Tradisi dari masa silam, dan visi pemberdayaan di masa depan.
Puluhan kendaraan terparkir rapi di halaman Makbaroh Tenggor, Sudu, Gayam pada (30/7/2023). Sejumlah pengunjung terlihat wira-wiri sambil bersalam-salaman. Sepintas, suasana sangat mirip Idul Fitri. Mereka yang terlihat bersalam-salaman, tak lain adalah pertalian keluarga besar Bani Syahid (Al- Basya) yang hadir dari sejumlah kabilah keluarga.
Nuansa haru-bahagia tak bisa dihindari. Mengingat, ini pertemuan pertama setelah puluhan tahun tak pernah ada pertemuan keluarga besar Bani Syahid (Basya) sebelumnya. Padahal, tradisi Rihlah Silaturahim sudah dijalankan Bani Syahid sejak puluhan tahun lalu. Pasca tragedi 1965, tradisi itu sempat hilang. Dan ini hari pertama mereka kembali berjumpa.
Bani Syahid terdiri dari 20 kabilah yang merupakan putra-putri Syekh Syahid Syihabuddin, seorang ulama pendiri Pesantren Kembangan yang terletak di Dusun Kembangan, Desa Sudu, Kecamatan Gayam, Bojonegoro.
Di antara kabilah yang hadir dalam kegiatan itu, adalah Kabilah Mbah Syarif Kedungkebo, Mbah Jenal Kedongkebo, Mbah Sanusi Mbarangan, Mbah Nurkhazin Kembangan, Mbah Yakub Trembes, Hajah Rusmijah Panjunan, dan Hajah Wuryati Kembangan.
** **
Mbah Kiai Qomari (83 th), tampak seksama melihat sekitar. Sesekali ia menghela napas panjang. Matanya terlihat berkaca-kaca, tapi raut bahagia tak bisa disembunyikan. Maklum, ini kali pertama beliau berkunjung ke makbaroh Tenggor Gayam, setelah puluhan tahun tak melakukannya.
Mbah Qomari berasal dari Kedungkebo Senori Tuban. Tepatnya Kabilah Syarif Kedungkebo. Beliau masih ingat, saat berusia 10 tahun, sering diajak sang kakek (Kiai Syarif Kedungkebo) untuk melakukan rihlah silaturahim. Kegiatan itu dilakukan bersama keluarga besar Kiai Jenal Kedungkebo.
Mbah Qomari bahkan masih ingat rute yang dilewati, saat melakukan rihlah. Dari Kedungkebo Senori, rombongan berangkat menuju Trembes Malo, untuk menemui keluarga Kiai Yakub Trembes. Lalu menyebrang sungai menuju Panjunan Kalitidu, menemui keluarga Hajah Rusmijah Panjunan.
Rombongan lalu melanjutkan perjalanan menuju Kembangan Gayam, untuk menemui keluarga Hajah Wuryati. Setelah itu, bersama-sama ziarah di makam Syekh Syahid Kembangan yang terletak di makbaroh Tenggor Gayam.
Setelah berziarah di makam Syekh Syahid Kembangan, rombongan bergegas menuju Petak Gayam, bersilaturahim pada Syekh Ahmad Basyir Petak. Lalu dilanjutkan menuju Klotok Padangan, untuk berziarah ke makam Syekh Abdurrohman Klotok.
“Itu dilakukan dengan berjalan kaki, rutin tiap Jumat Pahing” kata Mbah Qomari.
Bani Syahid memaknai Tradisi Rihlah sebagai perjalanan menuju tempat saudara, dalam ragka silaturahim, sowan, atau mengaji. Dan itu selalu dilakukan dengan berjalan kaki. Hal ini tentu sesuai zaman. Sebab, waktu itu belum banyak kendaraan.

Sementara itu, Mbah Kiai Sulaiman (81 th), juga terlihat bahagia. Hari ini, beliau bisa berjumpa kawan-kawan lama sekaligus para saudara, yang lama tak dijumpa. Mbah Sulaiman berasal dari Kembangan Gayam, tepatnya dari Kabilah Nurkhazin Kembangan.
Mbah Sulaiman bercerita, Bani Syahid sangat terkenal dalam hal silaturahim. Sebab, silaturahim menjadi lakon dan riyadhoh yang rutin dilakukan. Tak heran jika keluarga yang membentang dari Tuban hingga Padangan, selalu terpaut secara emosi dan perasaan.
Tradisi silaturahim ini, bahkan sudah dilakukan jauh sebelum beliau lahir. Pada zaman kakek-kakeknya, tradisi Rihlah Silaturahim ini sudah ada. Waktu itu, pos-pos utamanya ada di Padangan dan Jojogan (Singgahan Tuban). Sebab, leluhurnya berasal dari dua tempat itu.
Beliau bercerita, keluarga besar juga memiliki tempat dan momen-momen pertemuan. Di antaranya adalah Bukit Jojogan. Keluarga besar akan saling berjumpa saat Haul Jojogan. Sebab, Bani Syahid adalah dzuriyah jalur lelaki dari Syekh Abdul Jabbar Jojogan.
“Selain Padangan, dulu pos pertemuan keluarga ada di Jojogan (Singgahan Tuban).” kenang Mbah Sulaiman.
Silaturahim sebagai Kekuatan Sosial
Silaturahim yang dilakukan Bani Syahid secara turun temurun itu, tak hanya ditujukan sebagai rutinitas. Tapi juga memuat banyak perihal baik. Di antaranya pemberdayaan sosial: saudara yang kekurangan akan dibantu saudara yang berkecukupan.
Tradisi Rihlah Silaturahim sudah dilakukan sejak zaman penjajajahan. Zaman perang dan penuh kesusahan. Dan di saat itu, keluarga menjadi satu-satunya pilar yang mampu jadi penopang untuk saling menguatkan.
Sayangnya, sejak konflik 1965, Tradisi Rihlah Silaturahim tak lagi dilakukan. Sejak saat itu, pertemuan keluarga sebatas dilakukan saat salah satu keluarga sedang ada gawe. Sehingga, ada 3 sampai 4 generasi yang sempat tak mengenal tradisi Rihlah Silaturahim. Untungnya, catatan manuskrip dan saksi hidup masih ditemukan.
Yayasan Bani Syahid
Agus Nurhasyim, Ketua Panitia Silaturahim Bani Syahid (Basya) 2023 mengatakan, perjumpaan Bani Syahid ini jadi momentum yang sangat menggembirakan. Sebab, terhitung sejak 1965 sampai saat ini (58 tahun), keluarga besar kembali dipertemukan secara formal.
“Ini momentum yang wajib disyukuri” ucap Agus.
Agus menyatakan, rasa syukur harus visioner dan diwujudkan dalam bentuk nyata. Dia beserta para saudara (generasi muda Bani Syahid) bercita-cita mendirikan yayasan berbasis keluarga. Sebuah yayasan sederhana yang bergerak di bidang pemberdayaan keluarga. Agus meyakini bahwa gerakan sosial paling ampuh berawal dari keluarga.
“Tidak usah jauh-jauh, dari keluarga dan untuk keluarga dulu”. Ucap Agus.
Dia dan para saudara bercita-cita ingin mendirikan yayasan yang fokusnya membantu menyekolahkan yang kurang mampu, dan membantu mencarikan atau membuat lapangan kerja bagi yang belum mendapat pekerjaan.
“Ini semua diniati sebagai rasa syukur sekaligus tafaulan (meniru) apa yang dilakukan Mbah Syahid” pungkasnya.