Dari depan, Vudu mirip Andrea Hirata. Dari belakang, ia serupa vokalis The Cure— Robert Smith. Dan dari samping, dia mirip Rhoma Irama sewaktu masih muda. Namun, saat kau perhatikan dia lebih dekat, Vudu lebih mirip pohon tenang nan meneduhkan.
Vudu Abdul Rahman. Ia mengulang-ulang namanya, hanya agar saya mampu mencatat nama itu — di dalam kontak telepon saya — dengan cara dan ejaan yang benar. Tentu saja, saya berupaya semaksimal mungkin agar tak keliru menjadi Voodoo.
Kami mengawali perbincangan dari sebuah setting lokasi cerita pendek karya Eka Kurniawan berjudul Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi. Vudu tak asing dengan lokasi pantai di cerpen itu. Sedang saya, tak asing dengan cerpen tersebut.
Cerpen Eka memang mampu jadi pencair lidah yang kaku. Dari perbincangan tentang Eka, kami terseret dalam diskusi yang lebih dalam. Diskusi tentang progres pergerakan dan jejaring literasi yang sedang kami berdua dalami dan lakoni.
Kami berbincang tentang karya dan gerakan literasi yang bukan sekadar simbol seremonial berupa jari tangan berbentuk “L” saja. Namun, literasi yang menyublim dalam gerak-gerik tubuh dan pikiran — semacam spektral hasil interaksi energi elektromagnetik yang kami kenal dengan istilah “cita-cita”.
Bertemu Vudu, saya seperti memasuki sebuah fragmen ketika Octavio Paz menemui Robert Frost dalam kisah berjudul Mengunjungi Robert Frost yang terdapat di dalam buku berjudul Sanstone. Di Indonesia, buku itu diterjemahkan menjadi buku puisi panjang berjudul Batu Matahari.
Apa yang Vudu dan saya perbincangkan, serupa apa yang Octavio Paz dan Robert Frost perbincangkan dalam buku tersebut; sesuatu yang sulit sekaligus tak sulit untuk dipahami. Sesuatu yang jauh, sekaligus dekat untuk diselami.
Vudu Abdul Rahman merupakan penggerak literasi Tasikmalaya. Kelak, saya kira, namanya patut dijadikan nama jalan atau nama kampung atau nama sebuah yayasan. Tentu itu bukan guyonan belaka. Namun berbasis prasasti-prasasti positif yang dia torehkan.
Kepada saya, Vudu mengawali kisahnya dengan bercerita soal Mata Rumpaka — sebuah komunitas (literasi) yang fokus menggali potensi anak-anak. Termasuk potensi dalam hal musik (lagu), tulis (prosa dan komik), hingga film. Komunitas berbasis di Kota Tasikmalaya itu, berdiri pada 2010.
Mata Rumpaka merupakan komunitas yang telah bermetamorfosis selama hampir 10 tahun. Awalnya bernama Pers Cilik Cisalak. Beberapa tahun kemudian berganti nama menjadi Rumpaka Percisa (2013). Setelah itu, berganti menjadi Sabak Percisa (2016), dan pada 2018, namanya berganti menjadi Mata Rumpaka.
“Awalnya laboratorium di dalam kelas. Sebab, kurikulum (sekolah) tak menampung potensi anak. Hanya kognitif yang dianggap.” Kata Vudu pada saya.
Vudu mengawali semua giat itu dari sebuah kelas. Sebuah kelas di Sekolah Dasar Negeri. Ya, meski gondrong dengan style yang amat freelancer-garis-keras, dia merupakan guru di SDN Perumnas Cisalak. Dari sekolah itulah, gerakannya melebar ke warga sekitar.
Memaknai sekolah sebagai laboratorium tentu bukan perkara mudah. Terlebih sekolah negeri sekaku robot yang bakal sering menyibukkan Vudu pada pembuatan laporan dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Karena itu, saat ditanya soal RPP, dia sering berkilah dan menjawab: urusan RPP, lebih jelasnya 5 tahun ke depan.
RPP dan 5 tahun ke depan yang dia maksud, tentu bukan bualan. Vudu punya konsep 5 tahun-an untuk tiap eksperimen dan penelitian yang dia lakukan. 5 tahun pertama, presentasi konsep eksperimen. 5 tahun kedua, media yang berbicara. Dan 5 tahun ketiga, guru merdeka.
“Saat ini saya perjalanan menuju 5 tahun ketiga.” Ucap bapak tiga anak itu sambil tersenyum.
