Jarak antara toko buku dan sebuah amplop coklat misterius.
Dua hari berlalu sejak Aisyah menerima surat misterius pertamanya, pikirannya masih bertanya-tanya. Siapa gerangan yang iseng mengiriminya surat di pagi hari tanpa nama dan tanpa jasa pengiriman? Buntu. Ia gagal mendapat jawaban.
Sebenarnya ia ingin memberitahu ke bapaknya perihal surat. Namun ia urungkan. Lagi pula, bapaknya jelas-jelas sedang di sawah bukan di rumah. Mau bertanya kepada tetangga pun, saat ia mendapati surat itu di bawah kolong pintu, rumah tetangga sedang sepi.
Pintu-pintu mereka tertutup. Mereka sedang menjalankan aktivitasnya masing-masing. Ada yang di sawah atau masih masuk kerja dengan sistem jadwal.
Ia mengingat-ingat kembali. Adakah orang lain yang melihat dia menerima surat itu selain dirinya sendiri? Siapa?
Anak-anak! ia berdiri dari kursi dan menuju ke halaman rumah.
Pagi ini ia tidak ke sawah untuk mengirim sarapan bapak. Sebab hari ini ialah kamis. Jadwalnya berpuasa bersama bapaknya. Waktu kosong pagi hari ingin ia gunakan untuk membaca ulang buku-buku pelajaran. Namun ia ingat surat misterius dan membaca ulang.
Di halaman, ia tidak menemukan anak-anak bermain. Padahal dua hari lalu dan kemarin, ia mendapati mereka sedang asik berlari-lari untuk menerbangkan layangan.
Ah. Betapa bahagianya mereka, tertawa lepas dan bermain sesuka hati tanpa memikirkan beban hidup. Anak-anak tak perlu berfikir akan kerja apa hari ini agar bisa makan esok. Mereka bebas.
Tiba-tiba ia sedih. Hanya sebagian kecil anak-anak yang merasakan haknya bermain permainan tradisional. saat ini mereka lebih senang bermain gadget.
Di warung atau kedai kopi, balai desa yang difasilitasi wifi atau tempat-tempat nongkrong lain yang terdapat wifi, wajah imut anak-anak akan terlihat di sana. Mereka bersama-sama. Berbicara satu sama lain tapi tak saling tatap mata. Berbeda dengan masa kecil Aisyah yang tidak terlena dengan gadget. ia bersyukur.
Cerita para tetangga yang kuliah di kota atau luar kota sungguh mengiris hatinya. Mereka bercerita, potensi anak kecanduan gadget lebih tinggi dari pada di pelosok desa seperti kampong halamannya.
Mereka pernah melakukan gerakan EDB atau Enam Delapan Belajar. Itu salah satu gerakan beberapa mahasiswa dan relawan anak di kota untuk menekan potensi anak bermain gadget dengan memanfaatkan waktu pukul enam petang sampai jam delapan malam dengan belajar.
Ia tersenyum. Barangkali mereka sedang mengadopsi ativitas di desa. Bagaimana tidak, itu persis yang dilakukan anak seusianya dahulu. Sebelum magrib, ia dan teman-teman akan berangkat ke mushola atau masjid. Mereka mengaji hingga pukul delapan malam. Lalu pulang dan belajar untuk sekolah sebentar lalu tidur.
Menurutnya itu ide bagus yang harus terus digalakkan secara massif. Ia yakin, hal itu akan mengurangi waktu anak-anak bermain gadget dan memilih belajar. Tapi pelbagai cerita dan pelajaran penting ia dapatkan.
Walaupun itu program sederhana, perlu kesiapan mental dan strategi khusus bagi mahasiswa dan relawan menerapkan itu untuk anak-anak kota. Latar belakang, kultur, lingkungan dan kondisi sosial yang berbeda menjadikan tantangan tersendiri.
Satu hal yang membuat Aisyah tersenyum. Ia beruntung memiliki masa kecil yang menyenangkan. Dimana tidak ada penghalang gadget untuk bermain bersama yang lainnya. Masa lalu memang tidak bisa terulang, dan kesempatan tidak mungkin terukir sama untuk kedua kalinya.
