Mbah Hasyim tak banyak membangun gedung. Tapi membangun paradigma intelektual dan menyemai atmosfer keilmuan.
Mbah Hasyim sosok yang menekankan pentingnya menjadi seorang alim dan memiliki paradigma intelektual. Di saat sama, beliau juga menekankan perhatian pada hal-hal sederhana. Pada perihal yang tidak muluk-muluk.
Martin Van Bruinessen, seorang antropolog dan peneliti barat, menganggap Mbah Hasyim Asy’ari sebagai ulama pertama yang memperkenalkan dan mengajarkan ilmu hadits ssbagai objek studi di pesantren.
Sebelumnya, L. W. C. van den Berg, seorang orientalis Belanda yang hasil penelitiannya dikutip Martin Van Bruinessen, mengatakan bahwa pada abad ke 19 belum ada satupun pesantren yang menjadikan kitab hadits sebagai bidang studi yang dipelajari.
Dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (2015), Bruinessen mengatakan bahwa Mbah Hasyim merupakan ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kitab hadis Sahih Bukhari di kalangan pesantren. Beliau memahami dan mempelajari kutubus sittah, (enam kumpulan hadis dari perawi terbesar).
Mbah Hasyim memang sosok pembaharu. Ulama yang memperkenalkan kitab hadits sebagai bidang studi di pesantren-pesantren nusantara. Hal itu juga jadi bukti tentang betapa perhatiannya Mbah Hasyim pada ilmu pengetahuan.
Seorang yang memiliki ilmu, kata Mbah Hasyim, menduduki tempat yang tinggi. Karena itu, dalam bab pertama kitab Adab al-Alim wa al-Mutaalim, Mbah Hasyim mengawali pembahasan tentang pentingnya ilmu dengan ditopang Quran, Hadits, dan pandangan ulama.
Serupa Imam Al Ghazali, Mbah Hasyim menganggap bahwa ahli ilmu lebih utama dibanding ahli ibadah. Yang perbandingannya, setan lebih sulit menggoda seorang ahli ilmu dibanding seribu ahli ibadah.
Satu langkah ahli ilmu lebih utama dibanding ahli ibadah yang naik motor sekalipun. Sebab, ahli ilmu satu langkah bisa langsung sampai. Sementara ahli ibadah masih muter-muter karena kebingungan.
Esensi terpenting dalam tubuh Nahdlatul Ulama, menurut Mbah Hasyim, adalah kedalaman ilmu dan paradigma intelektualitas. Itu alasan Mbah Hasyim sangat menaruh perhatian pada dunia pendidikan dan dimensi keilmuan.
Ilmu menjadi sesuatu yang sangat esensial. Sesuatu yang tak keluar begitu saja dari gimik tenggorokan. Tapi mendarah daging dan mentradisi dalam gerak terkecil tubuh manusia, sebagai kepekaan panca indera.
Qonun Asasi dan Toleransi
Pada 1930, dalam muktamar ke-3 NU, Mbah Hasyim menyampaikan pokok pikiran organisasi NU yang masyhur dikenal Qonun Asasi (Undang-Undang Dasar). Yang sekaligus menjadikan Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) sebagai manhajul fikr dan ideologi.
Dengan menjadikan Aswaja sebagai ideologi dan tujuan organisasi, kata KH Aziz Masyhuri, bisa dipahami bahwa NU melembagakan karakter khas para santri yang mengacu pada pemikiran Imam Syafi’i, Imam Hasan Asy’ari dan Imam Al Ghazali yang sangat mementingkan arti tasamuh (toleransi).
Dalam muqodimah Qonun Asasi, toleransi menjadi sesuatu yang disinggung berkali-kali. Sebab, manusia tak bisa tak bermasyarakat. Seseorang tak mungkin sendirian memenuhi segala kebutuhan-kebutuhannya.
“Suatu ummat bagai jasad yang satu.
Orang-orangnya ibarat anggota-anggota tubuhnya.
Setiap anggota punya tugas dan perannya”. (Qonun Asasi).
Selain toleransi, prinsip penting dalam koridor Aswaja adalah tawassuth (di tengah-tengah dan menghindari ekstrimitas), tawazun (seimbang antara habl min an-nas dan habl min Allah), dan amar makruf nahi munkar.
Dan itu semua, sesungguhnya, proses mengakomodir ajaran Wali Songo. Sebab bagaimanapun, Wali Songo konsep yang dijadikan Mbah Hasyim sebagai role model dalam membangun tradisi muamalah Nahdlatul Ulama.
Ini alasan utama kenapa masyarakat nahdliyin menjadikan ilmu sebagai sesuatu yang sangat penting dan esensi. Dan karena esensi itulah, ia kadang sulit disimbolkan sebagai gimik dan story. Ilmu yang meng-esensi, juga menjadikan seseorang kian tawadhu dan tak mudah menyombongkan diri.
Ini juga jadi alasan utama kenapa masyarakat Nahdliyin selalu berusaha menjaga toleransi. Sebab, mengacu Imam Syafi’i dan Al Ghozali. Yakni, menjauhi ekstrimitas dan terus menjaga keseimbangan antara hubungan dengan manusia dan hubungan dengan Allah.