Rumah kecil di gang Namlo kelurahan Kadipaten Bojonegoro menjadi saksi hidup perjalanan seni dari Imam Mahdi. Pria yang usianya sudah setengah abad tersebut merupakan salah satu seniman nyentrik yang ada di Bojonegoro.
Imam merupakan seniman yang saat ini masih konsisten berkarya di dunia seni rupa. Dia sudah menekuni dunia seni sejak sekolah. Khususnya seni rupa.
Saat SMP, Imam suka dengan cerita-cerita pewayangan Jawa. Ketika itu, kisah pewayangan yang pertama kali dia pelajari adalah Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Setelah lulus SMA, dia baru mulai berkarya seni.
Karya-karya seniman kelahiran 1 Januari 1969 ini secara umum berupa patung dan lukisan. Dalam pembuatan patung, banyak teknik yang dia gunakan. Seperti cetak dan pahat. Dalam mematung, media yang dia gunakan pun cukup banyak. Antara lain kayu, batu, hingga campuran pasir dan semen.
Dalam giat melukis pun, Imam tidak hanya menggunakan media kanvas. Tapi juga menggunakan media kayu antik menggunakan teknik cukil. Kayu-kayu tersebut dia dapatkan dari pameran barang antik. Kadang pula dia beli dari seorang kolektor kayu.
Seniman berkumis tebal ini mengaku, budaya Jawa menjadi pengaruh terbesar terhadap hasil karyanya. Setiap karya yang dia buat, tidak jauh dari konsep-konsep yang dianut masyarakat Jawa. Salah satunya lukisan kayu cukil yang diberi judul Kumbakarna Gugur itu diambil dari kisah Ramayana.
“Lukisan ini bergambar Rahwana, Kumbakarna adik Rahwana dan Hanoman. Ini bercerita tentang perang antara Rahwana dan Kumbakarna melawan Hanoman. Menariknya adalah Kumbakarna yang tewas melawan Hanoman bukan karena membela Rahwana, melainkan membela tanah airnya, Alengka Dirja yang dibakar oleh Hanoman.” Katanya bercerita menjelaskan.
Lukisan-lukisan cukil Imam yang lain juga bergambar tokoh-tokoh pewayangan. Seperti Bima, Arjuna, Pandhawa, Kurawa dan lain sebagainya. Bahkan ada yang bermotif Gunungan dari pewayangan yang memiliki nilai dan makna kehidupan cukup luas.
Rumah yang dia tinggali juga dijadikan sebagai tempat workshop karyanya. Rumah dengan desain bernuansa Bali itu terdapat banyak patung serta lukisan. Imam bercerita banyak terkait ketertarikannya pada budaya Bali yang masih kental hingga saat ini.
Dia bercerita, untuk Bojonegoro sendiri, sebenarnya masih bingung dengan ciri khas budaya lokalnya. Karena hal itu dia merujuk budaya Bali sebagai wahana belajar.
Pria 49 tahun ini pernah diundang dan terlibat di Festival Kesenian Yogyakarta sekitar tahun 2000-an lalu. Saat ini, dia memang berharap bisa terlibat dalam pameran seni untuk Bojonegoro.
Hanya, selama ini, tidak pernah ada tanggapan dari Pemerintah yang cukup serius. Selain ingin mengadakan pameran seni, berangan berangan memiliki galeri sendiri. Itu karena sudah sangat banyak hasil karyanya yang memenuhi rumah.
“Pokok tiap hari berkarya, untuk nantinya saya tidak tahu, ya terserah Tuhan. Yang penting berkarya dulu baru boleh berharap hasilnya. Jangan terus meminta ke Tuhan tapi belum ngapa-ngapain.” ucapnya.
Imam bercerita mengenai seni bagi kehidupannya secara pribadi. Berkarya dalam kesenian memiliki pengaruh besar bagi dirinya. Selain kehidupan sehari-hari, juga dalam hal spiritual.
Dia berkarya sebagai bentuk ibadah pada Tuhan. Bekerja pada Tuhan untuk mendapatkan rasa tenang. Sebab, baginya, dengan berkarya bisa membikinnya merasa tenang.
“Saya berkarya sebagai bentuk ibadah pada Tuhan,”
Selain berkarya sendiri, dia juga mengerjakan pesanan lukisan atau patung. Tak jarang pula yang memesan orang luar dari luar kota.
Dia tidak pernah memasang harga. Sebab, dia percaya jika orang paham seni itu pasti tahu bagaimana menghargai karya.
Selain harus mengingat sejarah, dia juga berpesan agar berani menekuni apa yang disukai. Sebab, tekun itu pegangan yang mengantar pada tujuan yang diinginkan.
“Tekun iku teken e bakalan ketekan” tutupnya.
Comments 3