Sebentar, bukankah itu kata-kata Ali?
Ia teringat sesuatu. “Mas Ali” ia menepuk dahi.
Pemuda itu yang ia lihat di gubuk ketika hendak mengirim sarapan ke bapaknya. Ia melihat Ali sibuk dengan buku dan kertas-kertasnya. Biasanya ia juga akan melihat laptop. Tapi saat itu ia tak melihatnya.
Apakah Ali yang mengirim surat itu padanya? Jika iya, mengapa harus melalui surat? Bukankah ia punya nomer handphonenya? Cukup kirim pesan lewat sms atau wa. Sederhana. Tapi mengapa menjadi rumit dengan menulis surat segala?
Tunggu. Ali bukan tipe orang yang mau repot. Ia pemuda sederhana yang mampu menyederhanakan segala sesuatu yang rumit. Tentu ia tidak menyepelekannya namun ia selalu menyelesaikannya dengan sederhana dan tuntas.
“Tapi di gubuk, aku tidak melihat amplop coklat” katanya.
Aisyah mencoba mengingatnya kembali. Barangkali ada sesuatu yang ia lewatkan saat melihat Ali. Seberapa keras ia mencoba, itu waktu yang amat singkat dan cepat. Ia tidak berhenti untuk menemui Ali. Ia hanya melihat dari jalan.
Ah. Aisyah menyerah. Ia masuk rumah kembali tanpa jawaban.
Ia duduk di ruang tamu. Memperhatikan pintu dengan harapan amplop kedua untuknya datang.
Setengah jam terlewati. Tak ada tanda-tanda surat itu datang. Apa karena pintunya terbuka sehingga kawan penanya mengurungkan niat mengirim surat? Ia berdiri dan segera menuju pintu. Kepalanya mendongak keluar. Menengok ke kanan dan kiri bergantian. Tak ada siapa-siapa. Ia menutup pintu dan masuk kamar.
Buku-buku pelajaran dan catatan selama kelas dua tersusun rapi di atas meja. Ia melihat kolong tempat tidur. Meraih satu kardus dan menariknya keluar. Itu kardus gelas minum, tempat dimana buku-buku sekolahnya ia simpan.
Kardus itu ia letakkan di kursi. Buku-buku kelas dua SMA ia ambil dan dimasukkan ke dalam kardus. Kelas dua sudah ia lewati. Walau sekolah tidak dilaksanakan secara tatap muka seperti kelas satu, ia tetap berharap ilmu yang ia dapatkan tetap bisa diterapkan.
Semua buku sudah masuk di kardus. Ia menutupnya dan mengembalikan kembali di bawah kasur tidurnya.
Kini, meja belajarnya nampak terlihat lebih luas. Padahal sesungguhnya bukan mejanya yang lebih luas, tapi karena buku-bukunya tak ada di atasnya. Hanya tersisa beberapa buku bacaan. Di antara buku-buku itu, buku puisi lebih banyak tertata di sana. Ia mengambil satu buku, Doa Untuk Anak Cucu karya W.S. Rendra.
Itu buku puisi pertama yang ia beli. Saat liburan kenaikan kelas, ia dan teman-teman berbelanja kebutuhan sekolah di pasar. Teman-temannya asyik memilih dan membeli buku tulis, sampul, pensil, penghapus dan bolpen.
Setelah membeli beberapa buku tulis, Aisyah menuju lorong pojok pasar. Sebuah toko kecil terbuka. Lelaki beruban duduk tersenyum di kedai tokonya. Papan tulisan “Toko Buku Kakek Ton” terpampang di atasnya.
“Mau beli buku apa, dek?” ucapnya ramah saat Aisyah tiba di depan tokonya.
“Anu kek..,” mulutnya terbata-bata. “Mau lihat-lihat buku bekas” lanjutnya.
Kakek itu kembali tersenyum. “Buku sekolah?” ia bertanya. Aisyah mengangguk.
“Kelas berapa?”
“Tiga smp, Kek” jawabnya.
