Saya, mungkin salah satu penikmat kopi yang sangat menyukai tempat ini. Kisah saya dan tempat ngopi ini, sarat akan kebetulan yang menyenangkan.
Kala itu, saya sedang lari-lari pagi dari rumah. Setelah cukup ngos-ngosan lari di trek tanggul. Kemudian terbersit pikiran untuk melihat sungai Bengawan Solo yang tidak jauh dari rumah.
Melihat satu warung di bawah jembatan. Saya mulai membayangkan betapa syahdunya segelas kopi pahit. Ditemani lagu dari The Temper Trap – Sweet Disposition. Serta obrolan dengan diri sendiri dalam sebuah kontemplasi.
Saya memutuskan untuk menyapa seorang ibu-ibu paruh baya yang sedang asyik di depan kompornya. Kami tidak banyak membagi obrolan. Hanya percakapan ringan sampai kopi selesai diseduh. Setelah hari itu, saya sering datang kesana.
Pagi-pagi buta untuk menanti fajar. Atau sore ditemani senja. Itu bertahun-tahun yang lalu kala saya masih terkungkung kota metropolitan. Hingga hari itu, saya kembali kesana untuk berbincang lebih dalam dengan si ibu pemilik warung.
Hari itu pula akhirnya saya tahu, namanya adalah Bu Tin. Ia telah lima tahun menjajakan berbagai macam minuman di warung kayu tersebut. Ia juga menjual mie instan, lontong tahu, sayur lodeh, dan sesekali rujak. Serta tentu, kopi yang ia sangrai sendiri dengan kayu bakar.
Bu Tin mengatakan, sudah berjualan kopi sejak lama. Namun, kala itu lokasinya masih di Jalan TGP. Tepat berada di atas warungnya yang saat ini. Selain berjualan kopi, setiap pagi, ia juga menjajakan belanja keliling.
“Awalnya dulu ibarat babat alas, Mbak. Masih banyak rumput liar. Jadi harus bersihin dulu, baru dasaran pakai meja bongkar pasang. Baru pelan-pelan dibuat warung,” ujar Bu Tin.
Seperti kisah awal saya menjadi pelanggan di sini. Warung Bu Tin memang sudah buka sejak pagi buta. Sekitar pukul 04.00 pagi, Bu Tin berangkat ke Pasar Banjarejo. Atau yang biasa disebut masyarakat sekitar dengan Pasar Halte.
Mencapai pukul 06.00, Warung Bu Tin sudah menggoda setiap orang yang lewat. Dengan gurih bau gorengan tempe tepung dan ote-ote alias bakwannya. Hmm, aroma yang sama seperti pertama kali saya mampir ke sini.
Ternyata, Bu Tin masih mengingat saya. “Saya masih ingat, dulu Mbak sering kesini pagi atau sore. Sendirian sambil baca buku,” ujarnya sambil tertawa.
Dalam waktu lima tahun, warung ini juga mengalami kisah suka duka tersendiri. Dari mulai kisah mistis hingga duka kala air sungai meluap.
Bu Tin membagi kisahnya saat tahun pertama berjualan di bawah jembatan. Ia pernah disapa oleh salah satu “penunggu jembatan”. “Waktu itu lagi korah-korah (cuci piring) pas subuh. Terus ada sosok hitam besar di dekat kaki jembatan. Awalnya sih kaget dan takut. Tapi lama-lama kayaknya udah jinak. Jadi sudah biasa, hehe,” kenangnya.
Perihal kisah mistis, Jembatan Kali Kethek memang sudah melegenda. Bahkan, salah satu acara bergenre horor di televisi swasta pernah meliput.
Selain kisah mistis, Warung Bu Tin juga menjadi salah satu lokasi yang terdampak luapan air sungai. “Dulu pernah banjir, setengah dari warung terendam banjir. Akhirnya saya jualannya geser-geser keatas,” ungkap Bu Tin, sembari menunjuk dapur warung yang menjadi dapur sehari-harinya.
Hmm, perihal banjir di bantaran sungai Bengawan Solo memang bisa dikatakan tak bisa dihindari. Penyebabnya, luapan air kala hujan deras. Serta diperparah banyaknya sampah yang dibuang ke sungai.
Banyak warga yang sering membuang sampah dari atas jembatan. Hal ini menjadi salah satu atraksi yang menemani waktu ngopi di bawah Jembatan Kali Kethek. Atraksi yang bikin kaget, gemes, gereget. Hih.
Tidak hanya warga sekitar, pelanggan Warung Bu Tin juga mengeluhkan hal yang sama. Salah satunya adalah Tulus Adarrma. Jurnalis sekaligus seniman yang gemar ngopi di Warung Bu Tin.
“Saya suka menikmati eksotisme Bengawan Solo sambil ngopi di bawah jembatan ini. Tapi sayang, masyarakat sekitar belum mampu menjaga kebersihan sungai. Yang memberi penghidupan baginya, tapi tidak dirawat dengan baik,” ucap Tulus.
Warung kopi yang syahdu ini kian syahdu kalau tak ada sampah. Baik sampah yang dibuang dari jembatan. Maupun sampah di bantaran sungai.
Bayangkan saja, menikmati sore dengan ngopi santai. Sembari sesekali mencoba sensasi mancing di sungai. Jangan lupa bawa teman. Boleh teman yang bisa diajak ngobrol. Atau teman yang berkata tanpa suara. Yakni buku. Selamat mencoba, Nabsky…