Beberapa waktu lalu gagasan jabatan Presiden 3 periode mencuat kembali dalam ranah publik. Hal tersebut memicu diskursus panjang dari berbagai latar belakang masyarakat.
Gagasan Presiden 3 periode memicu pro dan kontra, Nabs. Ada yang setuju, namun ada juga yang secara ‘keras dan lantang’ menolaknya.
Pihak yang setuju menyatakan bahwa jabatan Presiden 3 periode diperlukan untuk menjaga eksistensi kebijakan dan program-program Presiden yang berorientasi berkelanjutan serta telah berjalan secara dua periode kepemimpinan Presiden.
Namun, yang menolak juga memiliki landasan argumentasi bahwa secara expressive verbis dalam konstitusi UUD NRI 1945 Pasal 7 yang merupakan hasil perubahan pertama nenegaskan bahwa jabatan Presiden dan Wakil Presiden maksimal hanya untuk dua kali masa jabatan.
Pembatasan Jabatan Presiden dan Perkembangan Gagasan Constitutional Ethics
Jika ditilik dari sejarah UUD 1945 sebelum diamandemen, sejatinya tidak ada original intend dari para framers of constitution yang menegaskan bahwa jabatan Presiden hanya diperbolehkan maksimal selama 2 periode.
Namun, jika melihat pada karakteristik UUD 1945 sebelum amandemen, sebagaimana dalam penjelasan yang dirumuskan oleh Soepomo yang menegaskan bahwa, “….Yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidup Negara, ialah semangat, semangat para penyelenggara Negara….”.
Dengan hanya mendasarkan pada semangat penyelenggara saja, maka wajar jika UUD 1945 sebelum diamandemen tidak mencantumkan pembatasan masa jabatan Presiden secara fixed term, karena menganggap dengan semangat dan moralitas penyelenggara negara yang dimiliki oleh Presiden maka dengan sendirinya Presiden dapat menentukan untuk kapan harus ‘pensiun’ dari jabatannya.
Meski begitu, dalam perkembangan ketatanegaraan terjadi upaya untuk membatasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden sebagai sarana untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.
Pengalaman di Amerika Serikat menunjukkan bahwa meski tidak pernah dicantumkan secara tekstual dalam konstitusi, namun masa jabatan Presiden dua periode dilaksanakan sebagai constitutional convention dan dianggap sebagai bagian dari etika konstitusi (constitutional ethics).
Etika konstitusi inilah yang menegaskan bahwa meski tidak diatur (dan tidak dilarang) dalam konstitusi Amerika Serikat, namun apabila jabatan Presiden 2 periode itu disimpangi, maka menjadi suatu keyakinan umum bahwa itu merupakan sesuatu tindakan yang tidak etis, Nabs.
Meski diyakini oleh sebagaian besar masyarakat Amerika Serikat, namun etika konstitusi terkait dua periode masa jabatan Presiden akhirnya ‘diruntuhkan’ oleh Franklin D. Roosevelt yang terpilih kembali menjadi Presiden Amerika Serikat untuk yang ketiga kalinya pada tahun 1941.
Hal ini tentunya merupakan pengingkaran terhadap etika konstitusi yang telah diyakini dan dilaksanakan oleh masyarakat Amerika Serikat sebelumnya, namun dengan dalih ‘tidak dilarang oleh hukum (konstitusi)’ maka hal tersebut dianggap sah dan legal.
Dalam hal ini, hukum justru dipisahkan dari etika sehingga hukum dianggap bekerja di ruang hampa tanpa ada etika yang menopangnya.
Ketika tidak ada etika yang menopang, hukum bergerak hanya memenuhi riak kekuasaan dan perspektif politik sempit semata.
Hal ini sebagaimana dalam postulat hukum Belanda yang menyatakan, “Het recht is een hekkensluiter ” yang berarti bahwa hukum hanyalah sebagai tukang tutup pintu pagar.
Maksudnya bahwa, hukum dijadikan sebagai sarana pengesahan konstitusional (constitutional stamp) atas kesepakatan-kesepakatan politik yang justru bersifat sempit, praktis, dan atas dasar kepentingan tertentu.
Dengan demikian, memisahkan hukum konstitusi dengan etika konstitusi layaknya memisahkan air dengan sumber mata air.
Bagaimana air akan mengalir jika sumber mata airnya menjadi kering?
Atas pelanggaran etika konstitusi yang dilakukan pada masa Presiden Franklin D. Roosevelt itulah maka dalam amandemen konstitusi Amerika Serikat ditegaskan adanya pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden maksimal hanya untuk 2 kali masa jabatan.
Komitmen Maksimal 2 Periode Jabatan Presiden
Sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat, polemik terkait masa jabatan Presiden juga terjadi di Indonesia.
Sebelum amandemen UUD 1945, terkesan adanya ‘kelonggaran’ atas masa jabatan Presiden sehingga Presiden Soekarno dapat diangkat menjadi Presiden seumur hidup dan Presiden Soeharto berkuasa kurang lebih hingga 32 tahun.
Nabs, berdasarkan fenomena tersebut, maka salah satu agenda amandemen UUD 1945 adalah adanya 5 kesepakatan dasar sebagaimana yang tercantum dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 yang salah satu poin pentingnya adalah mempertahankan dan menyempurnakan sistem presidensial.
Salah satu gagasan utama dari sistem presidensial adalah adanya pembatasan masa jabatan Presiden yang pasti (fixed term).
Oleh karena itu, amandemen pertama UUD 1945 berhasil mengubah Pasal 7 secara limitatif menjadi ‘hanya untuk 2 kali masa jabatan’.
Meski ada wacana untuk memformulasikan jabatan Presiden 3 periode melalui amandemen kelima UUD NRI 1945, namun seyogianya dibandingkan hanya untuk memenuhi tuntutan politik praktis, lebih baik amandemen kelima difokuskan pada pembenahan substantif bernegara seperti penambahan kewenangan MK terkait constitutional complaint dan constitutional question, serta penguatan kewenangan lembaga DPD.
Selain itu, meski amandemen adalah fenomena politik dan hukum yang tidak dapat dihindari, namun legitimasi amandemen konstitusi ada pada constituted power yang salah satu perwujudannya adalah ketaatan terhadap etika konstitusi.
Sudah seharusnya pembatasan masa jabatan Presiden hanya untuk 2 periode menjadi etika dan hukum konstitusi yang wajib ditaati sebagai upaya untuk mewujudkan sistem Presidensial yang optimal serta suksesi kepemimpinan yang menjamin generasi muda tampil dalam kontestasi pemilihan Presiden ke depannya.