Kita tak bisa bertanggung jawab atas kebahagiaan orang lain. Ya, bahagia memang datang atas kendali diri sendiri. Dan sebaiknya memang begitu.
Spoiler Alert
Satu hal yang jarang disadari banyak orang ketika menjalin asmara adalah betapa krusialnya toxic relationship, hubungan beracun. Atas nama cinta, sayang, atau belas kasih, seseorang bisa menormalisasi prilaku buruk dalam hubungan percintaan.
Padahal, jika terus memaksa keadaan itu, tentu orang tersebut yang akan merugi. Sebab, ia dalam posisi timpang dan terjerat.
Pelajaran itu kira-kira akan dengan mudah kita dapatkan ketika menyaksikan film besutan Angga Dwimas Sasongko dalam Story of Kale. Dalam film sempalan Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI) yang dirilis secara online di Bioskop Online itu, kita bisa merasakan betapa, uhm, menyiksanya sebuah hubungan yang kerap disebut “atas dasar cinta” atau atas dasar “aku ingin membahagiakannya”.
Mula-mula, Kale, karakter utama yang diperankan Ardhito Pramono, berniat membantu Dinda, karakter yang diperankan Aurielie Moeremans, untuk segera memutus hubungan dengan pacar sebelumnya. Dinda memang sering mengalami kekerasan baik verbal maupun fisik.
Dan anehnya, lagi-lagi kita melihat Dinda yang lebih defensif dan menganggap bahwa itu semua adalah hal baik, tindakan wajar yang harus diterimanya atas dasar cinta. Sedangkan di sisi sebaliknya, Dinda terlihat rapuh dan tak berdaya atas dirinya sendiri.
Ia, barangkali jika dirupakan agak kasar, hanya menjadi boneka dalam kehidupannya sendiri dan tak berwenang untuk melakukan sesuatu.
Dan di titik itulah Kale hadir beserta nasehat-nasehatnya kepada Dinda. Pendek cerita, Dinda berhasil keluar dari cengkeraman itu. Lalu ia menjalin hubungan baru dengan Kale.
Bahayanya obsesi berlebihan
Film ini secara ciamik memberikan gambaran tebal mengenai bahaya obsesi membabi buta. Dalam sebuah scene, Dinda meminta putus pada Kale. Padahal saat itu, keadaannya terlihat baik-baik saja. Tak ada cekcok, kekerasan, atau pertengkaran dari keduanya.
Dalam alur maju-mundur, Dinda berkata bahwa tak ada kebebasan yang ia miliki ketika bersama Kale. Ia tak bisa leluasa kemanapun yang ia mau. Itu diperparah ketika Kale memaksakan kehendaknya atas Dinda. Misalnya, memaksa untuk membuat lagu bersama, kendati di waktu yang sama, Dinda mendapat undangan ulang tahun dari temannya.
Di titik inilah nuansa toxic kian terasa. Atas nama cinta atau membahagiakan, Kale justru terjebak pada obsesinya sendiri pada Dinda secara berlebihan.
Kita tahu, dalam sebuah jalinan asmara, terdapat dua orang yang akan menjalani. Tentu, adalah masalah besar ketika salah satunya bertindak dan berkuasa melebihi yang lainnya.
Obsesi, kita tahu, punya bahaya yang dahsyat jika diterapkan berlebihan dan tak bersandar pada kesepakatan bersama. Ia mungkin tak akan terlihat seperti bekas kekerasan fisik. Namun, secara tanpa sadar, ia akan melekat pada yang rentan dan memberikan efek traumatis yang berkali lipat.
Film ini menjadi obat sekaligus kiat ampuh dalam belajar menelusuri seluk-beluk toxic relationship. Secara tersirat ia menunjukan kepada kita apa dan bagaimana sebuah prilaku toxic bisa terjadi.
Entah mulai dari tujuan terpuji seperti: ingin membahagiakan orang lain, ingin membuat yang terbaik, dan seterusnya.
Ditemani lagu-lagu yang dibuat Arditho Pramono, kita bisa menikmati kombinasi keduanya: alunan musik sekaligus komposisi adegan yang baik.
Satu yang mungkin bisa kita beri garis tebal dalam film ini, untuk bersikap dan berjaga-jaga adalah: kita tak bisa bertanggung jawab atas kebahagiaan orang lain. Ya, bahagia memang datang atas kendali diri sendiri. Dan sebaiknya memang begitu.