Saya tidak pernah menyangka saya bisa mengunjungi suku Baduy. Sebenarnya perjalanan ini berawal karena saya ingin menonton konser Rimpang dari band Efek Rumah Kaca yang digelar di Tenis Indoor senayan kamis 27 Juli lalu.
Saya pikir akan sangat rugi sekali jika saya sudah datang jauh-jauh ke Jakarta hanya untuk menonton konser terus balik lagi ke Mojokerto. Maka saya pun mempersiapkan beberapa opsi diantaranya melihat pameran Van gogh atau open trip ke Pulau Pari.
Setelah menimang-nimang kedua pilihan tersebut, saya pun ingat saya pernah follow akun open trip suku Baduy, maka dengan semangat membara saya mulai stalking dan memastikan bahwa akun tersebut real keberadaannya.
Ketika itu saya langsung DM dan setelah tanya tanya, saya pun segera booking untuk keberangkatan tanggal 29-30 Juli, harga open trip ini pun tergolong murah hanya 200K saja mepo Rangkasbitung.
Hari Kamis, tanggal 27 Juli saya pun berangkat ke Jakarta via pesawat, mencoba salah satu maskapai ‘baru’ milik pertamina, Pelita Air yang ternyata maskapai lawas hanya saja dulu hanya dikhususkan untuk urusan-urusan pertamina. Berangkat dari Juanda kira-kira pukul 10.40 dan sampai di Soekarno Hatta pukul 12.15 tepat.
Setelah beristirahat sebentar, saya naik Damri dari bandara menuju hostel di daerah senayan untuk malamnya mengikuti ‘kamisan’ dengan Efek rumah kaca.
Lepas menikmati penampilan memukau dari Cholil dkk yang sangat-sangat emosional bagi saya pribadi– karena saya bisa menyaksikan konser tunggal dari band yang sudah saya nikmati lagunya sedari SMP.
Konser berakhir sekitar pukul 22.30 dan saya langsung menuju ke hostel untuk beristirahat, nasib remaja jompo, berdiri 3 jam ternyata membuat saya harus memakai salonpas di sepanjang telapak kaki dan betis padahal niat saya mumpung di Jaksel, kan saya mau nongkrong cantik gitu…
Hari jumat saya habiskan untuk sekedar rebahan namun kemudian setelah check out hostel dan menuju ke hostel lainnya, iseng saya cek jadwal KRL dan memutuskan untuk ke Bogor setelah sebelumnya menitipkan carrier ke resepsionis.
Asiknya jalan-jalan di Jakarta itu transportasi umum sangat memadai dan banyak pilihan, dengan membeli tiket 5K saja saya sudah bisa ke Bogor dari setasiun Manggarai.
Untuk teman-teman yang baru pertama kali naik KRL, kalian bisa beli tiket via Gojek dan scan barcode untuk masuk atau keluar stasiun. Akses mudah, papan informasi juga jelas.
Setelah dari Bogor saya balik menuju hostel dan beristirahat, mempersiapkan esok hari menuju stasiun Rangkasbitung sebagai tempat meeting point open trip ke baduy. Dari stasiun Tanah Abang ke rangkasbitung memakan waktu 2 jam dengan tiket 8K.
Saya berangkat jam 07.40 dan sampai di Rangkas sekitar pukul 09.30. Sampai disana sudah banyak teman-teman yang sama sama akan mengunjungi Baduy dengan menggunakan jasa open trip yang sama.
Setidaknya ada 10 elf yang sudah menanti kedatangan kami. Dari total peserta kira-kira 150 orang dibagi dalam 10 kelompok. Saya masuk di kelompok 8 setelah absen kami segera naik elf menuju pos Cikuem yang akan ditempuh dengan waktu 1.5 jam.
Sebenarnya untuk menuju ke Baduy ada 2 pos, Ciboleger dan Cikuem. Untuk start berangkat kami akan via Cikuem sementara untuk pulang via Ciboleger. Trekking via Cikuem ditaksir menempuh perjalanan 5-6 jam paling lama.
Sampai di Cikuem kita bisa ishoma terlebih dahulu sebelum memulai trekking. Setelah selesai TL/team leader mengenalkan kepada kami orang-orang baduy dalam yang rumahnya akan kami tinggali. Saya dan kawan-kawan kelompok 8 akan tinggal di rumah Ayah Juli.
Setelah perkenalan singkat trekking dimulai sekitar pukul 14.00. Orang-orang Baduy juga menawarkan jasa porter sukarela dengan bayar minimal 50K.
