Ketika terlihat cantik justru mendapat kritikan dan dihakimi sebagai editan. Namun, saat terlihat keriput dan banyak lipatan, justru menuai kebanggaan.
Karena fotonya dalam surat suara diedit secara tidak wajar, Evi Apita Maya menuai masalah. Evi dianggap terlalu cantik. Sehingga memicu orang untuk lebih agresif mencoblosnya.
Calon anggota DPD (Dewan Perwakilan daerah) RI nomor urut 26 di daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat (NTB) itupun digugat di Mahkamah Konstitusi.
Tentu saja, kasus yang dihadapi Evi menjadi kasus unik yang membuktikan bahwa ngedit foto bukan perkara yang sederhana. Meski, sesungguhnya, tak ada hubungannya foto dengan pilihan politik. Kalaupun ada, sedikit.
Nabs, kasus tersebut membuktikan jika foto bisa jadi momok masalah. Jangankan foto calon dewan, foto fake mulai banyak seliweran di media sosial. Namun, memang masih foto asli. Hanya diedit agar terlihat lebih artsy.
Terus kalau sudah begini, apa fungsi Photoshop. Adobe lightroom. Dan berbagai aplikasi lain yang berkutat pada poles-poles gambar? Pertanyaannya, bagaimana menjadi baik jika berubah menjadi lebih baik saja dipersoalkan?
Kalau peristiwa edit-edit terus dipersoalkan, bagaimana nasib foto ijazah dan wisuda kamu. Coba cek kembali, bukankah foto ijazah dan wisudamu terlihat lebih terang dari yang ada dalam dimensi nyata?
Tentu kamu masih ingat dengan face app yang ada dalam snapchat. Di mana, kita bisa bertukar gender. Meski hanya sekadar haha hihi. Namun, mode swap gender ini juga tak luput dari kritikan netizen.
Lalu, bagaimana dengan Face App yang baru-baru ini keluar. Swafoto dengan mengubah muka di masa depan. Bahkan, sampai melahirkan challenge. Dengan ramainya #AgeChallenge di media sosial.
Anehnya, belum ada yang mempersoalkannya. Apa mungkin Face App ini bentuk protes dari lahirnya kasus Evi Apita Maya? Ketika foto Evi diedit menjadi baik, malah berbuah kasus.
Sedang #AgeChallenge yang ramai mencuat. Justru baik-baik saja. Tidak mendapat gelar penipuan. Kalau dikulik lebih dalam, hal itu sama-sama meng-edit. Mengubah yang asli menjadi lebih tidak asli.
Kabar baiknya. Hal ini menjadi pendidikan politik. Bagi khalayak ramai. Aturan pas foto ini tertuang dalam Keputusan KPU No. 883/PL.01.4-Kpt/06/KPU/VII/2018. Tentang Pedoman Teknis Pendaftaran dan Verifikasi Perseorangan Calon Anggota DPD.
Hal tersebut tidak mengatur secara rinci mengenai ketentuan penyuntingan foto wajah. Regulasi ini hanya menyebutkan, bakal calon anggota DPD wajib menyerahkan foto berwarna terbaru.
Foto yang diambil paling lambat 6 bulan. Sebelum pendaftaran calon anggota DPD. Di dalam aturan ini, juga tidak ditentukan warna background foto, dan pakaian (selama tidak menggunakan simbol negara).
Dirasa pergerakan netizen. Dengan balutan kreatifitas. Bisa jadi sebuah protes bahkan kritik dalam persoalan tersebut. Kalaupun tidak, setidaknya Face App ini patut dipertanyakan.
Karena hadirnya, secara tidak sengaja, bebarengan dengan mecuatnya kasus tersebut. Kalaupun kasus Evi dibuktikan, bukankah sulit juga. Lagian, kalau orang memilih berdasar paras wajah. Terus kenapa banyak artis-artis cantik yang tidak lolos DPR?
Akhirnya, polarisasi edit meng-edit muncul juga. Intinya yang terlihat lebih baik dan cantik, justru langsung mendapat judge editan. Tapi kalau terlihat keriput dan banyak lipatan, justru banyak yang bangga. Sampai beramai ramai menjadi challenge.
Mungkin netizen lelah terlihat lebih baik karena akan menerpa banyak pukulan. Hingga memilih tampak buruk agar diterima peradaban. Atau mungkin, kita semua sudah tidak sabar untuk menjadi tua, daripada muda ya masih jomblo. Eh