Bojonegoro. Saat mendengar kata itu, apa sih yang kita pikirkan? Rumah, mungkin. Kampung halaman, mungkin. Itu bagi kita, Nabs. Kita yang memang sudah terikat pada tempat ini. Lalu, apa sih yang orang lain pikirkan ketika mendengar kata itu?
Kita semua pasti pernah terlibat suatu percakapan. Ketika seseorang menanyakan dari mana asal kita. Lalu kata itu muncul. Ada yang bilang “oh yang sering banjir?”. Ada juga yang bilang “oh aku ada Mbah disana”. Banyak lagi yang bilang “mana sih? Jauh ya?”.
Dari situ, sepertinya saya semakin penasaran. Apa? Siapa Bojonegoro? Apa yang dilaluinya seabad lalu ketika orang-orang kulon jauh menduduki tempat ini? Orang-orang Eropa yang haus materi. Apakah terpuaskan di tempat ini?
Peneliti dari University of Queensland, Australia pernah meneliti tentang rumah kita, Nabs. Seorang bernama Dr.C.L.M. Penders. Penders mengisahkan sejarah tempat ini dalam buku Bojonegoro 1900-1942. A story of endemic poverty in north-east Java – Indonesia. Bahkan jauh sebelum kita mengenal pelajaran sejarah pertama di bangku sekolah dasar. Buku itu diterbitkan pada 1982.
Dari tajuknya saja, apa kita harus kaget? Ataukah kita hanya mafhum? A story of endemic poverty. Sebuah kisah tentang kemiskinan endemik. Menahun. Nah, mari kita obral-obrol soal apa dan siapa Bojonegoro satu abad yang lalu.
Bojonegoro adalah daerah landlocked, atau terkunci oleh daratan. Bojonegoro tidak memiliki laut. Namun ada satu sungai panjang yang menghidupi daerah ini: Bengawan Solo. Daratan Bojonegoro yang luas adalah hutan dengan tumbuhan khas: tectona grandis alias pohon jati.
Jati telah menjadi bagian dari identitas Bojonegoro. Tidak hanya hari ini, namun telah tertanam berabad-abad yang lalu. Nah, Nabsky, yuk obral-obrol tentang bagaimana jati membentuk sejarah Bojonegoro.
Tidak hanya Bojonegoro sebagai suatu entitas daerah. Namun juga sejarah hidup manusianya. Masyarakat yang disebut menderita kemiskinan yang endemik.
Kisah ini dapat dimulai dari pantai terdekat Bojonegoro. Tetangga kita – Tuban, adalah salah satu kota pelabuhan dan perdagangan terbesar di pulau Jawa. Pada 1500-an, perdagangan Tuban juga disokong oleh pasokan kayu dari Bojonegoro dan Rembang. Sayangnya, relasi pemasok kayu dari Bojonegoro dan pedagang di Tuban adalah kerja paksa atau perbudakan.
Pekerjaan ini dilakukan oleh kasta sudra atau disebut orang kalang. Sedangkan berdasarkan tugasnya, orang-orang ini dibagi menjadi blandong dan pikul. Blandong adalah mereka yang bertugas untuk menebang dan memotong kayu jati. Sedangkan pikul adalah mereka yang membawa kayu untuk didistribusikan.
Dari sini kita bisa tahu, bahwa hutan adalah salah satu potensi Bojonegoro. Namun tidak menjadikan rakyatnya sejahtera kala itu. Alih-alih kesejahteraan, justru kondisi alam dan ekosistem hewani yang terancam.
Hari, bulan, tahun, dan abad berganti. Bentuk pemerintahan juga berganti. Dari sejarah panjang penguasaan kerajaan satu ke kerajaan lainnya. Kemudian datang orang-orang kulon jauh. Memasuki era kolonialisme Belanda, keadaan tidak banyak berubah.
Pada 1700-an, Bojonegoro menjadi bagian dari kasultanan Yogyakarta. Sebagai bagian dari mancanegara, atau teritori terluar dari kasultanan. Dari sejarah ini, kita bisa memahami mengapa logat bahasa Jawa kita lebih ke Jogja – Solo daripada Suroboyoan.
Bentuk pemerintahan ini berubah seabad kemudian. Pada tahun 1800-an, gubernur jenderal Herman Daendles mengambil alih daerah Mancanegara. Bojonegoro kemudian dipimpin secara langsung oleh pemerintah kolonial Belanda.
Pada masa ini, Bojonegoro penting bagi pemerintah kolonial. Lagi-lagi karena potensi kayu. Terutama kayu jati yang menyokong pembangunan infrastruktur dan kapal-kapal kumpeni. Meskipun begitu, pemerintahan Daendels memberi kabar baik bagi eksploitasi kayu jati di Bojonegoro.
Dandels memberlakukan kebijakan untuk penggunaan kayu jati dengan lebih rasional. Pada periode ini pula, Daendels memberlakukan penanaman hutan kembali. Tugas blandong dan pikul diambil alih oleh pekerja dari Belanda. Mereka yang sebelumnya bekerja di hutan, kemudian diberi tugas dalam sektor agrikultur. Bahkan mendapatkan gaji, subsidi beras dan garam.
Mulai era inilah Bojonegoro mulai mengenal pekerjaan di sawah. Namun soal kekayuan dan jejatian di Bojonegoro masih terus mengalami pasang surut. Tentunya dikarenakan perubahan pemimpin dan pemerintahan kolonial.
Nabs, ini baru era jejatian. Masih banyak kisah Bojonegoro yang belum dikulik lebih jauh. Kita sambung lain kali, yha. Hehe.