Sesuai janji, Aisyah bertemu Ali.
Seusai mengantar sarapan untuk bapaknya, Aisyah menemui Ali di gubuk. Ini pertemuan kedua mereka setelah kemarin mereka bertemu secara tidak sengaja dan membincangkan satu hal. Pagi ini, Ali akan menjelaskan satu hal yang penting bagi Aisyah.
“Sudah lama menunggu Ais, mas?” tanya Aisyah sembari meletakkan sepedanya.
“Tidak Ais, aku baru tiba tujuh menit yang lalu.” Ali mendongak, senyumnya mengembang. Aisyah merona.
“Mari duduk sini!” Ajak Ali.
Aisyah naik ke gubuk dan duduk di depannya. Kotak nasi ia buka, bau gurih tempe goreng keluar seketika.
“Dimakan, mas” tawarnya.
Ali mengambil dan memakannya. Terlihat jelas Ali menyukai tempe masakannya.
“Oh iya mas, bagaimana dengan kemiskinan sistemik?” tanya Aisyah ke Ali yang asyik mengunyah tempe. Cepat-cepat Ali menelannya.
“Ais buru-buru?”
Aisyah menggeleng. Dia tak suka basa-basi. Baginya itu hanya akan menghabiskan waktu. Daripada waktunya habis karna basa-basi, lebih baik digunakan untuk diskusi.
“Jadi..” lanjutnya.
“Sederhanannya kemiskinan sistemik itu ada kesengajaan untuk membuat masyarakat terus-menerus hidup dalam garis kemiskinan, bahkan di bawah itu guna memperkaya segelintir orang. Sistem itu telah terstruktur dan berlaku secara sistematis dari tingkat rendah hingga tinggi sekalipun. Mereka yang melanggengkan sistem seperti ini biasanya orang-orang yang ‘sukses dan kaya’ sehingga ‘menindas’ di bawah mereka.
“Demokrasi dalam negeri ini nampaknya juga melegalkan sistem yang berjalan. Sehingga bagaimana pun kemiskinan akan tetap ada. Bahkan yang membuat sedih ketika orang kaya mengatakan ‘usahamu kurang, makanya masih belum sukses atau kaya’. Ini tentu menyakiti hati kita”
Aisyah mengangguk. Ia setuju dengan Ali.
“Sebentar, aku minum dulu” Ali menuangkan air dalam gelas. Memegangnya lantas meminumnya.
“Coba sekarang kamu ambil beberapa kertas ini dan buat menjadi seperti batu” Ali menyodorkan buku. Aisyah menyobek beberapa lembar kertas dan segera melakukannya.
Enak kertas telah terbentuk seperti batu. Ali turun dari gubuk dan memindahkan sepeda Aisyah tiga langkah dari gubuk.
Ali meminta Aisyah berdiri di gubuk bagian belakang, jauh dari sepeda dengan membawa lima kertas. Sedangkan Ali duduk di gubuk depan, dekat dengan sepeda.
“Lemparkan kertas itu satu persatu agar masuk ke keranjang” ucap Ali.
Aisyah melempar. Usaha pertamanya gagal. Kertas itu hanya mengenai Ali.
“Kalau jauh begini susah masuk, Mas” protes Aisyah.
“Lempar saja dulu. Coba lagi yang lebih keras”
Lemparan kedua terlampau keras. Kertas terlempar melebihi keranjang.
Percobaan ketiga juga gagal. Kertas jatuh di dekat keranjang.
“Kurang sedikit lagi. Ambil ancang-ancang yang tepat. Fokuskan pada keranjang. Lempar dengan lontaran yang pas.” jelasnya
Aisyah melempar lagi. Kini kertas itu menyentuh keranjang namun jatuh di luarnya.
“Bagus. Lebih fokus lagi, yakin lemparan terakhirmu masuk keranjang!” Ali meyakinkannya.
Ini kesempatan terakhir Aisyah. Lemparan terakhirnya harus masuk keranjang. Tak apa jika empat lemparan sebelumnya tidak masuk. Terkecuali yang ini, ia harus berhasil.