Pasukan Mata Rumpaka terdiri dari pemuda- pemudi tangguh pilihan seperti Wanti Susilawati, Sinta Vaira, Muthia Widya F, Rizpan Danis, dan Wildan Syakirin.
Vudu tahu, syiar literasi — dalam skala luas — tentu butuh logistik. Sebab dia sadar jika spirit rebel dan sporadis saja tidak cukup. Karena semangat rentan pudar hanya karena lapar. Sebab itu, semangat relawan harus dirawat secara realistis.
Dari sanalah lahir Lambangsora dan Pelepah Mata. Semacam ruang underbow dari Mata Rumpaka. Vudu beranggapan jika Lambangsora dan Pelepah Mata merupakan sayap “industri” yang tak ingin relawan lapar.
Lambangsora dan Pelepah Mata mendukung giat-giat Mata Rumpaka melalui gerakan buku dan penerbitan. Ketiga-tiganya punya hubungan yang tak terpisahkan —- meski seolah tak berhubungan.
Untuk Lambangsora dan Pelepah Mata, Vudu tak sendiri. Dia ditemani Wildan Syakirin dan Egi Azwul. Sebab Lambangsora dan Pelepahmata, kata Vudu, lahir dari tiga penetrasi pemikiran. Melalui Mata Rumpaka, Lambangsora, dan Pelepah Mata; Vudu bersama Wildan dan Egi mendispersi diri menjadi bermacam energi, namun tetap satu frekuensi.
Kiprah Lintas Negara Vudu
Pengakuan dan penghargaan —- meski tak dia cari —- justru datang dari luar negeri terlebih dahulu. Tepatnya dari National Donghwa University, Taiwan. Dari cerita Vudu, merekalah yang pertamakali memberi apresiasi berupa kesempatan sharing tentang pendidikan inklusif — sesuatu yang Vudu lakukan di Mata Rumpaka.
Vudu punya kisah khusus tentang bagaimana pihak Donghwa bisa tahu keberadaannya. Suatu hari, Prof. Hwei Hsan Lin, dosen Universitas Donghwa, menemukan buku karya penulis Indonesia. Dia terpikat dengan pemikiran di dalam buku tersebut. Sang profesor pun meminta mahasiswa asal Indonesia yang ada di sana untuk mencari dan menghubungi penulis buku tersebut.
Ya, benar. Penulis buku itu adalah Vudu Abdul Rahman. Pada 2014, Vudu bersama Syswandi, dan Leo Aryandinata (Ilustrator) membikin sebuah buku grafik komik berjudul Sawung Langit. Buku itu diterbitkan Slowork Publishing (Taiwan) dan dilaunching pada 2016. Disebab hal itu, Vudu diminta mengisi kuliah melalui Skype pada 2017.
Dari giat itu pula, di tahun yang sama, Vudu ikut bertemu Presiden Jokowi ke Istana Negara bersama Nirwan Ahmad Arsuka, Faiz Ahsoul dan sejumlah penggerak literasi yang ada di Indonesia. Sejak saat itu pula, dia sering keliling ke beberapa tempat untuk berbagi ilmu.
Prasasti dan Karya Kolaboratif Vudu
Meski berlatar belakang menulis syair dan sesekali bermain musik, pria 36 tahun itu punya bakat “mengasuh” cukup baik. Dia mencari dan mempertajam potensi yang dimiliki para muridnya. Terutama dalam hal menulis buku, komik, hingga bikin film.
Pada 2015 lalu, misalnya, dia bersama murid-muridnya mampu membikin sebuah album berisi 10 lagu bertajuk Flower Soul yang bisa diakses di Youtube. Di saat yang sama, Vudu juga bikin film edukasi berjudul Tatallu, yang lagu backsound-nya diambil dari lagu-lagu di album Flower Soul karya para murid SD nya tersebut.
Bersama Firman Maulana dan Caesar Akbar, pada 2017 lalu, Vudu menggarap sebuah projek bernama Sampurasun dengan tajuk: dari Tasikmalaya untuk Indonesia. Film pendek yang bisa diakses di YouTube itu, menjadi sangat fenomenal dan jadi pintu Tasikmalaya dikenal lebih jauh.
Di tahun yang sama, Vudu juga menggarap sebuah karya multiplatform yang cukup menarik. Berawal dari satu lirik, Vudu mengembangkannya menjadi tujuh lirik. Lalu, dari tujuh lirik itu, diterjemahkan oleh 7 ilustrator dan fotografer berbeda. Dari sana, lahirlah buku berjudul Kota Tujuh Stanza. Dari buku itu, ia melahirkan sebuah album video berjudul Satu Frekuensi.