Awalnya saya ingin pakai porter karena saya bawa carrier yang lumayan berat, selain isi baju kotor juga isi beberapa sembako dan snack untuk dimakan bersama ketika malam keakraban tetapi dengan tekad yang bulat saya putuskan untuk membawa carrier sendiri sambil melihat sejauh mana saya bisa, toh saya juga sudah latihan sebulan sebelumnya dengan rajin mengunjungi Puthuk siwur dan gunung lorokan di Mojokerto.
Perjalanan selama 6 jam ternyata tidak semudah yang saya bayangkan, treknya menanjak, dengan banyak bebatuan berlumut kadang turunan dengan kontur tanah merah sementara kita juga diburu waktu agar tidak sampai kemalaman ketika sampai di baduy dalam, karena akan melewati hutan lindung, hutan larangan dan pastinya dengan trek yang semakin menantang.
Di tengah perjalanan, tertinggal jauh dengan teman-teman saya berhenti-ingin nangis rasanya, jauh dari rumah, tidak punya teman, punggung kayak udah mati rasa plus perut melilit kram karena la kok pas saya lagi menstruasi hari pertama.
Lengkap sudah. Saya coba merenungkan kembali alasan saya dan mencoba berdamai dengan keputusan yang saya buat, tidak mungkin kan saya menyerah minta pulang.
Akhirnya dengan prinsip alon-alon asal kelakon saya mulai bisa menyusul teman-teman dan alhamdulilah nya lagi ada beberapa teman dari grup 8 yang bersedia mendampingi jalan saya yang bak kura-kura, bahkan diantara mereka ada yang menawarkan agar saya ganti tas dengan mereka. Hari sudah semakin sore dan mulai gelap.
Masuk di area hutan lindung dan hutan larangan, kami mulai memakai headlamp, TL masing-masing grup juga mengimbau agar kami mulai mematikan alat komunikasi, mematikan alarm dsb, kami juga dihimbau untuk tidak jalan sendirian, untuk yang berhalangan agar tidak melamun dan diwanti-wanti untuk memanage waktu agar tidak semakin malam.
Saya pun menguatkan diri saya kembali berkali-kali bilang saya pasti bisa dan kata-kata penyemangat lainnya. Benar saja trek semakin susah, selain karena licin dan juga gelap apalagi keseimbangan saya ini juga kurang saya sering hampir jatuh tiap melewati turunan.
Tetapi Alhamdulillah nya keempat kawan saya yang mendampingi masih terus setia dibelakang saya. Setelah perjalanan panjang dan melelahkan kira-kira pukul 20.00 malam kami sampai di kampung Cibeo, kampung Baduy dalam paling dekat.
Di sinilah kami akan menghabiskan malam kami. Setelah sampai dirumah Ayah Juli, kami bergegas menuju kali untuk mandi, segala aktivitas MCK dilakukan di Kali. Kami juga tidak diperbolehkan menggunakan sabun, odol, facial foam dan bahan kimia lain yang dapat mencemari kali.
Di tengah kegelapan hanya mengandalkan headlamp, kami mandi. Di Baduy dalam memang tidak ada listrik, penerangan hanya menggunakan ublik, sementara kami menggunakan senter atau headlamp.
Bulan bersinar sangat terang dilangit kampung baduy, diiringi suara serangga malam yang bersahut-sahutan tiada henti saya sempatkan mengamati perkampungan kecil ini, tenang dan hening.
Setelah selesai bersih-bersih kami makan malam bersama. Anbo (panggilan ibu) sudah memasak tempe goreng dan sayur asem untuk kami. Rumah suku Baduy dalam terbuat dari bambu dan kayu-Sulah Nyanda namanya. Rumah di sini dibangun bergotong royong dan harus mengikuti kontur tanah, jangan sampai pembangunan rumah merusak alam.
Anyaman bambu digunakan untuk bilik dan lantai sementara atap menggunakan ijuk yang terbuat dari daun kelapa yang telah dikeringkan. Uniknya rumah di sini tidak ada jendela tetapi di lantainya terdapat lubang sebagai sirkulasi udara.
Sebenarnya untuk tamu mereka hanya diperbolehkan berada di teras saja namun kami dengan hangat diterima ke dalam, menempati seluruh rumah untuk kami jadikan tempat tidur berlima belas orang.
