Jika hantu KKN Desa Penari berwajah seram dan menakutkan, hantu KKN di negeri ini berwajah riang, serta menghambur-hamburkan uang.
Nabs, hebohnya film KKN di Desa Penari sejatinya memicu berbagai antusiasme masyarakat, khususnya pada para generasi muda.
Film KKN di Desa Penari yang mulai tayang di bioskop seluruh Indonesia mulai hari Sabtu, 30 April 2022 pun menuai tanggapan yang positif.
Hingga hari Jumat, 13 Mei 2022, film KKN di Desa Penari ini telah disaksikan sebanyak 4.206.103 penonton dengan jumlah pendapatan kotor ditaksir mencapai Rp 207.597 miliar.
Suksesnya film KKN di Desa Penari ini tentu salah satunya disebabkan karena alur ceritanya yang sesuai dengan kehidupan para pemuda.
Film KKN di Desa Penari menyajikan alur cerita yang relevan dengan kehidupan pemuda, khususnya terkait dengan cerita Kuliah Kerja Nyata (KKN) waktu kuliah di Perguruan Tinggi.
Selain itu, film KKN di Desa Penari ini juga mengisahkan terkait romantisme cinta para remaja ketika melaksanakan Kuliah Kerja Nyata.
Hal ini tentu sangat relevan dengan kehidupan para pemuda atau remaja.
Dengan demikian, antusiasme pada film KKN di Desa Penari dapat dipahami karena alurnya yang sesuai dengan konteks remaja dan generasi muda saat ini.
Terlepas dari hal tersebut, tulisan ini tidak berorientasi pada pembahasan atas alur dan maupun substansi cerita pada film KKN di Desa Penari.
Tulisan ini berfokus pada aspek hiperrealitas norma yang mana dalam cerita yang terdapat di film KKN di Desa Penari terdapat pelanggaran “norma” yang dilakukan segelintir personil KKN.
Hal tersebutlah yang kemudian memicu adanya “sanksi mistis” atas pelanggaran norma tersebut.
Tulisan ini akan berfokus pada pelanggaran “norma” serta “sanksi mistis” dikaitkan dengan konsep hiperrealitas norma.
Hiperrealitas Norma
Istilah hiperrealitas (hyperreality) sejatinya didasarkan pada istilah yang dipopulerkan oleh Jean Baudrillard (2006) dalam buku nya yang berjudul “Simulacra and Simulation”.
Dalam pandangan Jean Baudrillard, hiperrealitas merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan bagaimana realitas dapat dibuat oleh individu secara terang-terangan dan meluas.
Salah satu poin penting dalam hiperrealitas menurut Jean Baudrillard adalah lenyapnya suatu petanda, runtuhnya ideologi, serta dibarengi dengan bangkrutnya realitas yang kemudian diambil alih oleh duplikasi, dunia nostalgia, serta fantasi.
Singkatnya, hiperrealitas ditandai dengan banyaknya realitas yang dibuat oleh masyarakat demi merepresentasikan diri mereka sendiri.
Berdasarkan uraian tersebut, menurut hemat penulis, hiperrealitas merupakan fenomena di mana sesuatu yang seyogianya tidak nyata justru dianggap lebih nyata dari kenyataan itu sendiri.
Dalam konteks hiperrealitas norma, maka keberlakuan norma dianggap telah “lenyap” ketika norma itu sendiri tidak memancarkan esensi moralitas di dalamnya.
Dalam hal ini, dapat dicontohkan misalnya bagaimana “keras” dan “tegasnya” norma hukum dengan adagiumnya, “Lex dura, sed tamen scripta” yang artinya hukum itu memang keras dan begitulan bunyinya.
Akan tetapi, “keras” dan “tegasnya” norma hukum tersebut hanya menjadi “macan ompong” tanpa disertai dengan penegakan yang tepat.
Norma hukum yang bagus tetapi tidak didukung integritas dan kualitas penegakan hukum yang baik sama saja dengan membangun norma palsu (the false norm) yang hanya memimpikan keadilan tapi gagal mewujudkannya.
Istilah hiperrealitas norma penulis maksudkan sebagai suatu tanda bahwa terlepas dari berbagai norma yang tumbuh dan berlaku di masyarakat, namun justru norma tersebut gagal mewujudkan hakikat serta esensi norma tersebut.
Esensi utama suatu norma adalah pembawaannya akan nilai-nilai moralitas di mayarakat yang kemudian memberikan pedoman dan/atau patokan serta perilaku tertentu.
