Kutatap perempuan yang tengah tidur di jok sampingku. Wajahnya teduh meski nampak lelah. Wajah yang selalu kurindu bila tak bertemu.
Hari ini hari sabtu. Setiap sabtu di penghujung bulan, aku dan Ann akan ke toko buku. Sekedar mencari bahan bacaan atau untuk tugas perkuliyahan.
Kami mengelilingi Toko Buku Pustaka 2000 Kebonsari Tuban Kota. Toko buku ini buka setiap hari mulai jam sembilan pagi sampai jam sembilan malam.
“Ram, ini apa ini?” tanya Ann dengan menunjukkan Buku Bekisar Merah di tangan kiri dan Buku Mata Yang Enak Dipandang.
Aku mengamati dua buku karya Ahmad Tohari itu.
“Dua-duanya,” jawabku ringan.
“Salah satu saja,” sanggahnya.
“Jika ada dua mengapa harus pilih satu?” bantahku.
“Hidup itu memilih dan menentukan, Ram. Misal pasal pasangan, kamu sebagai cowok boleh memilih dan aku sebagai cewek boleh menentukan.”
“Dan aku ingin memilih dua.”
“Berarti kamu nggak setia.”
“Manusia sama buku beda, Ann.”
“Hehehe, bener juga sih. Ya udah, deh. Aku pilih dua-duanya.”
Kami menuju kasir. Aku memilih buku Arok Dedes karya Pramoednya Ananta Toer.
“Kamu mau apa? Aku saja yang bayar,” cegahku saat Ann membuka dompet hitamnya.
“Enggak ah. Tiap beli buku kamu terus yang bayarin.”
“Itu tugas laki-laki, Ann.” Aku mencoba menjelaskan.
“Aku yang bayar atau nggak jadi beli buku dan aku pulang sendirian,” ancamnya.
Matanya memerah. Pipinya lebih merah. Kubiarkan dia melakukan apa yang diinginkan.
“Disampul sekalian ya, Mbak,” ucap Ann.
Sampai di mobil Ann terlihat menggaruk-garuk kakinya yang memakai jeans warna navy.
“Kenapa, Ann?” tanyaku khawatir.
“Gatal, Ram. Sudah dari tadi malam,” jawabnya yang masih fokus menggaruk kedua kakinya.
Bahkan sepatu gucci sneaker platform warna putihnya dilepas. Juga kaos kaki putih yang melekat di kakinya.
“Sakit, Ann?”
“Enggak, cuma gatal-gatal. Nanti kalau digaruk baru panas dan sakit tapi cuma sedikit.”
“Ini, kasih minyak kayu putih.”
Dia memakainya. Lantas nyeker di dalam mobil. Aku mengambilkan sendalku yang ada di kursi belakang.
“Ini, pakai. Kenapa tidak ke dokter saja?” tanyaku sambil memasang sabuk pengaman.
“Meski aku jurusan Biologi tapi aku tetep takut kalau harus minum obat.”
Aku terkekeh. Dasar Si Ann.
“Kita pulang?”
Dia mengangguk mengiyakan. Aku memutar kunci. Menancap gas perlahan. Send ke ke kiri dan keluar dari parkiran.
Rumah Ann berada di Desa Mulyo Agung Kecamatan Singgahan. Butuh waktu setengah jam dengan kecepatan sedang untuk sampai di tujuan.
“Mampir Prataan, mau?”
“Boleh.”
Akhirnya setelah sampai di Kecamatan Parengan aku berbelok ke kanan saat ada plang bertuliskan “Prataan”.
Selama perjalanan kami disuguhkan pemandangan hutan yang masih rimbun. Pohon-pohon berbaris seperti pasukan tentara melakukan PPB. Kanan dan kiri, semua sama. Kemudian ada persawahan yang ditanami jagung. Indah.
“Kamu tahu Ram? Jagung itu nama latinnya _Zea mays_,” ujar Ann.
“Tahu lah.”
“Dari mana?”
“Dari kamu, baru saja tadi.”
