Kawasan hutan merupakan aset besar dimiliki Bojonegoro. Bioekonomi Kehutanan harus menjadi dampak sentrifugal dari rencana ultra-investasi Pabrik Bioetanol di Bojonegoro.
Bojonegoro masih mengandalkan dana bagi hasil (DBH) Migas sebagai satu-satunya sumber besar APBD. Meski, semua tahu bahwa sumber Migas tak akan lama bertahan, diterjang masifnya kampanye perubahan iklim dan energi terbarukan.
Baca Juga: Sungai dan Hutan, Aset Utama Bojonegoro Selain Migas
Bojonegoro, secara geografis, diberkahi banyak aset sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan. Baik itu keberadaan arus deras Bengawan, ataupun luasnya hamparan lahan hutan. Khusus untuk hamparan lahan hutan, tampaknya Bojonegoro harus mulai mengkaji konsep Bioekonomi Kehutanan.
Bioekonomi Kehutanan
Bioekonomi kehutanan berasal dari tiga kata: biologi, ekonomi, dan kehutanan. Biologi atau biology berasal dari kata “bio” yang berarti kehidupan, dan “logos” yang dapat diartikan sebagai ilmu. Karena itu, biologi secara sederhana dapat diartikan sebagai ilmu kehidupan mahkluk hayati, termasuk sumberdaya flora dan fauna di kawasan hutan.
Sedangkan ekonomi, merupakan ilmu mempelajari perilaku individu dan masyarakat dalam menentukan pilihan menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang langka dalam upaya meningkatkan kualitas hidupnya, termasuk memaksimalkan keuntungan.
Bioekonomi kehutanan, dapat diaplikasikan pada sektor kehutanan alami maupun kehutanan budidaya. Namun, selama ini konsep bioekonomi lebih banyak diaplikasikan pada sektor perikanan tangkap. Itu karena faktor ketidakpastian (uncertainty) yang lebih besar dijumpai pada sektor penangkapan dibandingkan dengan sektor budidaya (Wijayanto et al. 2016).
Pada awalnya, ilmu bioekonomi berkembang pada bidang perikanan tangkap. Bioekonomi perikanan dikembangkan sebagai respon atas fenomena tragedi kebersamaan (tragedy of the common), terutama pada sumberdaya hayati yang bersifat akses terbuka dan tidak diatur kepemilikannya.
Sifat alamiah manusia adalah memaksimalkan benefit, dari dahulu hingga sekarang. Keinginan mengoptimalkan benefit masing-masing orang menyebabkan kerentanan terjadi konflik kepentingan antar manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam, karena terjadi persaingan kepentingan atas pemanfaatan sumberdaya alam tersebut.
Penurunan kualitas sumber daya kehutanan akan berpengaruh terhadap penurunan nilai ekonomi yang diperoleh. Pemanfaatan sumber daya kehutanan harus didasarkan pada aspek sosial ekonomi serta faktor biologi hutan, kelestarian dan kondisi lingkungannya untuk mendukung kegiatan pemanfaatan secara lestari.
Hal mendasar pengelolaan sumber daya hutan adalah bagaimana kegiatan pemanfaatan sumber daya tersebut sehingga menghasilkan manfaat
ekonomi yang tinggi bagi pengguna, namun kelestariannya tetap terjaga. Salah satu pendekatan sering dilakukan dalam menyelesaikan masalah tersebut adalah pendekatan bioekonomi (Hakim et al. 2014).
Hutan Bojonegoro
Wilayah Bojonegoro memang didominasi kawasan hutan. Dikelola Perum Perhutani. Terdapat dua Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) di Kabupaten Bojonegoro. Di antaranya; KPH Bojonegoro (50 ribu hektar) dan KPH Padangan (27 ribu hektar). Itu belum termasuk ratusan hektar hutan Malo – Trucuk (ikut KPH Parengan) dan Hutan Kedewan (ikut KPH Cepu) . Praktis, lebih dari 100 ribu hektar hutan berada di Kabupaten Bojonegoro.
Hutan sebagai aset Bojonegoro, tentu hanya akan menjadi penghias wilayah, jika tak mampu dimanfaatkan masyarakat. Di sini, Perhutani harus berbesar hati untuk lebih terbuka dalam menerima ide dari masyarakat. Sebab jika tidak, ia akan punah ditelan ketidak-bergunaan sosial ekonomi, di tengah minimnya jumlah kayu yang kian berkurang setiap saat.
Luasnya lahan hutan Bojonegoro, tentu tak boleh dibiarkan menjadi pelengkap demografi belaka. Perhutani harus mulai membuka diri terhadap ide-ide kreatif dari masyarakat. Sehingga, keberadaan hutan bisa diberdayakan masyarakat, dengan tetap memberi kontribusi penuh pada Perhutani. Tentu, tak sekadar untuk lahan kebun atau pertanian, tapi lebih dari itu, lahan inovasi yang kontekstual terhadap zaman.
Bioekonomi Sentrifugal
Gencarnya kabar terkait akan dibangunnya Pabrik Bioetanol di Bojonegoro, tentu sebuah kabar berbasis pemanfaatan bioekonomi. Ultra-investasi rencananya dimulai pada 2025 itu, membawa nilai investasi sebesar USD 1 hingga 1,2 miliar atau Rp 19 triliun. Hal ini, harus menjadi keran pembuka atas kedewasaan Perhutani dalam memberi kesempatan ide-ide brilian untuk memanfaatkan lahan miliknya.
Jurnaba Institute tentu menaruh sikap skeptis pada rencana didirikannya Pabrik Bioetanol. Penyebabnya jelas: potensi deforestasi. Namun, Jurnaba lebih fokus memperhatikan “dampak sentrifugal” dari rencana pembangunan pabrik Bioetanol di Bojonegoro tersebut.
Sebab, pembangunan pabrik Bioetanol akan membawa dampak turunan berupa kecenderungan psikologis masyarakat untuk kembali menengok dunia tanam-menanam. Khususnya menanam bahan baku Bioetanol: Sorgum.
Inilah dampak sentrifugal yang dimaksud Jurnaba. Di sini, inti dari konsep Bioekonomi itu bisa diterapkan. Di mana, masyarakat sipil dan Perhutani bisa saling bekerjasama untuk memasuki dimensi Bioekonomi.