Secara historiografi ilmiah, Wayang Thengul merupakan bukti kedekatan Islam dan Kebudayaan. Sebuah entitas yang khas Masyarakat Njipangan.
Di Pulau Jawa, Islam dan Kebudayaan jadi sepaket entitas yang tak mungkin bisa terpisah. Wayang Thengul, Wayang Gedog, dan Wayang Menak adalah contoh di antara penyatuan dua spektrum tersebut, kedalam sebuah koridor yang kelak kita kenal sebagai kesenian wayang.
Wayang Thengul merupakan ikon kebudayaan Bojonegoro. Ia pertamakali muncul dan berkembang di Padangan Bojonegoro. Secara empiris, Wayang Thengul diciptakan Ki Dalang Samjan Padangan pada awal 1900 M. Kemudian pada periode berikutnya, Wayang Thengul dikembangkan secara populer oleh Ki Santoso Padangan.
Data dari Disbudpar Bojonegoro, hingga 2015, tercatat 20 dalang yang masih bisa memainkan Wayang Thengul. Namun, jumlah pengrajinnya sangat sedikit. Pusat produksi Wayang Thengul berada di Padangan. Tepatnya di Desa Dengok dan Desa Kuncen Padangan, wilayah bantaran sungai Bengawan, batas antara Jawa Timur dan Jawa Tengah yang dulu dikenal dengan Jipang Padangan.
Padahal, Padangan Bojonegoro pernah mendapat stigma sebagai wilayah anti wayang dan anti kebudayaan. Sebab, jarang mengadakan pertunjukan wayang. Namun faktanya, Padangan justru menjadi tempat lahir kesenian wayang ikonik bernama Thengul. Diakui atau tidak, inilah konsep kerja Para Wali. Ada demarkasi tegas antara yang esensi dan yang seremoni.
Wayang Thengul Bojonegoro konon dibuat bukan untuk berdakwah, tapi murni untuk berkesenian. Namun faktanya, Wayang Thengul membawakan cerita dari Serat Menak, lakon Amir Hamzah, dan kisah Para Wali. Diakui atau tidak, inilah konsep kerja Para Wali. Membungkus Islam dalam kebudayaan, meski tanpa disadari.
Untuk diketahui, Wayang Thengul merupakan generasi lanjutan dari Wayang Menak atau Wayang Gedog — kesenian yang amat identik sebagai medium dakwah Para Wali di wilayah Jipang (Bojonegoro dan Blora). Seperti halnya Wayang Menak dan Wayang Gedog, Wayang Thengul juga mengambil cerita dari naskah Serat Menak.
Data Literatur Serat Menak
Serat Menak merupakan saduran dari literatur Persia berjudul Qissai Emr Hamza (Hikayat Amir Hamzah) yang dibuat pada zaman pemerintahan Sultan Harun Al-Rasyid (786 – 809 M). Hikayat itulah yang kelak disadur menjadi Serat Menak. Di Jawa, Wali Songo terbukti secara empiris sebagai penyusun pertama Serat Menak.
Sesuai data dari Kitab Kawruh Asalipun Ringgit, penyaduran ini dilakukan pertamakali oleh Sunan Giri (1442 -1506 M) dan Sunan Bonang (1465 – 1525 M). Sunan Giri dan Sunan Bonang adalah figur pertama yang membuat Wayang Gedog (Wayang Menak), dengan jalan cerita diambil dari Serat Menak.
Kitab Kawruh Asalipun Ringgit juga menyebut, pada era Kesultanan Pajang (1554 – 1587 M), Naskah Menak (Wayang Gedog) mengalami modifikasi. Namun di saat yang sama, juga mengalami peningkatan popularitas yang sangat masif hingga periode 1600 M. Pada zaman inilah, nama “Gedog” dan “Menak” bahkan menjadi identitas utama para penyebar Islam dari Kesultanan Pajang.
Data itu terbukti ilmiah. Sebab pada 1627 M, telah ditemukan Naskah Menak (gubahan era Pajang) dalam lontar sebanyak 119 lembar. Naskah itu kemudian diserahkan ke Bodleian Library. Artinya, dua abad sebelum Para Pujangga Surakarta menulisnya, Serat Menak Amir Hamzah telah beredar luas di Jawa (Ricklefs & Voohoeve, 1977:43, dikutip Sedyawati dkk, 2001:319).
Pada masa yang lebih barusan, Serat Menak kembali ditulis oleh Ki Carik Narawita (yang hidup pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwana I), tepat pada 1717 M. Lalu pada masa berikutnya lagi, Serat Menak juga kembali ditulis dan dipopulerkan oleh Yasadipura I (1729 – 1803 M), yang merupakan pujangga dari Kasunanan Surakarta.
Wayang Thengul dan Dakwah
Wayang Thengul menjadi bukti bahwa Islam dan kebudayaan punya kedekatan. Dalam konteks dakwah Islam, keduanya bahkan tak terpisahkan. Sebab, cerita-cerita yang dilakonkan dalam Wayang Thengul, mengambil tema Hikayat Amir Hamzah, sesuatu yang juga dilakonkan sejak masa Wali Songo (Sunan Giri dan Sunan Bonang) dan Kesultanan Pajang.
Islam dan Kebudayaan memang kerap ingin dipisahkan. Baik oleh Kaum Puritan maupun oleh Pelaku Penjajahan. Namun kenyataannya, mereka selalu mengalami kegagalan. Sebab, Wayang Thengul, Wayang Gedog, atau Wayang Menak, memang lahir dari rahim Islam dan kebudayaan. Islam berbudaya, khas Masyarakat Njipangan.