Dia menepuk bahu kiriku. Kesal. Dan aku terkekeh keras.
“Kamu tahu lagi nggak, Ram?…”
“Enggak.”
“Ish, aku kan belum ngomong.”
Pipinya mengembang. Semakin tembam. Rona merah itu semakin terlihat.
“Iya, apa Tuan Putri?”
“Ordo jagung itu Poales. Kalau familinya Poaceae dan jenis buahya Kariopsis.”
“Iya, Anak Biologi. Terus apa lagi?”
“Kamu ngejek?”
“Lhak? Enggak lah, Ann. Mana berani aku ngejek calon Profesor Biologi. Bisa kena laknat aku. Hahahaha.”
“Mau lanjut apa enggak?” tanyanya kesal sambil menggaruk kaki kanannya.
“Iya, Ann. Perempuan paling hebat di hidupku.”
“Jagung itu di Amerika Tengah dan Selatan juga di Afrika menjadi makanan pokok selain gandum dan padi. Sama seperti di Indonesia.”
“Selain mengandung karbohidrat yang tinggi, jagung juga bisa mencegah wasir, mendukung pertumbuhan, sumber mineral, penambah berat badan yang bagus, melindungi jantung serta merawat mata dan kulit. Pokoknya banyak deh, manfaatnya.”
“Nggak sia-sia kuliyahmu selama ini.”
“Yeahh, dasar.”
Dia menepuk bahu kiriku lagi. Mungkin sekarang sudah membiru. Seperti halnya cinta ini, biru. Secerah langit di atas sana.
Aku menghentikan mobil. Aku parkir di sebuah tanah kiri jalan yang tak cukup luas. Sebab tujuan pertama kami bukan Wisata Prataan, melainkan kali Prataan yang airnya masih murni.
“Silahkan keluar Tuan Putri.”
Aku membukakan pintu mobil untuk Ann. Perempuan dengan jilbab navy itu keluar. Jilbabnya diterpa angin. Wajahnya semakin ayu.
Kami berjalan kaki menuju timur. Jalanan yang kanan kiri diapit tanaman jagung. Jalanan yang masih berbatu. Bahkan terasa becek. Mungkin tadi pagi daerah sini diguyur hujan. Aku dan Ann melipat jeans agar tidak kotor.
“Hati-hati, Ann!” pekikku saat Ann hampir saja terpereset.
“Tenang, Ram. Aku bisa kok. Aman.”
Setelah menempuh waktu dua puluh menit kami tiba di sebuah kali yang tinggi airnya hanya semata kaki. Di sana juga banyak orang. Ada yang mencuci baju. Ada juga yang mandi memakai kemben bagi perempuan dan celana boxer bagi laki-laki.
“Ram, aku sungkan,” bisik Ann di tepian kali.
“Enggak apa-apa. Kan ada aku.”
Akhirnya kami mencebur setelah melipat jeans agak tinggi lagi. Kali yang mengahadap utara selatan itu ada tiga bagian. Paling timur yang paling panas. Dipisahkan dengan batu yang disusun berjejer dengan air yang hangat. Lalu dipisah lagi dengan jejeran batu untuk air yang dingin. Air dingin inilah yang mengalir hingga perkampungan.
“Mau yang di panas atau yang hangat, Ann?”
“Yang panas gimana?”
“Coba saja. Aku juga mau yang di panas.”
Kami dengan hati-hati menuju air yang panas. Aku memegang tangannya agar tak terjatuh. Kami duduk di batu-batu itu. Lalu perlahan mencelupkan kaki di air.
“Au!” jerit Ann saat kakinya merasakan panas yang luar biasa.
Semua mata tertuju pada kami. Kaki Ann reflek naik ke atas dengan mulut yang ia bungkam dengan tangan kanan.
“Hehehe, aku kira tadi nggak sepanas ini. Aku jadi malu, Ram.”
“Nggak papa. Santai saja. Aku mau di sini saja. Kamu boleh pindah di air yang hangat.”
Dia beranjak. Menuju tempat air di sebelahku. Airnya hangat. Pas untuk Ann.
