Dengan bangga aku bercerita tentang tempat ibadah bangsaku, Tionghoa. Meski sesungguhnya aku telah memilih islam sebagai agama.
Perlahan tirai jendela kamar kusingkap hingga terang menyelinap cepat. Debaran hangat menjalari seluruh isi hati dengan hebat. Wajah ayunya terbayang sekelebat. Menetap pada pikiran. Singgah pada kenyamanan.
Kurapatkan jari telunjukku pada sidik jari android. Layar membuka, terang. Di monitor itu wajah perempuan keturunan Jawa Belanda terpampang apik. Kuketik sebuah pesan di aplikasi chat berwarna hijau.
[Selamat pagi, Tuan Putri.]
Klik. Terkirim. Terakhir dilihat pukul 22.00 WIB. Dia jarang bergadang meskipun penggemar berat drama Korea. Dia sering menonton di siang hari.
Kata Si Anak Biologi itu tidur terlalu larut tidak baik untuk kesehatan. Terutama kecantikan. Ah, Si Ann. Batapa dia sangat menjaga parasnya.
Karena menurutnya, semua perempuan adalah cantik. Dengan merawat cantik itu, perempuan mensyukuri cantiknya.
[Ook goedemorgen, Prins]
Akhirnya dia membalas juga. Dalam Bahasa Belanda yang memiliki arti selamat pagi juga, Pangeran.
[Mau jalan-jalan hari ini?]
[Tentu. Dua jam dari sekarang?]
[Baiklah.]
Kulirik jam dinding kamar, pukul delapan. Baiklah, jam sepuluh kita berangkat, Perempuan Agustusku.
“Sudah siap?” tanyaku ketika sudah sampai di rumah Annisa.
Hanya kutemui eyang di halaman rumah. Tengah membaca koran dan menikmati secangkir kopi.
“Sudah dong,” katanya bersemangat.
“Papa mama di mana?” tanyaku.
“Pergi. Katanya sih ada acara sama teman lama.”
Kami berpamitan pada eyang yang merupakan orang Jawa tulen. Pakain harian beliau masih adat Jawa. Belangkon itu masih setia jadi mahkota.
“Mau ke mana, Ram?” tanya Ann usai memasang sabuk pengaman.
“Klenteng Kwan Sing Bio,” jawabku santai sambil memutar kunci mobil.
“Apa? Kenapa nggak bilang dari tadi? Tahu gitu kan aku berangkat sendiri. Tuban Kota ke Singgahan jauh, Ram. Ya kali kamu dari rumah ke rumahku terus balik lagi ke Tuban,” gerutunya bertubi-tubi.
Aku malah tertawa. Biarlah. Toh, aku lebih suka menjemputnya. Meski sebenarnya jarak klenteng dan rumahku sangat dekat. Aku bisa saja menunggu Ann di rumah tapi aku tidak mau.
“Biarin. Aku suka,” bantahku.
“Tapi aku nggak suka, Ram. Buang-buang waktu. Rumahmu Tuban Kota. Jarak klenteng dari rumahmu deket banget. Kamu malah milih jemput aku?” sanggahnya kesal.
Wajah itu merah padam. Kali ini dia benar-benar marah.
“Maaf, Ann. Aku kepingin kamu baik-baik saja. Secara kamu ogal-ogalan jika nyetir mobil. Naik motor nanti kecapean. Diantar Pak Warno kamu nggak bakal mau. Aku khawatir,Ann,” terangku.
Dia hanya diam. Membisu. Pandangannya dialihkan ke luar jendela yang terbuka. Aku menarik nafas panjang. Mungkin hal kecil ini tak seharusnya diperdebatkan.
“Ann, jadi berangkat kan? Hari mulai siang.”
Dia tak menjawab.
“Ann?”
Dia mengangguk, pelan. Sepanjang perjalanan dia hanya diam. Bahkan dia tidak ikut bersenandung ketika VCD mobil kuputar lagu-lagu Korea. Meski sebenarnya aku tak faham artinya.
“Ann, maaf,” lirihku.
“Hahahaha, yessss berhasil. Prank. Hehehehe. Kapan sih Ram aku pernah marah sungguhan?”
Astaga Ya Tuhan. Betapa manis makhluk ciptaanMu ini. Rasa-rasanya aku ingin memeluknya karena kesal.