“Yesss!!!” teriaknya kegirangan. Ia loncat-loncat hingga membuat gubuk kayu itu bergetar. Lemparan terakhirnya tepat sasaran. Kertas itu masuk ke keranjang. Ali tersenyum melihat tingkah Aisyah.
“Nah, sekarang giliranku yang akan lempar kertas ini” kata Ali memperlihatkan kertasnya.
Sekali lempar dan masuk. Kertas itu kini di keranjang yang sama dengan Aisyah. Ali kembali duduk di hadapan Aisyah.
“Ya jelaslah masuk. Mas Ali tempatnya lebih dekat dengan keranjang! Ais kan jauh di belakang” gerutunya saat Ali duduk di hadapannya.
“Hahaha..” Deretan gigi-gigi putihnya terlihat. Ia tertawa mendapati wajah kesal Aisyah.
“Ais tahu kenapa aku memintamu melempar dari tempat yang lebih jauh?” tanyanya.
Aisyah menggeleng. Ia tidak mengerti. Ia ingin bertanya apa hubungannya kemiskinan sistemik dengan melempar kertas ke keranjang.
“Ada hal menarik yang bisa kita ambil dari permainan lempar kertas tadi” seolah tahu apa yang sedang dipikirkan Aisyah, Ali melanjutkan.
“Ais yang duduk di belakang harus berkali-kali mencoba agar kertas tadi masuk di keranjang. Berapa kali lemparan? Tidak hanya cukup sekali dua kali, bahkan Ais harus mencoba hingga lima kali baru bisa masuk. Bukan hanya usaha saja yang keras, Ais harus fokus, menambah kekuatan lemparan, ada strategi khusus agar lemparan tepat sasaran.
“Kamu bahkan kuminta berdiri agar kamu bisa mengira-ngira seberapa kuat lemparanmu dan bisa melihat keranjang lebih leluasa. Sedangkan aku cukup duduk dengan jarak tiga langkah dari keranjang. Apa aku cukup asal melempar? Tidak. Aku perlu taktik agar lemparan tepat masuk ke keranjang. Aku juga mengira-ngira supaya kertasnya tidak terlempar kurang atau melebihi keranjangnya. Sekali lemparan, boom! Masuk!”
Gebrakan tangan Ali ke lantai gubuk mengagetkan Aisyah. Ali tertawa lagi.
“Aku sedang menjelaskan padamu tentang kemiskinan sistemik dan privilese ‘hak istimewa’ dengan perumpamaan lempar kertas ke keranjang. Ais yang melempar hingga lima kali baru masuk menunjukkan usaha yang keras dari orang miskin agar kertas masuk ke keranjang.
Usaha itu dilakukan lebih keras dari pada aku yang hanya sekali. Tentu, protesmu bahwa posisiku yang lebih dekat dengan keranjang boleh dan sah-sah saja. Aku lebih diuntungkan dengan posisi yang dekat, sedangkan Ais dengan jarak yang jauh.”
Ali berhenti sejenak dan meminum sisa setengah air dalam gelas.
“Aku yang berada di dekat keranjang seperti orang kaya yang sukses. Kesuksesanku berasal dari kerja kerasku. Tapi apa aku pantas hanya mengatakan sukses ini dari kerja keras? Tidak. Mau tidak mau aku harus mengakui bahwa ada privilese yang aku terima. Posisi yang menguntungkan. Sedangkan kamu tidak memiliki itu..”
“Maksutnya bagaimana, Mas?” sergah Aisyah.
“Aisyah, seperti yang aku katakan kemarin bahwa tiap dari kita tidak memiliki kesempatan yang sama. Sangat naif jika ada yang mengatakan kalau kesempatan itu sama tiap orang. Kamu yang memiliki kesempatan hingga lima kali baru bisa berhasil, sedangkan aku cukup sekali lempar sudah masuk keranjang. Ini membuktikan bahwa ada sistem yang mengatur ini, keistimewaan dalam beberapa hal juga menjadi pendorongnya.”
“Begitu pula dengan yang akan kita rasakan di kehidupan mendatang. Kita yang miskin sedari kecil ketika sukses kelak kita cenderung untuk tetap miskin. Berbeda dengan mereka yang sedari kecil sudah berada dan ketika dewasa sukses mereka tetap akan kaya bahkan kaya raya hingga tujuh turunan tak akan habis hartanya.” Ali menjelaskan hati-hati kepada Ais. Ia takut justru penjelasannya malah membingungkan.
