Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba
Home Fiksi Akhir Pekan

Seorang Perempuan dan Kota Tuban

Mukarromatun Nisa by Mukarromatun Nisa
June 6, 2020
in Fiksi Akhir Pekan
Seorang Perempuan dan Kota Tuban
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan Ke WA

Langit tengah bersahabat dengan bumi. Awan-awan saling bercengkerama di atas sana. Beberapa menyelimuti surya hingga panas tak begitu terasa.

Para peziarah berdesakan keluar masuk area makam Sunan Bonang.

“Brak!”

Seorang lelaki jatuh tersungkur saat aku dorong. Sedang perempuan yang hampir kecopetan dengan tangkas mendekap tas hitamnya. Semua mata menuju kami. Copet itu kabur tanpa meninggalkan luka segorespun.

“Huft. Makasih banyak ya, Mas,” ucap perempuan berjilbab maroon itu.

“Sama-sama.”

Semua orang pergi menuju kesibukan masing-masing.

“Aku Annisa. Kamu siapa?” tanyanya sambil menyodorkan tangan kanan.

“Hasan,” jawabku seraya menangkupkan kedua telapak tangan.

“Oh, maaf.”

Obrolan kami berlanjut hingga pusat perbelanjaan makam guru Sunan Kali Jaga ini.

“Kamu tahu ini namanya batik gedok? Batik khas Tuban,” tanyaku sambil memegang baju batik terusan warna hitam itu.

“Tahu dong. Bagus ya. Perpaduan antara hitam dan merah hati,” jawabnya berkomentar.

Diambilnya baju itu lantas ditempelkan di tubuh mungilnya. Pas. Segera ia kembalikan lagi dan mengajakku pergi.

Harus kuakui, ini kali pertama aku dekat dengan perempuan selain Umik dan adik perempuanku. Dia memiliki pesona yang berbeda.

Entah mengapa aku terus bilang iya saat bibirnya mengucap kata hendak ke mana.

“Mbak, tolong bungkus yang ini ya,” pintaku pada perempuan penjaga toko.

Dengan cekatan mbak itu melepas baju dari gantungannya. Lantas dibungkus kresek warna hitam.

“Untuk ibumu?” tanya Annisa.

“Bukan. Untuk perempuan yang ada di depanku.”

“Terima kasih, Mbak,” ucapku sedang yang kubelikan baju sibuk dengan kebingungannya.

“Ini, gantilah pakaianmu?” pintaku sambil menyodorkan bungkusan hitam itu.

“Untuk apa? Setelanku jelek ya?” tanyanya heran.

“Tidak. Setelanmu sangat bagus. Baju selutut dengan celana jins dan jilbab maroon yang senada menjadikanmu terlihat cantik. Ditambah kalung kayu berbentuk burung hantu yang bertengker di dadamu, menambah anggun pesonamu. Namun, kamu akan semakin cantik dengan jubah ini. Lekuk tubuhmu akan tertutup sempurna,” jelasku panjang lebar.

Entah apa yang menggerakkanku melakukan semua ini. Aku benar-benar sungkan. Baru pertama kali mengenal namun sudah mengarahkannya ini itu. Sykurnya dia menurut saja.

“Masya Allah. Kamu cantik sekali, Ann,” pujiku.

“Aku yang cantik apa bajunya yang cantik?” tanyanya memastikan.

“Keduanya. Karena batik itu khas Tuban. Dan kamu putri Tuban.”

“Oh ya, aku boleh meminta sesuatu sekali lagi?” tanyaku agar tidak menyinggung perasaannya.

“Tentu saja. Apa?” Dia teramat semangat menjawab.

“Coba dua ujung jilbabmu jangan ditali ke belakang. Biar terjuntai ke depan,” tuturku agar dadanya tertutup sempurna.

“Bukannya kamu suka aksesoris burung hantuku?”

“Aku memang menyukainya namun Allah lebih menyukai aksesoris itu tertutup.”

Dia melakukan apa yang kupinta kembali. Lantas kami berjalan ke selatan. Menuju stand pedagang penjual aksesoris yang kebanyakan untuk perempuan.

“Bagus ya. Cantik tidak?” tanyanya saat melihat bros berbentuk ikan lumba-lumba warna hitam.

“Cantik. Sepertinya lumba-lumba itu betina. Beli ini ya, Mas,” kataku pada penjualnya.

“Ih, tidak usah. Uang sakuku banyak,” tolaknya namun aku tetap bersikeras.