“Ann, tiap hari kamu marah sungguhan,” kataku geram.
“Yeahh ngejek? Aku marah beneran ini. Mau?”
“Tidak, Tuan Putri. Jika Anda bersedih maka saya akan dihukum gantung oleh Baginda Raja.”
Terdengar olehku gelak tawanya yang khas. Selama tigah puluh menit perjalanan, kami sampai pada klenteng yang terlerak di jalan Martadinata No.1, Kelurahan Karangsari, Kecamatan Tuban. Klenteng yang menghadap langsung pada lautan.
Aku menggandeng tangan Ann untuk memasuki tempat ibadah orang Tionghoa ini. Bukan untuk beribadah melainkan untuk berwisata di akhir pekan.
Karena memang aku telah memilih Islam sebagai agama bukan menjadi penganut agama Buddha, Tao, dan Konghucu atau yang disebut dengan ajaran Tri Dharma.
Kami memasuki gerbang yang di atasnya ada hiasan kepiting besar. Kepiting yang merupakan makanan khas Tuban. Lebih tepatnya masakan kari rajungan.
Kami disambut oleh pernak-pernik warna merah, hijau dan kuning. Warna-warna yang mengandung banyak “ong”.
Di setiap altar ada persembahan yang tertata rapi di atas meja yang menghadap patung dewa. Dengan lilin dan damar yang menghiasi.
“Kenapa cawan dupanya berhias ornamen naga, Ram?” tanya Ann saat melihat wadah dupa yang sisi kiri dan kanannya terdapat ornamen naga.
“Oh itu. Naga itu salah satu dari empat makhluk spiritual dengan penghormatan tertinggi. Tahu tidak empat makhuk itu apa saja?” tanyaku mengetes pengetahuannya.
“Yak kali tahu. Aku bukan keturunan Tiongoa kaya kamu. Dasar.”
Dia manyun. Dan aku suka.
“Hahaha, salah sendiri jadi keturunan Sri Ratu Wilhelmina. Empat hewan itu phoenix, qilin, naga dan kura-kura. Naga termasuk yang paling perkasa. Jadi, klenteng ini diharapkan jadi perkasa. Termasuk yang beribadah di dalamnya,” jelasku.
“Terus maknanya lampion itu apa?” tanyanya lagi.
Dia benar-benar perempuan yang haus akan pengetahuan. Dan dia tak segan-segan untuk mencatat jadi tulisan.
“Lampion sendiri memiliki makna kebahagiaan dan harapan.”
“Aku mau lampionnya satu, Ram. Aku ambil ya,” pintanya.
“Jangan. Nanti aku belikan saja. Ngawur kamu, Ann. Masa iya lampion klenteng mau kamu ambil?” larangku.
“Hehehe iya-iya.”
Setelah di aula pertama yang merupakan tempat pembakaran hio kami beranjak menuju aula ke dua.
“Kamu tahu fungsi aula ke dua?”
Aku memandang Ann. Ingin melihat ekspresi kebingungannya.
“Yah dibuat wisatalah.” Dia menjawab sekenanya.
“Hahaha, klenteng itu ada tiga bagian. Aula pertama tadi untuk pembakaran hio. Ke dua untuk sembahyang. Makanya ada banyak buah-buahan di sini. Ingat, jangan sengklek. Nggak boleh makan buah-buah itu.” Aku memperingatkan.
“Yeah, aku sengkleknya ada batasan.”
“Kamu tahu, klenteng ini dibangun sejak tahun 1773?” tesku lagi.
“Tahu dong,” jawabnya bangga.
“Dari mana?”
“Dari kamu. Baru aja tadi. Hahaha.”
“Dasar,” ucapku sambil mengacak-ngacak kepala berjilbab merah itu.
“Kamu tahu kenapa nama klenteng ini Kwan Sing Bio?”
“Tahu lah. Pasti karena emang udah takdirnya punya nama itu.”
“Masya Allah, Ann. Kamu tambah pinter. Nama Kwan Sing diberi karena tempat ini dijadikan pemujaan pada Dewa Kwan Kong.”
“Ulang tahun Dewa Kwan Kong dirayakan pada tanggal 24 bulan 6 dalam sistem penanggalan Tionghoa. Pada hari itu, peziarah dari berbagai daerah di Jawa datang ke Klenteng Kwan Sing Bio untuk mendapatkan kembali tahun sang dewa,” sambungku.