Setelah makan, kami berbincang-bincang dengan Ayah Juli. Anbo tidak ikut, saya tidak tahu pasti tapi sepertinya memang perempuan ada dalam ranah seputar dapur dan sumur saja. Saat berbincang bincang kami bebas menanyakan apa saja seputar kehidupan di baduy dalam.
Suku asli Banten yang sampai sekarang masih tegas menolak modernisasi dan teknologi. Di baduy dalam tidak ada yang boleh sekolah, mereka belajar hidup dengan mewarisi apa yang sudah dilakukan nenek moyang mereka dengan bertani dan berkebun.

Banyak larangan-larangan yang harus mereka patuhi, tidak boleh memakai sendal, tidak boleh menggunakan Hp atau sejenisnya, tidak boleh menaiki kendaraan-larangan-larangan yang bagi saya sulit untuk diterima.
Mereka akan berjalan kaki kemanapun mereka pergi. Jika ada urusan ke Jakarta seberapa jauhnya pun mereka akan tetap berjalan kaki. Aturan adat lain yang harus dipatuhi juga perihal pernikahan yang dilakukan dengan perjodohan.
Anak-anak perempuan akan disiapkan menjadi ibu, anak laki-laki dipersiapkan menjadi Ayah sehingga harus dididik dengan tegas untuk melatih mental dan fisiknya. Anak-anak laki-laki sering diminta pergi ke kota untuk menjual hasil kebun mereka, membawa belasan kilo dengan ditopang pada sebatang bambu dipundaknya mereka akan turun ke Ciboleger untuk menjual hasil kebun.
Kalau informasi dari TL saya waktu itu namanya Mang Dayat, anak-anak Baduy dalam akan sangat bersemangat ketika disuruh orang tuanya turun ke kota meskipun harus menempuh jarak yang jauh karena disana mereka bisa menonton TV di warung, atau sekedar jajan ice cream, jika sore menjelang mereka akan kembali pulang, membawa uang hasil penjualan.
Ketika pagi, anak-anak perempuan akan bergegas membantu ibunya mencuci piring atau baju di kali kemudian membantu memasak atau membantu mengurus adiknya juga tahu cara menenun, sebagai keahlian mereka.
Sebenarnya orang-orang Baduy menjalani hidup secara simple; mematuhi perintah adat dan menjauhi larangan adat, tetapi saya sebagai orang awam ini masih sulit menerima, bagaimana bisa mereka hidup seakan tanpa ambisi.
Maka saya coba tanyakan ke Ayah Juli, perihal perjodohan apakah ada yang mungkin tidak mau dijodohkan dan punya calon sendiri, Ayah Juli pun menjawab maka jika ada yang seperti itu mereka harus keluar dari Baduy dalam.
Kampung Baduy dalam ada 3, Cikeusik, Cikertawarna dan Cibeo. Setiap kampung dipimpin oleh kepala suku atau Pu’un, dan tiap kampung memiliki fungsi nya masing-masing sehingga tidak terjadi benturan pemerintahan.
Misalnya, kampung Cibeo adalah kampung pertanian. Pu’un Cibeo berhak menentukan keputusan yang terkait dengan masalah pertanian, sementara 2 kampung lainnya akan menjalankan fungsi yang berbeda.
Uniknya lagi, mereka semua tidak memiliki KTP sehingga tidak punya hak untuk memilih. Prinsip politik mereka lunang, melu sing menang. Namun meskipun begitu, menurut penuturan Ayah Juli, tiga capres sudah berkunjung ke kampung mereka….
Malam semakin larut dan beberapa dari kami sudah terkantuk-kantuk, kami dibebaskan untuk tidur atau jika masih ingin begadang bisa lanjut berbincang. Saya pun menyempatkan untuk keluar rumah, menikmati malam yang sunyi yang hanya diterangi sinar rembulan, saya coba menjejakkan kaki saya di tanah berbatu tanpa sandal sebagaimana orang-orang Baduy dalam.
Mencoba menikmati tiap langkah yang tertatih dan kadang terantuk batu membuat saya menghela napas. Saya merasa tertinggal jauh dengan orang-orang Baduy, lalu tiba-tiba secara acak lagu Efek rumah kaca, Balerina, memutar di kepala.
Menghimpun energi, mengambil posisi
Menjejakkan kaki, meniti temali
Merendah meninggi rasakan api, konsentrasi
Biar tubuhmu berkelana, lalui kegelisahan
Mencari keseimbangan, mengisi ketiadaan
Di kepala dan di dada…
Saya kembali masuk ke rumah Ayah Juli, bersiap tidur dengan beralaskan tikar, beberapa teman sudah terlelap. Doa saya malam ini, semoga saya tidak terbangun tengah malam untuk kencing.