“Pakailah. Ini akan membuat lehermu tertutup saat tertiup angin dan kecantikanmu akan terjaga.”

“Siap, Bos.”

“Aneh, ya. Aku menuruti semua permintaanmu. Padahal baru mengenal. Tapi hatiku selalu mantap untuk melakukan,” ujarnya.

Aku hanya tersenyum.

“Kamu tahu Ann, perempuan itu seperti emas berlian?” tanyaku kembali seraya memegang cincin kaokah.

“Mengapa diibaratkan emas berlian?”

“Sebab mereka bukan aksesoris biasa. Seperti cincin, gelang, kalung dan lainnya lagi yang terbuat dari bahan imitasi atau plastik dan bahan murah lainnya,” jelasku.

“Untuk meminang sebuah berlian seseorang harus perlu banyak perjuangan. Memindahkannya dari penjagaan etalase menuju penjagaan pribadi. Itu semua diperlukan surat-surat. Yang mana surat itu adalah buku nikah. Perempuan itu sebaik-baik perhiasan dunia, Ann,” sambungku.

“Berbeda dengan aksesoris-aksesoris ini. Dengan sekejap seseorang bisa meminangnya. Bahkan untuk sekedar mencoba bisa. Tanpa diberi surat-surat.”

Dia terdiam. Lama. Mungkin sedang memahami semua perkataanku. Semoga saja aku tak berlebihan.

“Ini, cobalah pakai.”

Benda bundar itu sangat pas di jari manisnya yang berkulit putih bersih. Aku pun juga membeli. Memilih yang lebih besar.

“Kamu tahu Ann, kaokah itu semakin lama warnanya akan semakin tua. Sama seperti cinta. Semakin bertambah usia akan semakin setia,” ucapku.

“Hahaha, ternyata juga bisa ngebucin toh.”

“Mas, naik becak yuk!” ajaknya bersemangat tanpa menunggu persetujuanku.

Antara menolak dan mengiyakan. Sebab ini kali pertama aku duduk bersebelahan dengan bukan mahram.

Aku naik juga. Tas kecil milik Annisa ditaruh depan dalam pangkuan.

“Ann, boleh pinjam tasnya?”

“Boleh.”

Tas itu dan juga tasku, kujadikan sebagai pembatas kami. Aku harus tetap menjaga batas-batas dalam Islam.

“Aku teramat suka mengelilingi Kota Tuban dengan becak,” kata perempuan di sebelahku.

“Aku juga. Oh ya, kamu kuliyah atau gimana?”

“Kuliyah. Di UNIROW. Universitas PGRI Ronggolawe. Jurusan Biologi Murni. Kamu?”

“Aku mondok di Tebuireng Jombang. Sekarang tengah liburan dan sebelum pulang kusempatkan berziyarah.”

“Oh, santri to. Pantesan sangat menjaga syari’at.”

“Sebenarnya bukan hanya santri yang wajib menjaga syari’at namun semua umat muslim. Oh ya, kamu tahu mengapa Tuban dijuluki Bumi Ronggolawe?”

Dia menggeleng. Bibirku pun dengan lancar bercerita bahwa dahulu ada seorang pengikut Raden Wijaya yang bernama Raden Haryo Ronggolawe. Dia sangat berjasa dalam pembangungan Kerajaan Majapahit.

Sebab peran pentingnya itu Raja Majapahit memberikan hadiah Kota Tuban ini dan dia menjadi penguasa dengan julukan Adipati Ronggolawe.

“Nama Tuban sendiri memiliki sejarah yang begitu apik. Tuban berasal dari lakuran watu tiban. Batu yang jatuh dari langit,” ceritaku.

“Terus bagaimana, Mas?”

“Batu itu pusaka yang dibawa oleh sepasang burung dari Majapahit menuju Demak. Ketika batu itu sampai di atas Kota Tuban, batu itu jatuh dan dinamakan Tuban.”

“Kamu tahu Musium Kambang Putih yang terletak di dekat kawasan makam Sunan Bonang?”

Dia mengangguk.

“Saat ini wujud dari batu itu masih ada dalam kondisi yang relatif utuh dan sekarang disimpan di Museum Kambang Putih.”

“Sungguh kah? Ayo ke sana, Mas. Aku pingin lihat,” pintanya dengan semangat membara.

“Boleh saja.”

Kemudian aku meneruskan bercerita tentang asal muasal Tuban versi satunya lagi.

Tuban berupa lakuran dari metu banyu. Keluar air.