“Dewa Kwang Kong itu ayahmu kan, Ram?” tanya perempuan kelahiran agustus itu dengan cekikikan.
“Ann, jangan sengklek di sini ya, pleas. Ini tempat sakral.”
“Iya-iya, bercanda doang kok.”
Kami pun berlanjut menuju aula ke tiga. Tempat paling keramat. Di mana ada banyak patung dan salah satunya ada patung Dewa Kwan Kong.
“Kamu tahu patung yang paling tinggi itu, Ann?” tanyaku seraya menunjuk patung besar yang berada di bagian belakang.
“Yupz. Patung yang paling tinggi dari patung lainnya.”
“Patung itu memiliki tinggi 30 meter. Patung yang direkam dalam Museum Rokur Indonesia atau MURI itu diklaim sebagai patung panglima perang tertinggi di Asia Tenggara, Ann.”
Dia melongo. Entah takjub dengan pengetahuanku atau dengan patung besar itu.
“Nama patung itu Dewa Rama, ckckckck,” kataku berbangga.
“Katanya nggak boleh sengklek. Gimana to?”
“Bercanda, Ann. Nama patung itu Dewa Kwan Sing Tee Koen. Jenderal perang terkenal. Dia hidup di zaman Sam Kok melewati tahun 221 hingga 269 masehi. Dia memiliki sifat-sifat kesatria, yaitu jujur, setia, menepati janji dan sumpah yang telah diucapkannya.”
Dengan bangga aku bercerita tentang tempat ibadah bangsaku, Tionghoa. Meski sesungguhnya aku telah memilih islam sebagai agama.
“Mau berfoto di patung itu?”
Dia mengangguk mantap. Satu, dua, tiga cekrek. Dia berpose menangkupkan tangan seakan-akan tengah menyembah.
“Ann, lihatlah!” pintaku sambil menunjukkan fotonya yang kubuat story WA dengan caption, “Setelah ini Ann janji bakalan belajar berenang biar tinggi, Dewa.”
“Ihhh, Ramaaaa!!! Hapus nggak? Hapus, Ram!” pekiknya geram seraya terus mengejarku agar bisa menghapus story itu.
“Kamu itu pendek, Ann. Nggak bakal bisa ngeraih HP di tanganku. Secara aku kan tinggi,” ejekku.
“Ya udah aku pulang.” Dia marah.
Bibirnya manyun. Ngambek.
“Iya-iya ini udah aku hapus.”
“Nah gitu dong. Oke sekarang kita lanjut ke sebelah kanan,” ajaknya girang.
Padahal sebenarnya story itu masih nangkring di WAku. Hahaha.
“Selain memiliki patung yang tertinggi se Asia Tenggara, klenteng Kwan Sing Bio ini juga merupakan klenteng terluas se Asia Tenggara. Luasnya kira-kira 4-5 hektar. Mau menelusuri lebih jauh?”
“Wayyah, Ram. Nggak ah. Ini aja udah cukup.”
Sungguh saat ini aku ingin mengutarakan cita-citaku, bahwa suatu nanti aku ingin mengelilingi klenteng ini bersama Ann dan semoga saja dengan anak-anak kita. Semoga saja. Tapi aku tak pernah tahu apakah Ann juga mencintaiku?
“Eh ya, Ann konon katanya, klenteng ini dulunya adalah area tambak ikan. Setiap malam kepiting-kepiting keluar dari persembunyiannya.”
“Banyak misteri ya klenteng ini.”
“Semua tempat di dunia ini pasti ada misterinya, Ann. Ada sejarahnya.”
Dia terus maju. Melihat-lihat ornamen klenteng.
“Klik.”
Tepat sasaran. Inilah kebiasaanku. Memotretnya secara diam-diam. Mungkin ini ceritaku hari ini. Tidak ada konflik berat seperti kebanyakan cerpen yang lainnya.
Karena memang aku tak seperti Ann yang pandai membuat konflik dan plot twist di ending.
Dengan segenap cinta, aku ingin berbagi cerita. Yang nantinya agar bisa terbaca kembali sebagai cinta yang pernah ada.
Tuban, Sabtu 1 Agustus 2020.