Saya terbangun ketika mendengar kokokan ayam dan pintu yang terbuat dari anyaman bambu berderit ketika diangkat. Terdengar seorang teman berkata sudah pukul 4.50 saya dan dua orang kawan segera bangun menuju kali sambil menahan kencing.
Di kali, Anbo dan anak-anak perempuannya sudah memulai aktivitas pagi mereka, ada yang mencuci peralatan masak, ada yang mengambil air, ada yang mencuci baju, ada yang mandi sambil sesekali bercengkrama dengan bahasa sunda yang saya tidak mengerti.
Saya tidak berani berlama-lama mengamati, masak iya saya lihat orang mandi kan ya….jadi setelah selesai dengan urusan pagi saya, saya memutuskan kembali ke rumah Ayah.
Rumah di Baduy itu sama semua, berkali-kali saya nyasar ke rumah warga lain, dan lucunya sama seperti dikebiasaan kita, Ayah Juli dikenalnya sebagai Ayah Jamal merujuk ke penyebutan nama anak pertama.
Sampai rumah, Anbo bersiap masak untuk sarapan kami, mulai menyalakan kayu bakar, hawa yang dingin menjadi hangat. Saya dan kawan bercengkrama sambil menikmati pagi di Baduy dalam.
Menu sarapan kami nasi goreng, tempe dan sambal. Kemudian minum dari botol kaca besar yang dituang di gelas bambu. Setelah sarapan Ayah Juli mengajak kami jalan-jalan sekitar kampung, melihat rumah Pu’un, lumbung padi/leuit dan anbo yang sedang nutu, menumbuk padi. Udara segar dikampung baduy pagi itu terasa nyes diparu-paru, tidak henti-hentinya pula saya bersyukur bisa menikmati dan merasakan pengalaman seperti ini.
Sekitar pukul 10.00 kami dikumpulkan lagi dan bersiap untuk kembali. Trekking pulang ini via Ciboleger, estimasi perjalanan kurang lebih 3 jam dengan trek naik, turun dan susur sungai.
Saya pun info ke TL untuk sewa porter namun alangkah terkejutnya ketika yang membawa carrier saya anak kecil usia 10th-an, segera saya minta ke TL untuk ganti sungguh saya tidak tega tapi menurut mereka itulah salah cara untuk menempa mental dan fisik laki-laki di Baduy, katanya lagi bahkan ketika musim durian, anak-anak kecil itu akan membawa beban yang jauh lebih berat untuk memasarkan durian itu.
Saya pun menutup mata, dan hanya bisa pasrah. Bukankah kita harus menghormati cara kerja mereka?
Trekking via Ciboleger memang lebih mudah ternyata(tapi saya tetap tertinggal jauh dengan teman-teman) meskipun jalur susur sungai sangat menyiksa karena licin dan basah.
Sepanjang jalan sering kami papasan dengan orang-orang Baduy dalam yang dengan santainya tanpa alas kaki berjalan kayak ga ada beban, sementara saya yang sudah pakai trekking pole, sepatu gunung, tetep aja sering kepleset dan napas senin-kamis.
Setelah semakin mendekati Ciboleger, kami melewati kampung Baduy luar. Orang-orang Baduy luar lebih terbuka- ada akses Internet, bisa pakai sandal, dan bahkan ada komunitas baca untuk anak-anak Baduy luar.
Beberapa dari mereka ada juga yang sedang menenun. Sampai di Ciboleger saya langsung berkumpul dengan grup saya, dan menemui Ayah Juli untuk mengambil madu hitam yang sudah saya pesan sebelumnya.
Lalu memberikan beberapa lembar uang kepada adek hebat yang telah membawa carrier saya. Elf menuju stasiun Rangkasbitung sudah menunggu, saya segera berpamitan ke Ayah Juli dan menitip salam ke Anbo, mengucap terimakasih untuk kehangatannya dalam menyambut kami semua dan ilmu yang mungkin Ayah sendiri tidak menyadari bahwa pengalaman yang ia bagikan kepada kami adalah ilmu yang susah kami dapatkan.
Sepanjang jalan menuju Rangkasbitung saya semakin menyadari bahwa saya memang benar-benar tertinggal jauh dengan orang-orang Baduy dalam.