Itu benar. Ada hal-hal yang harusnya kita mengakui bahwa ada privilese yang diterima orang ‘kaya’ dalam meraih kesuksesannya. Contoh saja dengan posisi yang lebih dekat dalam melempar kertas tadi.
Dalam kehidupan nyata, mereka yang kaya memang biasanya sejak kecil berasal dari keluarga yang kaya. Kebutuhan primernya sudah terpenuhi, ia tidak perlu khawatir kekurangan makan, gizi yang tidak seimbang, pakaian yang layak bahkan tempat tinggal yang sangat mewah. Tak heran jika kebutuhan sekunder dan tersiernya bisa juga terpenuhi.
Sedangkan mereka yang miskin harus bekerja lebih keras untuk menghidupi keluarganya. Makan yang pas-pasan, terkadang pula harus menelan nasi dengan garam sehari sekali demi mengisi perut, pakaian yang lusuh bahkan atap yang bocor saat hujan, terus mereka usahakan.
Untuk memenuhi kebutuhan pokoknya saja mereka harus berjibaku, apalagi kebutuhan sekunder dan tersier. Primer terpenuhi, mereka amat bersyukur.
“Bukan karena usahamu yang kurang ketika melempar tadi, melainkan tidak adanya kesetaraan dalam hidup ini yang memaksa kita harus menerima semuanya. Harus ada orang-orang yang sadar ini dan menjadi pelopor demi tegaknya sejahtera. Jikalau kamu mau, aku akan hendak mengajakmu mendiskusikan ini lebih lanjut dengan teman-teman lain di desa ini” kata Ali.
Cuaca makin panas. Bulir keringat menetes dari dahi Ali. Tangannya memegang tempe kembali.
“Berarti, orang miskin seperti kita tidak mendapat privilese ya, mas?” dahi Aisyah mengernyit.
“Bisa jadi kita tidak memiliki privilise, tetapi usaha keras kita juga tidak cukup. Makanya, tidak masuk akal jika mereka yang kaya itu hanya mengatakan usaha yang lebih keras agar kamu lebih sukses. Ini bertentangan dengan kenyataan, Ais.”
Ais manggut-manggut. Ia sepakat dengan tetangganya yang cerdas itu.
Kemiskinan yang terjadi di negeri ini juga karena hal itu. Ketidaksadaran dan enggan mengakui bahwa mereka yang kaya karena ada privilese. Bukan berarti yang miskin kurang usaha tetapi kesempatan yang tidak merata mendukung adanya kemiskinan sistemik.
Struktur yang ada mendorong mereka yang kaya menjadi semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin. Struktur dan kultur menempatkan kemiskinan menguat bagai anak tangga yang terus menjulang tinggi ke angkasa.
Aisyah mengingat bapaknya. Dua hari lalu ia mengatakan padanya, jangan menyiram cuka di atas luka.
“Sekarang aku mengerti, mas. Pendidikan menjadi salah satu kunci agar kemiskinan sistemik ini bisa ditekan. Dan, ekonomi yang berjalan tidak hanya melibatkan orang kaya sebagai produsen dan orang miskin sebagai konsumen, mereka harus memiliki kesempatan yang sama dalam proses produksi. Setidaknya jika yang miskin ialah konsumen, maka harga beli produknya harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi konsumen bukan memenuhi keinginan pasar. Begitu kan, mas?” Aisyah menutup kotak nasinya. Tempe yang ia bawa sudah habis dimakan Ali.
“Seratus untuk kamu, Ais” dua jempol ia tunjukkan ke Aisyah.
“Baik mas, Ais pamit pulang dulu. Ada tugas” pamitnya.
“Eh, buru-buru, Ais” Ali menggaruk tengkuknya.
“Kalau ada diskusi dengan teman-teman, jangan lupa ikut!”
“Siap, mas. Kabari saja!” teriaknya sambil terus mengayuh.
Ali tersenyum. Punggung Aisyah hilang ditelan ujung belokan jalan.