Yakni peristiwa saat Raden Dandang Wacana atau Kyai Gede Papringan yang menjadi Bupati Tuban, pertama kali membuka hutan Papringan.

Anehnya hutan tersebut keluar air yang sangat deras. Hal ini juga berkaitan dengan adanya sumur tua yang dangkal tetapi airnya melimpah, dan istimewanya sumur ini airnya tawar padahal berada di dekat pantai.

“Ada versi yang ke tiga juga, Ann. Mau dengar?”.

“Tentu saja.”

Aku melanjutkan ceritaku sedang Annisa sibuk dengan kertas dan pena. Mencatat semua sejarah kota kelahirannya.

“Tuban berasal dari kata tuba atau racun yang artinya sama dengan salah satu nama kecamatan di Tuban yaitu Jenu.”

Becak berhenti. Aku membayar. Lalu kami membeli es siwalan.

“La tasyrobanna ahadukum qo’iman,” kataku ketika Annisa minum dengan berdiri.

Lantas dia segera duduk di bangku alun-alun. Sedang aku duduk di bangku satunya.

“Kamu tahu artinya?”

“Janganlah sekali-kali di antara kamu minum dengan berdiri, hehehe.”

“Lantas tadi mengapa minum dengan berdiri?”

“Lupa. Padahal minum dengan duduk bisa menyehatkan ginjal. Dasar aku.”

“Oh ya, Ann. Nama lengkapmu siapa?”

“Licht Annisa Al Hafidhah.”

Dua nama terakhirnya aku tidak asing. Tapi Licht? Apa itu?

“Penjaga atau penghafal?” tanyaku, sebab pelafalan hafidh menggunakan dho’ dan hafidz menggunakan dza’ hampir mirip.

“Penjaga.”

“Perempuan penjaga? Lantas Licht artinya apa?” tanyaku penasaran.

“Cahaya. Licht berasal dari Bahasa Belanda. Papaku orang Belanda. Sedang Mamaku perempuan Jawa.”

Pantas saja kulitnya putih seperti orang Eropa. Hidungnya mancung. Nurun Papanya to.

“Seperti Annelies Mellema. Apalagi ditambah namamu yang depan dengan sebutan Ann.”

“Annelies? Mas suka baca karyanya Pram? Aku juga. Sekarang lagi baca Bukan Pasar Malam.”

“Tentu saja. Aku sekarang sedang baca Arus Balik. Sebuah buku tentang Tuban.”

“Jika sudah hatam, aku pinjam ya.”

“Jika kamu juga sudah hatam, aku pinjam juga.”

“Tentu.”

Entah mengapa aku ingin meminjam padahal aku sudah punya buku Bukan Pasar Malam dan hatam beberapa tahun silam.

“Kalau kamu, Mas?” Dia bertanya balik.

“Salman Hasan Al Hafidz. Hampir mirip dengan namamu. Tapi punyaku menggunakan dza’ yang berarti penghafal. Bila digabung menjadi keselamatan dan kebaikan seorang penghafal.”

“Pantas saja bisa bercetita banyak sejarah, wong penghafal. Hehehe.”

“Orang tuamu pasti mengharapkan kamu bisa menjaga semuanya. Kehormatanmu sebagai perempuan, kesedihanmu dan amal ibadahmu.”

“Mungkin.”

Senyumnya mengembang. Manis sekali. Lebih manis dari es siwalan yang kuteguk perlahan. Aku segera beristighfar.

“Kenapa kamu terus mencatat?”

“Aku bukan seorang penghafal sepertimu. Aku seorang penjaga. Maka aku harus menjaga semua sejarah dengan mencatat agar aku tak lupa.”

Dia kembali tersenyum. Dan aku menunduk.

“Kamu tahu warung itu?”

Telunjukku menunjuk salah satu warung di seberang jalan. Yang kutanya mengangguk.

“Itu warung tuak terbesar di Tuban. Ya, selain Bumi Wali, Bumi Ronggolawe, Tuban juga disebut sebagai Kota Tuak.”

“Tuak berasal dari bunga siwalan yang difermentasi,” ujarku.

“Fermentasinya oleh Fungi Saccharomyces tuac.”

“Ah iya, kamu Anak Biologi pastinya tahu.”

Aku melanjutkan cerita bahwa selain tuak juga ada legen yang tidak memabukkan.

Berasal dari tetesan wolo yang perbatangnya hanya menghasilkan satu liter dengan waktu penyulingan sehari semalam.

“Mas, mau rujak? Aku beli sebentar ya.”

