Istilah santri dan pesantren, tak lepas dari tangan dingin Wali Songo dalam mengemas pendidikan islam.
Jasa besar Wali Songo di dunia syiar islam, menurut KH Agus Sunyoto, adalah upaya mengembangkan pendidikan model dukuh, asrama, dan padepokan (Syiwa-Buddha) ke dalam bentuk pesantren-pesantren, pesulukan-pesulukan, peguron-peguron, hingga pendidikan terbuka lewat langgar dan masjid (Islam).
KH Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo (2012), menjelaskan secara detail bagaimana cara Wali Songo menciptakan sebuah ekosistem dan atmosfer pendidikan islam yang kelak kita kenal dengan istilah Pesantren.
Salah satu bukti otentik proses islamisasi dilakukan Wali Songo melalui pendidikan, adalah usaha mengambil-alih lembaga pendidikan Syiwa-Buddha yang semula disebut “asrama” atau “dukuh”, kemudian diformat sesuai ajaran Islam.
Dukuh merupakan pertapaan untuk mendidik calon pendeta (wiku). Dengan kewaskitaan seorang arif yang sudah tercerahkan, para guru sufi mengambil alih sistem pendidikan Syiwa-Buddha tersebut menjadi peguron dan pesantren yang mengajarkan ajaran islam.
Dukuh semula nama lembaga pendidikan Syiwa-Buddha. Kemudian disebut “pesantren” (tempat para santri belajar). Untuk diketahui, kata “santri” berasal dari istilah “sashtri” yang bermakna orang-orang yang mempelajari kitab suci (sashtra). Ini juga dikemukakan C.C. Berg (dalam Gibb, 1932: 257).
Usaha Wali Songo itu menunjukkan hasil menakjubkan, karena para guru sufi dalam lembaga Wali Songo mampu mengubah nilai sosio-kultural-religius yang dianut masyarakat Syiwa-Buddha dengan nilai-nilai Islam, terutama nilai Ketauhidan Syiwa-Buddha (adwayasashtra) dengan ajaran tauhid Islam para sufi.
Gurubakti dan Ta’limul Muta’allim
Naskah-naskah kuno berjudul Silakrama, Tingkahing Wiku dan Wratisasana yang berasal dari era Majapahit, memuat tatakrama para siswa di sebuah “dukuh” dalam menuntut ilmu pengetahuan. Tata krama itu disebut Gurubakti — sebuah aturan berisi tata tertib, sikap hormat, dan sujud bakti yang wajib dilakukan para siswa pada guru rohaninya.
Para siswa, dalam konsep Gurubakti, tak boleh duduk berhadapan dengan guru, tak boleh memotong pembicaraan guru, menuruti apa yang diucap guru, mengindahkan nasihat guru meski dalam keadaan marah, berkata-kata menyenangkan guru, jika guru datang harus turun dari tempat duduknya, jika guru berjalan harus mengikuti dari belakang, dan sebagainya.
Ketundukan siswa kepada guru adalah mutlak. Gagasan dan konsep Gurubakti dalam Kitab Silakrama mencakup tiga hal (triguru). Yaitu Gururupaka (orang tua yang melahirkan), Gurupangajyan (guru yang mengajarkan pengetahuan rohani, dan Guruwisesa (raja /pemerintah).
Dalam konsep Gurubakti, di antara tiga jenis guru itu, yang paling dihormati adalah Guru Pangajyan. Karena Guru Pangajyan telah membukakan kesadaran untuk mengenal kehidupan di dunia dan akhirat hingga mencapai moksa.
Di sadari atau tidak, tata krama dalam konsep Gurubakti tadi, sangat mirip dengan aturan-aturan yang terdapat di dalam kitab Ta’limul Muta’allim karya Syaikh az-Zarnuji — kitab wajib para santri dalam belajar di pesantren.
Sejauh itulah peran Wali Songo dalam menyebarkan ajaran islam. Mereka masuk dan memperkenalkan islam secara perlahan, melalui kebudayaan yang sebelumnya sudah ada. Dalam kaidah Aswaja, ini disebut:
المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
Melestarikan tradisi lama yang baik, dan mengambil hal baru yang lebih baik.