“Dengan sejarah, kita belajar jatuh cinta”— Kuntowijoyo
Surabaya, 2017. Syukur rasanya bisa belajar ilmu sejarah dari para begawan. Dan kawan-kawan dari berbagai daerah yang sedang menekuninya. Jika masih ada yang menganggap belajar sejarah itu kuno, susah move on, dan beragam stigma buruk lain, berarti anggap saja mereka kurang ngopi dan piknik.
Berawal dari sebuah perkuliahan di rektorat pada senja di Kota Pahlawan. Akses menuju rektorat, sangatlah banyak. Namun saya dan beberapa kawan lain sering menggunakan bus kampus yang rutenya dari kampus A, B, dan C.
Sebelum perkuliahan dimulai, biasanya kawan-kawan menghabiskan waktu di sekitar danau kampus. Sambil menikmati genangan air yang di dalamnya terdapat ikan warna-warni serta angsa yang berada di tepi danau kampus.
Ketika jam perkuliahan tiba. Bergegas menuju rektorat. Dengan posisi duduk letter U, ruangan dingin, ditambah materi sejarah yang membuat ngantuk semangat belajar sejarah meningkat.
Kebetulan Pak Dosen bercerita tentang Sejarah Masa Kecil. Wah…nampaknya asik nih… pikiran saya langsung mengarah ke sebuah surga yang berada di pojok kota Bojonegoro, yang bagian tepinya berbatasan dengan Sungai Bengawan Solo. Surga kecil itu bernama Pohagung.
Mengapa disebut surga? Tentu saja itu sesuai kaidah baiti jannati atau rumahku surgaku. Nah, dari situ bisa dijadikan sebagai klu, mengapa saya menyebut Pohagung sebagai surga.
Kembali ke penjelasan Pak Dosen tentang Sejarah Masa Kecil. Mengingatkan saya pada kajian sejarah dan budaya di Bojonegoro, khususnya ketika saya masih kecil di surga pojok kota, Pohagung.
Mungkin Nabsky, kurang familiar dengan Pohagung atau ada yang menyebut Pagung. Sebuah dukuh yang berada di Desa Campurejo, Kecamatan Bojonegoro. Di Desa Campurejo terdapat tiga dukuh yaitu Pohagung, Mlaten, dan Plosolanang.
Pohagung, secara harfiah berasal dari kepoh dan agung. Kepoh merupakan wit atau pohon kepoh dan agung merupakan kata untuk menggambarkan aliran air yang berada di sekitar wit kepoh. Jadi semacam tempat yang ada pohon kepoh dan aliran sungainya, sekarang sudah tidak ada, diganti bangunan berupa tempat ibadah.
Sebab konon pohon itu dulu digunakan sebagai praktik yang kurang sesuai dengan keyakinan (mayoritas) masyarakat Pohagung yang mengarah pada kesyirikan.
Berdasar teori sejarah kritis, Leopold Von Ranke mengungkapkan: “No Document, No History” yang artinya, aku ingin melupakanmu tanpa dokumen berarti bukan sejarah. Saya masih kesulitan menemukan dokumen-dokumen (primer) yang bercerita tentang Pohagung.
Biasanya, saya menggali data melalui website desa, cerita yang berkembang, dan si mbah. Si Mbah inilah, yang biasanya saya pancing cintanya untuk minta uang ingatannya tentang bagaimana kondisi sosial dan budaya Bojonegoro pada masanya, dan lebih spesifik Pohagung.
Mengingat,sejarah sebagai peristiwa, kisah, ilmu, dan seni. Ada satu lagi yang penting, yaitu sejarah sebagai ibrah atau pelajaran. Sebab dari kisah masa lalu, kita bisa memperoleh pelajaran yang berharga. Kalau kata Kuntowijoyo: dengan sejarah kita belajar jatuh cinta.
Nampaknya kalimat yang diungkap Pak Kuntowijoyo itu dalam bingitz maknanya ya, Nabs. Bayangkan saja, kalau kita mengetahui sejarah keluarga kita, mungkin kita akan lebih jatuh cinta pada keluarga.
(( Begitupun denganmu, yang masih menjadi tanda tanya bagiku. Mengetahui sejarahmu, berarti aku juga belajar jatuh cinta kepadamu. Dan siap menerima kelebihan dan kekuranganmu. Karena di dunia ini tak ada yang sempurna, aku siap menerimamu apa adanya.))
Kembali ke masa kecil di Pohagung. Sembari cangkruk di depan rumah dan berdialog dengan si mbah. Beliau begitu ingat, dengan masa lalunya. Beliau juga memberi penjelasan tentang toponim Pohagung, kebudayaan, dan orang-orang penting pada masanya.
Beliau mengajarkan arti kesederhanaan, beliau pernah bercerita untuk pergi ke sebuah layar tancap dengan anak-anaknya, berjalan kaki untuk menuju pusat hiburan yang berada di kota.
Menyusuri gelapnya malam, alunan suara jangkrik, ular yang lewat, dan lain-lain. Nah, cerita si mbah itu saya anggap sebagai sejarah lisan atau oral history.
Berdasar cerita si mbah dan omongan Pak Dosen ketika berada di Rektorat, membuat saya bersemangat untuk menggali kenangan tentangmu data masa lalu Pohagung kian menggebu.
Mungkin, pembaca yang berasal dari Pohagung alias tetangga, ciee…bisa mengajak saya mengeksplore sejarah Pohagung secara berjama’ah agar anak cucu kita (kita?) nanti tak buta sejarah.