Jimly Asshidiqie dalam artikelnya yang berjudul, “Dinamika Perkembangan Sistem Norma dan Gagasan Peradilan Etika” menegaskan bahwa norma itu sebenarnya merupakan suatu pelembagaan atau institusionalisasi nilai-nilai yang diidealkan oleh masyarakat sehingga norma itu kemudian terbagi lagi menjadi beberapa jenis sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Menurut Jimly Asshidiqie, jenis norma tersebut meliputi norma hukum, norma agama, serta norma etika, mengacu pada pandangan Jimly Asshidiqie tersebut, penulis berpendapat bahwa jenis norma dapat dikualifikasi dalam dua hal.
Pertama, norma yang mana negara memiliki fungsi penting dalam menjaga eksistensi dan harmonisasinya dalam hal ini meliputi: norma hukum, norma agama, serta norma etika yang kemudian “dipositifkan” dalam praktik menjadi kode etik.
Kedua, yaitu norma yang mana eksistensinya sepenuhnya ditentukan oleh individu serta masyarakat yang bersangkutan dalam hal ini yaitu norma kesopanan dan norma kesusilaan.
Berdasarkan dua hal tersebut, maka menurut hemat penulis, norma di masyarakat terdiri dari lima norma, yaitu norma hukum, norma agama, norma etika, norma kesopanan, dan norma kesusilaan.
Terkait dengan norma tersebut, maka selain berfokus pada nilai, norma tersebut juga memerlukan eksistensi dan konsistensi dalam pelaksanaannya.
Tak jarang, norma memberi patokan di masyarakat dengan bahasa yang indah tapi justru minim implementasi.
Hal ini dapat dilihat misalnya ketentuan norma hukum yang melarang korupsi beserta ancaman pidananya sejatinya telah secara jelas dan tegas mengaturnya.
Namun, apa yang terjadi dalam praktiknya? Tentu, tanpa mengurangi rasa hormat kepada aparat penegak hukum tetapi praktik korupsi masih merajalela di negeri tercinta.
Dengan demikian, norma yang hanya berupa bahasa yang “melangit” tidak dapat disebut sebagai norma, karena selain memiliki bahasa yang “melangit”, norma dalam penerapannya juga harus “membumi” sehingga dapat ditegakkan sesuai dengan konteks yang berkembang di masyarakat, Nabs.
Terkait dengan film KKN di Desa Penari, sejatinya memberikan pelajaran bahwa di mana pun kita berada kita harus menghormati norma-norma sosial yang ada termasuk menjaga sopan santun dan kepatutan.
Dalam film KKN di Desa Penari, terdapat cerita bahwa beberapa peserta KKN justru melanggar “pantangan” seperti melewati batas yang ditentukan hingga bercinta di tempat yang tidak sepatutnya.
Terkait dengan hal itu lah maka kemudian terdapat peristiwa mistis serta terdapat “sanksi mistis” terhadap peserta KKN yang menjadi sajian utama dalam film KKN di Desa Penari.
Dalam konteks ini, “pantangan” yang dilanggar oleh peserta KKN dalam film KKN di Desa Penari dapat disebut sebagai pelanggaran norma, khususnya adalah norma kesopanan yang berlaku di msyarakat sedangkan peristiwa mistis yang dialami oleh peserta KKN adalah sanksi atas norma yang dilanggar.
Meski hanya bersifat lisan dan tidak tertulis, namun “pantangan” sebagaimana dalam film KKN di Desa Penari sejatinya menegaskan bahwa justru dengan adanya sanksi dan peristiwa mistis maka eksistensi norma sosial di masyarakat tetap terjaga.
Hal ini tentu berbeda dengan apa yang terjadi dalam norma hukum misalnya. Norma hukum memang mengatur secara lex scripta, lex certa, serta lex stricta dalam pengaturannya, akan tetapi sering minim implementasi.
Norma hukum terkadang hanya garang secara tekstual, tapi menjadi “ompong” dalam penerapannya.
Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya jual-beli perkara, suap, hingga minimnya integritas dari aparat penegak hukum. Fenomena seperti ini lah yang penulis sebut hiperrealitas norma.
Norma yang saat ini ada di masyarakat justru tidak dapat ditegakkan karena esensi norma itu justru “diperkosa dan direkayasa” untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Tentu, hadirnya film KKN di Desa Penari bisa memberikan kritikan atas keberlakuan norma di masyarakat, khususnya norma hukum yang hanya terkenal “garang” dalam teks, tapi nihil dalam konteks.
Hal ini tentu berbeda dengan norma kesopanan yang dalam film KKN di Desa Penari disebut sebagai “pantangan” dan disertai sanksi mistis justru lebih ditakuti dan ditaati oleh masyarakat.
Berdasarkan uraian tersebut, apakah ke depan norma di masyarakat (norma hukum khususnya) perlu ditambahi sanksi mistis supaya ditakuti, ditaati, serta dijaga eksistensinya oleh masyarakat?
