Berikut tinjauan historis saat Bung Besar Soekarno berlebaran Idul Adha di Bojonegoro, 66 tahun silam.
Pada Kamis (29/6) lalu, umat muslim di Indonesia tengah merayakan salah satu hari besar keagamaannya yaitu, Iduladha. Hari besar ini diperingati pada tanggal 10 Dzulhijjah setiap tahunnya yang juga biasa disebut sebagai lebaran haji.
Penyebutan lebaran haji dikarenakan pada bulan-bulan ini lazim diselenggarakan rukun Islam yang kelima yaitu ibadah haji di tanah suci.
Di mana puncak ibadah haji sendiri terjadi bertepatan pada satu hari sebelum Hari Raya Iduladha, yaitu pada tanggal 9 Dzulhijjah dengan perwujudan berupa wukuf di Padang Arafah.
Selain penyebutan lebaran haji, beberapa penyebutan lain yang biasa digunakan untuk memperingati hari raya ini adalah lebaran besar dan lebaran kurban, Nabs.
Lebaran besar merujuk pada rentang hari perayaannya yang mencapai 4 hari yaitu meliputi 10 Dzulhijjah yang biasa disebut sebagai Hari Raya Iduladha dan 11, 12, 13 Dzulhijjah yang biasa disebut sebagai Hari Tasyrik.
Sementara, penamaan lebaran kurban adalah sebagai simbolisasi dari penyembelihan hewan kurban pada peringatan Hari Raya Iduladha.
Kata kurban inilah yang kemudian pada suatu ketika digunakan oleh Bung Karno untuk mengobarkan semangat perjuangan di bumi Anglingdarma pada 1957 silam.
Saat Bung Karno Berlebaran Adha di Bojonegoro
Tepatnya pada tanggal 8 Juli 1957 berkenaan dengan perayaan Hari Raya Iduladha, Bung Karno memilih untuk merayakan lebaran di Bojonegoro, Nabs.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kini Bung Karno memilih untuk menepi dari keramaian ibukota dengan merayakan lebaran di kota ledre tersebut.
Bung Karno kemudian melangsungkan Sholat Id bersama warga Bojonegoro yang bertempat di Masjid Agung Darussalam, Kauman, Bojonegoro Kota.
Dalam kunjungannya ke Bojonegoro, beliau didampingi oleh sejumlah pejabat dari kalangan menteri.
Para pejabat yang mendampingi Bung Karno tersebut adalah Menteri Penerangan Soedibjo, Menteri Negara Urusan Veteran Chaerul Saleh, dan Menteri Urusan Tenaga Rakyat Anak Marhaen Hanafi.
Nabs, tujuan lain dari Bung Karno melawat ke Bojonegoro ini adalah untuk mengobarkan semangat perjuangan guna menghapuskan sisa-sisa imperialisme di bumi pertiwi.
Selepas melaksanakan serangkaian ibadah pada Hari Raya Iduladha, malam harinya yaitu pada Senin malam beliau mengumpulkan warga Bojonegoro di alun-alun untuk menyampaikan orasi kebangsaan.
Bertepatan dengan perayaan Hari Raya Kurban maka tema besar yang diambil Bung Karno dalam orasi di Bojonegoro kali ini adalah tentang pengorbanan rakyat demi bangsa dan negara.
Berikut sebagian kutipan orasi Bung Karno pada malam itu:
“Tuhan juga tidak akan melupakan kita, jika kita siap untuk berkorban. Kehidupan nabi menjadi teladan bagi kita. Umat Islam tidak boleh puas dengan sedikit kurban dalam setahun, tetapi kita sebagai umat secara keseluruhan harus siap berkorban kapan saja jika ingin memajukan kepentingan umat dan negara. Manusia pada dasarnya bersifat pemalas, tetapi kita harus melawan sifat ini. Kita tidak boleh mudah puas dengan apa yang telah kita capai. Sejarah membuktikan bahwa bangsa-bangsa besar mengalami keruntuhan karena rakyatnya puas dengan hasil yang dicapai dan tidak mau berkorban lebih jauh untuk negara.” (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 9 Juli 1957)
Bung Karno kemudian menambahi, hanya dengan cara pengorbanan inilah kita bisa menjadi bangsa yang besar.
Kebaikan hanya dapat dicapai melalui pengorbanan. Kita harus berkorban setiap hari. Tidak hanya untuk keluarga kita, tetapi juga harus rela berkorban untuk bangsa kita dan rakyat kita, dan hanya melalui itu kita bisa menjadi bangsa yang besar.
Seruan agar rakyat rela berkorban demi bangsa dan negara pada saat itu dilatarbelakangi oleh kondisi negara Indonesia yang masih belum stabil, Nabs.
Pada periode Demokrasi Liberal ini, terjadi beberapa kekisruhan politik yang kemudian berdampak pada kondisi perekonomian negara yang mengalami rasio penurunan.
Pemerintah Indonesia menghadapi kesulitan-kesulitan politik yang sangat genting, yakni sebagai akibat meruncingnya hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Serta tercapainya klimaks di dalam perselisihan antara Indonesia dengan Belanda mengenai Irian Barat (Biro Perancang Negara, 1959: 10).
Oleh karena kondisi perekonomian negara yang tengah mengalami tren penurunan, Soekarno merasa perlu untuk berkunjung ke penjuru negeri guna mengobral semangat nasionalisme.
Namun ironisnya, selepas kunjungan historis dan orasi herois tadi, justru Kusno Sosrodiharjo, nama kecil Soekarno, meninggalkan beberapa polemik di tanah Malowopati ini.
Permasalahan yang ditinggalkan oleh Bung Karno di Bojonegoro ini kemudian dipersoalkan oleh KH Misbah, salah seorang anggota DPR RI.
Beberapa poin yang dipersoalkan oleh KH Misbah di antaranya adalah mengenai besaran biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah demi kelancaran perjalanan rombongan kepresidenan selama berada di Bojonegoro.
Selain itu, beliau juga mempertanyakan mengenai rumor bahwa rakyat Bojonegoro juga diharuskan untuk menanggung sebagian biaya kunjungan rombongan presiden selama di tanah mereka.
Tak main-main, penduduk Bojonegoro ditarik iuran sebesar Rp65.000,00 untuk biaya kunjungan tersebut.
Bayangkan saja pada tahun 1959 dalam buku 20 Tahun Indonesia Merdeka Jilid II, harga emas murni hanya di angka Rp50,51 per gram.
Maka dengan kewajiban iuran sedemikian besarnya bisa dialokasikan untuk membeli emas sebesar 13.000 gram atau 13 kilogram emas murni.
Luar biasa sekali bukan?
KH Misbah kemudian juga mempertanyakan mengapa penduduk Bojonegoro harus menanggung biaya perjalanan rombongan presiden sebesar itu.
Jika memang pemerintah tidak sanggup untuk menanggung keseluruhan biaya perjalanan maka alangkah baiknya kunjungan presiden ke Bojonegoro tersebut dibatalkan saja.
Mengingat Bojonegoro sendiri merupakan wilayah yang sangat minim akan pendapatan daerah (Indische Courant voor Nederland, 8 Juli 1959).
Mungkin satu-satunya hal baik yang ditinggalkan oleh Bung Karno dalam lawatannya saat itu adalah masyarakat Bojonegoro boleh sedikit berlapang dada atau legawa, Nabs.
Sebab tanah kelahiran mereka tidak seangker itu sehingga tidak ada presiden yang berani untuk berkunjung ke Bojonegoro.
Wallahu a’lam bis showab