Air Prataan atau Air Nganget ini bisa menyembuhkan penyakit gatal, membuat badan lebih fresh dan ringan.
Perempuan yang datang bersamaku itu tertawa ria sambil memainkan air dengan tangannya.
“Klik.”
Aku membidik dengan tepat dan cepat. Perempuan keturunan Belanda Jawa itu terabadi pada gambar dalam ponselku.
“Gimana? Sudah baikan kan?”
Aku berjalan pelan ke arahnya. Lalu duduk disampingnya.
“Sudah. Terima kasih ya, Ram.”
“Kembali kasih.”
Ann adalah perempuan yang gamblang mengucapkan terima kasih, tolong dan maaf. Aku menyukainya. Semuanya. Tanpa celah benci.
“Dusun ini namanya Prataan juga, Ann. Desanya Wukiharjo. Kecamatannya Parengan.”
“Udah tahu, wekk,” sahutnya dengan menjulurkan lidah.
“Siapa tau kan belum. Kamu kan spesies kurang pengetahuan,” ledekku.
“What?” Matanya melirik tajam padaku dan kubalas dengan tawa kencang.
“Air mata Prataan ini berasal dari Gunung Kendeng yang terletak di utara mata air panas. Kalau ini belum tahu kan?”.
“Belum, hehehe.”
“Mau aku cerita lagi?”
“Mau. Tapi buku kecilku di tas. Tasnya kan kita tinggal digubuk atas, Ram.”
“Kan bisa pakai HP, Ann.”
“HPku di tas. Aku ambil ya. Sayang jika tidak dicatat.”
“Nggak usah. Ini pakai HPku. Nanti aku kirim lewat WA.”
Di saat seperti ini pun dia masih sempat menulis.
“Sebenarnya air mata Gunung Kendeng itu ada tiga. Namun yang digunakan oleh para warga hanya satu. Sebab yang dua jaraknya jauh. Suhu panasnya pun lebih tinggi dari yang ini,” ceritaku.
“Air mata ini ditemukan sekitar tahun 1966. Kemudian dijadikan wisata oleh Divisi Wisata dan Agrobisnis Perum Perhutani pada tahun 1990 namun pada tanggal 1 Agustus 2015 dikelola secara penuh oleh Perum Perhutani KPH Parengan. Nanti setelah dari sini kita ke atas ya. Ke wisatanya.”
“Baikn Bos.”
“Suhu air ini bisa mencapai 56 derajat celcius. Kamu tahu kenapa air nganget bisa menyembuhkan luka gatal dan bisa dibuat relaksasi?”
“Karena mengandung blerang atau sulfur. Berendam di air hangat juga bisa melancarkan peredaran darah. Selain itu air ini juga bisa menyembuhkan jerawat. Air hangat bisa membuka pori-pori dan mengeluarkan kotoran yang mengakibatkan kotoran mati. Wajah kita jadi bening, sehat, bersih seperti wajahku yang ayu. Hahaha.”
“Kepedean kamu.”
“Biarin.”
“Di air ini juga ada efek hidrostatik dan hidrodinamik yang berkhasiat menyembuhkan pegal, rematik dan kelumpuhan,” tambahnya.
“Walah, pinter juga kamu, Ann.”
“Ngejek?”
“Enggak. Serius. Suwer,” ujarku menyakinkan dengan jari telunjuk dan tengah membentuk huruf v.
“Ayo ke atas. Sudah mendingan kan kakinya?” ajakku.
“Ayok!”
Dia memegang tanganku sebagai penopang. Kita berjalan kembali menuju mobil. Kulajukan mobil menuju utara. Jalannya menanjak. Ada beberapa juga yang berlubang.
Setelah lima belas menit kami sampai. Aku membeli tiket dua puluh lima ribu untuk dua orang karena berkunjug di hari sabtu. Jika hari biasa selain sabtu dan minggu cukup membayar sepuluh ribu per orang. Aku memarkir mobil. Dan mengajak Ann masuk ke Wisata Prataan.