Mistifikasi Norma, Perlukah?
Adanya “pantangan” dan disertai sanksi mistis dalam film KKN di Desa Penari tentu membuat film KKN di Desa Penari memiliki nilai moral tersendiri seperti: penghormatan atas sopan santun di masyarakat, menjunjung tinggi tradisi di tempat berkegiatan, hingga menjaga dan melaksanakan nilai dan norma di masyarakat.
Tentu, hal tersebut dapat memberikan dampak positif, khususnya bagi generasi muda.
Namun, setali tiga uang dengan fenomena tersebut, masyarakat justru sering dikecewakan dengan substansi hingga penegakan atas norma di masyarakat, khususnya norma hukum.
Norma hukum dengan jargon kepastian hukum justru menjadi norma yang “mudah direkayasa” sesuai selera dan pesanan.
Apalagi, ketika norma hukum direduksi menjadi teks tertulis yang miskin nilai dan moralitas.
Hal ini dapat dilihat misalnya dengan berbagai ketentuan norma hukum yang baik tetapi penerapannya masih perlu dievaluasi kembali.
Norma hukum dengan tegas melarang korupsi tapi faktanya korupsi justru semakin menggeliat dan terkesan dilakukan secara sistematis dan masif.
Hal ini juga berlaku pada adanya norma hukum yang menegaskan bahwa “dilarang merusak lingkungan” tapi pada sisi yang lain tambang illegal justru menggeliat yang berdampak pada kerusakan lingkungan.
Fenomena tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan yang sederhana, apa yang salah dari penegakan norma di negara kita? Khususnya apa yang salah juga dari penegakan hukumnya?
Penegakan norma di masyarakat khususnya penegakan norma hukum sejatinya perlu mendapatkan evaluasi serta pembenahan secara berkala.
Kita tentu ingat, dulu di masyarakat desa untuk menjaga lingkungan tidaklah perlu membuat UU, Perda, atau instrumen hukum lainnya.
Cukup orang tua mengatakan, “Pohon besar itu jangan ditebang, soalnya itu ada penunggunya” maka tidak ada yang berani menebang pohon tersebut.
Nabs, terlepas dari benar atau tidak terkait adanya penunggu di suatu pohon, yang jelas tujuan kelestarian lingkungan dapat tercapai dan terpenuhi.
Hal ini justru menjadi suatu antinomi pada saat ini, yang mana instrumen hukum lingkungan dibuat secara bagus bahkan disertai ancaman sanksi pidana namun kerusakan lingkungan tetap saja kian mengemuka terjadi di Indonesia.
Apakah memang perlu ada “mistifikasi norma” yaitu ancaman atau sanksi mistis atas suatu norma dilanggar?
Misalnya saja, “mungkinkah (dengan sedikit menghayal)” dirumuskan misalnya selain sanksi pidana bagi tindak pidana korupsi juga diberi sanksi seperti ditemui kuntilanak? Ditemui genderuwo? Atau mungkin dikejar suster ngesot?
Atau mungkin juga nanti ada rumusan norma hukum yang merusak lingkungan akan kena sial seumur hidup misalnya, atau apakah upaya “mistifikasi norma” ini dapat dilakukan dalam pembentukan hukum di Indonesia?
Tentu jawabannya membutuhkan uraian dan pembahasan tersendiri.
Terlepas dari itu semua, adanya “pantangan” dan “sanksi mistis” sebagaimana yang terdapat dalam film KKN di Desa Penari bisa menjadi salah satu refleksi dalam menegakkan norma di masyarakat, khususnya norma hukum.
Sekalipun terkesan aneh dan bahkan berbau mistis, namun adanya “pantangan” disertai “sanksi mistis” justru lebih ampuh dibandingkan dengan sanksi hukum apa pun.
Tentu, klaim ini perlu mendapatkan kajian dan penelitian lanjutan.
Ada yang lebih berbahaya terlepas dari tingginya animo mayarakat dengan kehadiran film KKN di Desa Penari, tentu kita patut waspada dan berpikir kontemplatif bahwa ada yang lebih berbahaya dari sekadar KKN di Desa Penari.
KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di negeri ini justru lebih berbahaya dan lebih menakutkan dibandingkan dengan KKN di Desa Penari.
Jika hantu KKN di Desa Penari berwajah seram, menakutkan, serta terdapat di pedalaman dan hutan, hantu KKN di negeri ini justru berwajah riang, berpakaian mewah, serta menghambur-hamburkan uang rakyat.
Nabs, semoga saja, hantu yang terdapat di film KKN di Desa Penari “tergerak hatinya” untuk memberikan sanksi mistis bagi pelaku KKN di negeri ini.