Oh ya, di Pohagung terdapat sebuah gang yang legendaris, yaitu Gapuro Ireng atau Gang Dalangoro. Sebuah gapura yang berwarna hitam megah berdiri dan kelap-kelip ketika Agustusan.
Gapura itu konon memiliki sejarah sendiri loh, Nabs. Ada yang menyebutkan berasal dari kata dalang yaitu orang yang memainkan pertunjukan seni wayang dan oro-oro yang berarti bengawan, katanya dulu terdapat dalang yang meninggal di oro-oro atau bengawan.
Namun hipotesis dari saya mengarah pada daerah bekas pelabuhan. Sebab Gang Dalangoro terkenal ramai dari generasi ke generasi, sebab beberapa waktu yang lalu penulis membaca bukunya Pak Satria yang berjudul Bojonegoro Bercerita menyebut dalam sebuah prasasti terdapat sebuah tulisan daerah-daerah Bojonegoro yang merupakan bekas pelabuhan, salah satunya tersebut i dalangara yang merupakan daerah bekas pelabuhan (sekitar Bengawan Solo).
Ketika menghubungkan sejarah masa kecil dan Pohagung, mungkin kita akan teringat dengan kisah-kisah mistik yang berkembang. Namun kata beberapa orang, kisah itu nyata adanya loh Nabs.
Di kalangan rakyat Pohagung, mungkin tak asing dengan Mbah Krapyak, Eyang Manis, dan sebagainya. Tentunya hal tersebut memperkaya sejarah Desa.
Secara geografis, berada di dekat Sungai Bengawan Solo. Biasanya kawan-kawan bermain di gisik Bengawan Solo, ada yang bluron atau mandi, bermain bola, bermain pasir, dan beragam aktivitas lainnya.
Tidak jarang ketika bermain di gisik bengawan, kawan-kawan pernah menemukan tengkorak, dan hal-hal yang aneh lainnya.
Ada juga yang mengabadikan momen ketika senja dengan ngopi dan berpuisi mengabadikan foto matahari terbenam yang keindahannya bisa dinikmati di sekitar Jembatan Kali Ketek yang lama maupun baru.
Penambang pasir juga masih bisa ditemui, sawah, kebun, dan lain-lain. Alam Pohagung, secara langsung atau tidak, memberi pengaruh setiap individu yang pernah berdinamika di surga pojokan kota itu.
Apalagi ketika bulan Ramadhan atau Hari Raya. Pohagung tak pernah tidur, aktivitas terus berjalan secara bergantian. Biasanya waktu malam, kita jelajah dan menikmati padang malam.
Bermain Perang Dunia dengan senjata petasan atau mercon korek di gisik bengawan. Sembari menikmati alunan ayat suci al-Qur’an, penulis dan kawan-kawan tetap jedar-jeder di gisik bengawan solo yang dingin dan gelap di malam hari.
Penasaran ingin merasakan sensasi gisik bengawan solo di malam hari? Tapi jangan lari terbirit-birit ya Nabs ketika melihat mata merah dan kepulan asap misterius.
Ketika dini hari dan menjelang sahur. Biasanya tongklek atau oklik membangunkan orang-orang untuk makan sahur dan menunaikan ibadah puasa bagi yang berpuasa…Hmm..mulia sekali kan, Nabs anak Pohagung itu, hehehe
Kalau Hari Raya, gema suara takbir berkumandang. Penduduk yang merantau kembali pulang. Bercerita dan bercengkrama dengan warga sekitar, hingga cangkruk dengan kawan-kawan dan mengenang masa kecil dulu, tentang masa kecil yang suka ngileran, ngentutan, nangisan, ketika bermain obak delik atau petak umpet kalahan, radikal dan suka bertengkar, dan lain-lain. Hal-hal itu nampaknya menjadi pengindah di setiap perbincangan ketika mengenang masa kecil.
Sekarang, Pohagung makin berkembang dengan beragam mata pencaharian penduduk. Tentunya mewarnai dinamika perekonomian warga sekitar. Ada pengrajin kayu, kuli tinta, guru, dan lain-lain.
Dari segi kebudayaan, bantengan dan oklik sedang tumbuh dan berkembang. Menjelma sebagai identitas Pohagung di masa sekarang.
Bagi saya, kata Pohagung akan tetap abadi dalam buku catatan harian yang tak bertepi, puisi, dan beragam karya tulis lain.
Semoga kamu juga peduli dengan sejarah desamu, dan menuliskannya, kemudian mengirimkannya di kanal yang menjelma sebagai pusat studi bahasa dan riset kebudayaan Bojonegoro, apa lagi kalau bukan Jurnaba.co.
Oh ya, Nabs. Di bagian akhir tulisan ini, saya kasih cinderamata berupa puisi, yang saya buat di Pohagung pada September 2019 lalu ya. Judulnya Berlayar dengan Kata.
Berlayar dengan Kata
Dentuman lonceng berbunyi
Pertanda pelayaran dimulai
Tak mengenal dini hari
Ragam kejanggalan menyertai
Layar dibentangkan dengan megah
Mengarungi hijaunya sawah
Dalam kedipan mata luluh lantah
Berubah ragam besi yang katanya indah
Haruskah pelayaran kata berhenti?
Jika kata bak hembusan nafas
Haruskah pelayaran kata berhenti?
Jika kata bak nyawa lagi
Haruskah pelayaran kata berhenti?
Jika muda bergairah nan pandai
Berlayarlah dengan kata….
Kapanpun juga
Dimanapun berada
Susah maupun bahagia
Hina maupun ternama
Berlayarlah dengan kata
Akan abadi kapanpun juga
Tak mengenal tinggal nama