Aku mengangguk mengiyakan.

“Mas!” pekiknya dengan memamerkan dua mika rujak sebelum menyebrang.

Aku beranjak ingin menjemputnya. Dia berlari dengan senyum merekah.

“Ann!!!”

“Ciittt, brakkk!!!”

Rujak itu kocar-kacir dengan darah segar perempuam yang baru kukenal. Tubuhnya terkapar tak berdaya di jalanan.

Annisa dilarikan di Rumah Sakit Medika Mulia. Rumah sakit terdekat.

Aku mengisi administrasi dengan mencari info di android dan diary kecilnya. Untung dia menuliskan semua. Lengkap.

Aku diminta suster untuk mencopot semua perhiasannya. Namun aku menolak dengan alasan bukan mahram. Akhirnya suster itu menolong atas permintaanku.

Benda-benda milik Annisa aku genggam erat. Tas, hp, anting, cincin kaokah tadi, jam tangan, kalung burung hantu dan kalung emas putih dengan bandul bentuk nama Annisa. Sangat cantik.

Aku mencari kontak orang tuanya di HP. Untung tidak diberi sandi. Mataku terus mencari dengan air mata yang telah menganak sungai.

Kuberanikan menelfon kontak dengan nama ‘Mamaku’. Terdengar dari seberang sama perempuan itu berteriak histeris, menangis lalu menutup telepon.

“Kamu siapa?” tanya seorang pemuda dengan muka merah madam setelah tiba di depan ruangan tempat Annisa dirawat.

“Saya temannya. Kamu keluarganya Annisa?”

Bruk!.

Aku tersungkur di lantai saat pemuda itu tiba-tiba menonjok pipi kananku.

“Teman siapa? Aku belum pernah melihat kamu sebelumnya.”

Aku mencoba berdiri. Ingin menjelaskan. Namun satu tendangangan datang. Disusul pukulan pada pipi kiri lalu perut. Dan serangan itu datang bertubi-tubi. Aku hanya bisa pasrah sampai beberapa perawat melerai.

“Maafkan aku. Aku teman barunya. Maafkan aku tidak bisa menjaganya.”

Kutaruh semua benda milik Annisa di atas kursi tunggu. Lantas pergi dengan beribu luka. Bukan pada fisikku tapi hatiku. Aku tidak bisa menjaga perempuan yang memiliki nama dengan arti penjaga.

Tuban, Senin 1 Juni 2020

Tags: Fiksi Akhir Pekan

BERITA MENARIK LAINNYA

Panggil Saja Aku, Jum
Fiksi Akhir Pekan

Panggil Saja Aku, Jum

March 2, 2021
Sarapan penuh Kehangatan 
Fiksi Akhir Pekan

Sarapan penuh Kehangatan 

February 28, 2021
Mata Tomo dan Beragam Makna Keadilan
Fiksi Akhir Pekan

Mata Tomo dan Beragam Makna Keadilan

January 31, 2021

REKOMENDASI

7 Tempat Kuliner Terbaik Di Bojonegoro untuk Sobat Misqueen

7 Tempat Kuliner Terbaik Di Bojonegoro untuk Sobat Misqueen

March 6, 2021
Irsyadusy Syubban, Sekolah Tahfiz yang Fokus pada Sifat-sifat Huruf dan Kefasihan

Irsyadusy Syubban, Sekolah Tahfiz yang Fokus pada Sifat-sifat Huruf dan Kefasihan

March 5, 2021
Melihat Kondisi Pertanian Bojonegoro pada 1958

Melihat Kondisi Pertanian Bojonegoro pada 1958

March 4, 2021
Menggarami Lautan Pakai Air Mata, Sebuah Nostalgia Patah Hati

Menggarami Lautan Pakai Air Mata, Sebuah Nostalgia Patah Hati

March 3, 2021
Panggil Saja Aku, Jum

Panggil Saja Aku, Jum

March 2, 2021
Menerawang Khasiat Bunga Telang: Si Serbaguna dari Bumi Anglingdharma

Menerawang Khasiat Bunga Telang: Si Serbaguna dari Bumi Anglingdharma

March 1, 2021

Tentang Jurnaba - Kontak - Squad - Aturan Privasi - Kirim Konten
© Jurnaba.co All Rights Reserved

No Result
View All Result
  • HOME
  • PERISTIWA
  • KULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • ALTERTAINMENT
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • TENTANG
  • KONTAK

© Jurnaba.co All Rights Reserved