Kakek masuk ke dalam dan mengambil sebuah buku. “Ini ada buku paket untuk latihan ujian nasional,” Sang kakek menyodorkan buku paket ke Aisyah. Ia menerimanya dan membuka beberapa lembar.
Saat asyik membuka lembaran demi lembaran, matanya mendapati penggalan puisi di halaman 16.
Negara tak mungkin diutuhkan,
tanpa rakyatnya dimanusiakan.
Dan manusia tak mungkin menjadi manusia, tanpa dihidupkan hati nuraninya.
Itu bait puisi karya WS Rendra yang tertuang dalam buku Doa Untuk Anak Cucu. Seketika ia tertarik untuk membacanya lebih.
“Kek..” ucap Aisyah. “Adakah buku puisi WS Rendra dengan judul Doa untuk Anak Cucu?” tanyanya pada pemilik toko.
“Sebentar, dik. Kakek cari dulu” lelaki itu masuk ke dalam toko. Ia melihat-lihat tumpukan buku bekasnya. Mencari di meja hingga rak-rak yang tertata buku-buku bekas sastra. Tak lama, kakek Ton menemukannya.
“Ini, dik” katanya sembari memberikan buku itu ke Aisyah.
Buku tipis ia terima. Walau warnanya usang, buku itu masih terlihat bagus. Di halaman pertama ada sebuah tulisan tangan, “Semangat, moga Rendra bikin kamu berdaya”
Darahnya berdesir. Semacam ada semangat baru yang menjalar di nadinya. Aisyah tersenyum membacanya.
“Ini harganya berapa, Kek?” tangannya memperlihatkan buku puisi.
“Kamu jadi beli buku paketnya?” tanyanya balik.
“Emm.. Maaf gak jadi kek. Aisyah mau beli buku ini saja” ucap Ais malu-malu. Ada perasaan tidak enak di hatinya.
“Kalau begitu, buku itu gratis untuk kamu dik. Dibaca dan dipahami sungguh-sungguh.”
Aisyah terkejut. “Sungguh, Kek?” tanyanya memastikan.
“Iya, dik. Itu gratis untuk kamu. Semoga Rendra membuatmu berdaya ya..” katanya lagi
“Terima kasih Kakek..” suaranya menggantung.
“Kakek Ton” kakek mengatakan namanya.
“Inggih. Terima kasih kakek Ton” Aisyah mencium tangan kakek berkali-kali lalu berlari menuju teman-temannya di toko peralatan sekolah. Saat berlari,
Brakk…
“Aduh sakit” Ia meringis kesakitan sambil memegang badannya.
“Kenapa, Nak?” bapaknya mendekati.
Aisyah membuka mata. Ia kaget bapak ada di depannya. Bukankah dia tadi sedang asyik di pasar bersama teman-temannya? Lantas mengapa tiba-tiba ada bapaknya? Ia melihat sekitar. Ruangan ini bukan pasar. Ini kamarnya. Ia memejam matanya dan membuka lagi.
“Mana yang sakit, Ais?” bapak menanyainya lagi. Aisyah melepas tangan yang memegang badannya.
“Mboten pak. Aisyah hanya jatuh dari kasur. Hehe..” ia tersenyum. Ia tertidur lagi dengan memegang buku. Ia bermimpi kembali ke masa SMP. Masa pertama kali ia membeli buku puisi lalu jatuh cinta padanya.
Bapak berdiri dan beranjak keluar kamar. Sebelum keluar bapak menoleh,
“Oh iya, tadi saat mau masuk rumah bapak lihat ada amplop coklat di bawah pintu depan. Tidak ada nama pengirim maupun jasa pengirim. Hanya ada namamu, Nak. Bapak tidak membukanya. Sepertinya itu penting buatmu. Itu bapak taruh di atas mejamu.” Jari bapak menunjuk ke meja lalu berjalan keluar kamar.
Aisyah berdiri. Sesaat nafasnya tertahan.
Itu amplop coklat! Amplop yang sama dengan dua hari lalu. Ini surat misterius kedua. Apa isinya?