saat itu, namanya jadi Karolus Wiryoguno.
Setelah pembaptisan selesai digelar, Pendeta Van Meyer & J. Emde menyampaikan bahwa ia telah memberikan permohonan surat ijin untuk membuka (membabat) Hutan Keracil.
Sehari setelah hari pembaptisan, Karolus Wiryoguno dan adiknya, Samodin Simson serta J. Emde pergi menemui Tuan Residen Surabaya, PJB De Perez di kantornya.
Dalam pertemuan itu, PJB De Perez menanyai berbagai macam hal kepada Karolus Wiryoguno. Mulai dari kesiapannya untuk membuka hutan Keracil hingga apabila desa-desa yang baru berdiri itu, ia harus menunjuk siapa penanggung jawab sebagai lurah.
Setelah itu, apabila telah berdiri desa-desa itu, maka perlu di bangun jalan yang tembusannya menuju Gambiran, Wirosobo agar bila telah selesai, dapat diresmikan oleh pembesar negeri.
Setelah pertemuan dengan Tuan Residen, mereka masih menunggu di luar untuk mendapat surat ijin dengan dilampiri surat pengantar pada Asisten Residen di Japan. Satu jam berikutnya, mereka bertiga meninggalkan kantor Karasidenan dan berangkat ke rumah J. Emde.
Pada 21 April 1844, setelah serangkaian surat pengantar yang diserahkan ke asisten Residen Japan (Mojokerto) dan penyerahan surat perintah yang ditujukan untuk Wedana di Wirosobo telah rampung.
Maka Karolus Wiryoguno memutuskan untuk menuju ke Kerandon (Selorejo) dengan didampingi oleh 4 (empat) orang Lurah yang wilayahnya berbatasan dengan Hutan Keracil.
Setelah itu mereka memasuki hutan lebat yang terkenal angker yakni Hutan Keracil. Mereka menyusuri tepi Sungai Jiken menuju desa yang bernama Dagangan.
Ketika sampai di Dagangan, mereka berjumpa dengan Ditrotuno berserta 2 (dua) orang saudaranya. Kedatangan Karolus Wiryoguno dan keempat lurah tentu saja mengejutkan dan menakutkan mereka karena mereka adalah orang-orang yang bersembunyi dari pelarian.
Beberapa lurah memberikan paparan akan maksud kedatangan mereka di dusun itu. Mereka mendengarkan dengan seksama akan paparan itu, hingga hilanglah keraguan mereka terhadap rombongan Karolus Wiryoguno.
Akhirnya Ditrotuno berjanji akan membantu Karolus Wiryoguno membabat Hutan Keracil.
Bila memang surat ijin membuka hutan Keracil adalah Karolus Wiryoguno, kenapa dalam beberapa literatur zending Belanda mengatakan bahwa Ditrotuno lah sang pembabat Hutan Keracil?
“Perlu diingat bahwa memahami sejarah Mojowarno adalah ketika kejadian sejarah itu berlangsung. Bukan Mojowarno yang saat ini kita kenal, tapi Mojowarno pada saat kejadian itu terjadi.”