Di sini ada tiga kolam renang. Kolam biasa, kolam untuk berendam air hangat yang perempuan dan laki-laki dipisah dan kolam relaksasi terapi kaki ikan mangut dan ikan tombro. Katanya dua ikan ini dari Tasikmalaya.
“Terapi ikan yuk, Ram.”
“Ayo.”
Kami menuju kolam ikan terapi yang berada di sebelah selatan. Kami duduk di tepian dan mencelupkan kedua kaki. Sekejap kaki kami telah dirubung oleh ikan-ikan mangut dan tombro yang banyak. Rasanya geli tapi sangat enak di kaki.
Selepas terapi ikan, Ann mengajak naik ayunan.
“Kamu yang dorong ya, Ram. Ya ya ya,” pintanya.
“Iya,” jawabku malas padahal sebenarnya tidak. Semangat malah.
“Siap, Ann?”
“Siap!”
“Aaaa!” jeritnya saat aku mengayun dengan cepat.
Puas dengan ayunan kami menuju spot foto di utara. Ada semacam gapuran yang melengkung dihiasi bunga-bunga. Ada anak tangga untuk kami mencapai puncak.
Nafas Ann terdengar cepat. Ngos-ngosan. Dia kelelahan karena memang untuk mencapai puncak kami harus naik lebih tinggi.
“Capek, Ann? Duduk dulu ya,” pintaku.
Kemudian kami duduk di bangku kanan jalan yang memang disediakan untuk beristirahat. Selepas lima menit kami melanjutkan perjalanan. Sampai di atas mata kami disuguhi dengan pemandangan yang sungguh menakjubkan.
“Subhanallah, bagus banget, Ram.”
Ann bergumam melihat hamparan hutan yang hijau dan rindang dari tempat ketinggian. Di tempat ini ada spot foto berbentuk sayap, sarang burung, gardu pandang bentuk love dan bintang.
Di sini juga ada satu gazebo untuk berteduh. Aku memfotokan Ann pada bangunan sayap. Di foto itu Ann seakan-akan benar-benar akan terbang. Cantik. Indah. Mengagumkan.
Aku pun berfoto. Lalu kami duduk sebentar di gazebo. Ketika mendengar adzan kami segera turun ke bawah.
Kami shalat dhuhur berjamaah di mushola yang memang disediakan untuk wisatawan.
“Mau makan siang dulu atau lanjut berkeliling?” ucapku bertanya saat kami keluar dari mushola.
“Keliling dulu. Aku pingin ke kandang rusa,” jawab Ann penuh semangat.
“Ini namanya rusa timur, Ram. Latinnya _Cervus Timorensis_ ,” katanya saat melihat rusa-rusa yang dikandangi.
Selesai menemui rusa-rusa yang memiliki tanduk cantik itu kami berfoto di becak dan payung-payung yang dicentelkan.
“Ram, aku pingin naik flying fox.”
Ya, di sini memang menyediakan permainan outbond. Hanya dengan membayar sepuluh ribu, Ann sudah bisa terjun dengan tawanya.
Dia menjerit histeris. Lucu. Selepas naik, wajahnya merah padam. Namun dia teramat senang. Aku tidak naik. Tidak minat saja.
Sebelum kami pulang, aku mengajak Ann makan di salah satu warung Wisata Prataan.
“Ayo, Ann. Sudah hampir sore.”
Akhirnya kami pulang. Aku mengemudikan mobil menuju arah barat. Singgahan. Rumah Ann. Lain kali jika diberi kesempatan, aku akan menceritakan desa kelahiran Ann.
Kutatap perempuan yang tengah tidur di jok sampingku. Wajahnya teduh meski nampak lelah. Wajah yang selalu kurindu bila tak bertemu. Wajah yang selalu kujaga agar tetap tersenyum tanpa sendu. Wajah perempuan keturunan Belanda Jawa.
“Tuhan, biarkan dia selalu bahagia. Bagaimana pun nantinya.”
Tuban, Sabtu 4 Juli 2020