Tumpukan box berisi koleksi kaset dan vinyl itu, kau keluarkan dari wadahnya. Matamu tertuju pada satu kaset mixtape yang sekelebat mengantarmu pada ruang dan waktu circa 10 tahun lalu.
Lembayung jingga pun langsung meredup. Warna warni langit mulai membiru tosca disertai balutan cuaca luka. Dengan segera kau berlari menuju meja. Kau meletakkan tape recordermu tepat bersebelahan dengan sebilah pisau.
Kau pun memutar kaset mixtape itu.
Telingamu menemui spektrum Largo, Lento, Adagio, Andante, Moderato, Allegro, Vivace, hingga menuju Presto yang sangat membara. Lalu, tiba-tiba kembali menjadi Largo yang sangat lembut dan mendamaikan. Dadamu hangat. Pipimu basah.
Kau sedang mendengarkan lagu. Dan bedebahnya, kau mulai terbius masa lalu. Semakin dalam kau dengar, dirimu kian tersesat di labirin masa silam. Sebuah masa yang membuatmu menjadi seperti sekarang.
Tiga tahun lamanya kau menghabiskan waktu dengannya. Kau yang menjadi siapa saja di kala dia senang, sedih, tertawa bahagia hingga merasa galau, karena gejolak kawula muda. Biadabnya, justru kau tak pernah berbagi cerita kepadanya.
Hingga kau bersikap seenaknya saja. Sampai harus berseteru dengan siklus tanpa arah. Dia tidak pernah tahu kalau kau telah mengubur dirimu sendiri. Kau juga tahu, bahwa rasa tinta tak seenak jika dikemas dalam sebuah tulisan.
Hanya saja kau tak pernah sadar, bahwa kau telah terbuai dalam derasnya mimpi dan khayalan. Selalu saja kembali berdalih dengan kalimat indah yang menyakiti diri sendiri. Dia hanya tersenyum dan sesekali tertawa. Hanya karena merasa lega dan aman ketika berbagi segalanya.
Kau ingat betul kali pertama bertemu dan berbincang dengannya. Rasa penasaran besar yang mengantarkanmu, untuk kali pertama, melontarkan kata. Anehnya kau juga tahu, kalau nantinya akan terbungkam oleh buai yang kau khawatirkan menjadi nyata.
Setelah tiga tahun bersama, momen bulan April tak bisa kau hapuskan. Rasa terimakasih dia ucapkan akhir bulan itu. Kau ingat nada D major, mengawali suaranya. Bahkan saat kau tak ada, dia mencarimu dengan mengumpulkan informasi dari orang-orang di sekitar.
Sampai seorang teman menghubungimu melalui pesan singkat, “Dia mencarimu, kamu di mana?,” tulis pesan itu.
Tanpa menghiraukan pesan itu, kau pun lagi-lagi harus datang. Untuk sekadar membuatnya terlihat baik-baik saja. Dia datang dan menghampirimu. Sambil melempar senyum lalu berkata,
“Nanti siang datang ya, beramai sama yang lainnya,” ucapnya dengan nada D major.
Kau terdiam sambil menatapnya. Tak ingin memberikan testimoni penyesatan pada dirimu sendiri. Tanpa memuntahkan satu kalimat pun, kau hanya mengangguk. Memberi maksud setuju atas ajakannya. Dia terlihat cemberut sambil menggembungkan kedua pipinya.
Tiba saatnya, siang yang dibicarakan telah tiba. Sambil menyantap hidangan yang disajikan. Kau, dia dan teman-teman lainnya menikmati momen akhir bersama, sambil membicarakan harapan. Hanya kau saja yang tak pernah hanyut dengan omong kosong harapan.
“Sehabis ini aku akan pergi ke timur, kau sendiri mau ke mana?,” Dia bertanya.
“Mungkin aku akan menuju tenggara, timur terlalu ramai bagiku,” katamu memberi jawaban.
Suara petir sontak mengagetkanmu. Kau tersadar dari lamunan masa lalu. Sambil menghela nafas, kau tahu sekarang dia tengah bahagia dengan pilihannya. Begitupun dirimu. Kau juga bahagia dengan kesedihan masa lalumu.
Tapi, akhir April masih selalu membuatmu ingin pergi entah ke mana. Bukan karena Mayday. Tapi ingin menutupi kegetiran hidup di tengah hiruk-pikuk Mayday. Agar getar getirnya tak terdengar orang lain.
Hidup memang tak selalu mudah. Memaksamu harus memilih. Tidak ada pilihan mudah untuk membuat hidup lebih bermakna. Seringkali menyesali keadaan sekarang, hanya karena tak berani mengambil keputusan di saat yang tepat.
Bukan pilihan dan pekerjaan yang mudah untuk bisa memaknai hidup dalam pergeseran waktu. Karena sejatinya, waktu tak mudah untuk dikalahkan. Meski keringat yang tumpah sangat tak beraturan.
Seringkali terjadi salah paham dengan diri sendiri. Haruskah tetap bertahan dengan diri sendiri dan terlihat seperti ironi? Menyiksa diri sendiri dengan menjadi menarik karena unik?
Menutupi kesedihan dengan melucu dan membadut pada kehidupan tentu bukan pilihan yang baik. Sama tak baiknya seperti menunjukkan raut sedih secara langsung.
Hidup banyak tuntutan dan bedebahnya, kau tak pernah mengerti apa yang dituntut oleh kehidupan. Bagaimana jika sebaliknya kau yang menuntut hidup? Sialnya, kau tak mau memilih itu.
Suatu hari, entah kapan, kau ingin menyanyikan lagu ini. Bukan. Tapi ingin memainkan gitar dari lagu ini. Sementara, seorang perempuan khusyuk menyanyikannya. Membersamaimu. Membersamai sedih dan bahagiamu.
Don’t ask me why, but time has passed us by. Some one else moved in from far away. And I recall the moment of them all. But guess we’ll cry come first of may –Bee Gees, First of May–