Hashtag #justiceforaudrey dan #bullying beberapa hari ini menjadi trending di lini masa berbagai media sosial. Diduga, keramaian muncul dari kasus kekerasan berupa bullying. Tindak perisakan atau perundungan sejumlah pelajar di Pontianak ini tak luput dari perhatian berbagai kalangan. Termasuk di Bojonegoro.
Selama sepekan, hashtag #justiceforaudrey dan #bullying meramaikan jagad twitter, Instagram, dan media-media sosial lainnya. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga masyarakat internasional. Kedua tagar tersebut bermula dari cuitan di twitter yang mengungkap kasus kekerasan terhadap pelajar SMP di Pontianak, Kalimantan Barat.
Audrey, seorang siswi SMP diduga dikeroyok 12 siswi SMA. Mengutip Liputan6.com, pengroyokan terjadi pada Jum’at (29/3/2019) sekitar pukul 14.30 wib. Saat itu, Audrey dibonceng temannya menuju ke rumah sepupunya.
Namun, ada 4 remaja perempuan yang menghampiri dan mengarahkan mereka ke sebuah area di Jalan Sulawesi. Di tempat tersebut, ada sejumlah remaja lain yang sudah menunggu. Saat itulah terjadi pengroyokan.
“Ada sejumlah remaja perempuan yang sudah menunggu. Seorang di antaranya langsung menyiramkan air ke korban dan menarik rambut, lalu kemudian menendang korban,” kata Kasat Reskrim Polresta Pontianak, Kompol Husni Ramli dikonfirmasi Merdeka.com, Selasa (9/4/2019).
Husni mengungkapkan bahwa perut siswi SMP tersebut sempat diinjak. Kepalanya juga dibenturkan ke bagian jalan yang berbatu. Audrey dan sepupunya sempat lari untuk kabur.
Para pelaku pengroyokan mengejarnya. Penganiayaan tersebut terus terjadi hingga terdapat warga yang menghampiri mereka. Para pelaku pengeroyokan pun kabur.
Akibat kejadian ini, Audrey harus mendapat perawatan rumah sakit. Hingga saat ini, kepolisian Pontianak masih melakukan pemeriksaan terkait kasus tersebut.
Kasus ini belum tuntas diselidiki. Tapi karena terlanjur viral, berbagai opini muncul terhadapnya.
Melalui tagar #JusticeForAudrey, warganet menanggapi kasus tersebut. Bahkan ada yang membuat petisi melalui media sosial twitter.
Terlepas dari berbagai opini yang bergulir, dari sudut pandang manapun, praktek bullying tidak dapat dibenarkan. Akibat dari perbuatan ini sangat fatal. Dampak secara fisik maupun psikologis tidak akan mudah hilang dari diri korban.
Nahasnya, di Bojonegoro, tindakan bullying ini kerap terjadi. Data dari yang dirilis Polres Bojonegoro di media, menyebutkan bahwa selama 2018 telah terjadi 42 kasus kekerasan di Bojonegoro. Secara rinci, terdapat 6 kasus KDRT, pencabulan 10 kasus, perkosaan 2 kasus, pengeroyokan anak, buang bayi 2 kasus dan persetubuhan 16 kasus. Sisanya terdapat kasus yang mencakup anak-anak sebanyak 10 kasus.
Artinya, jika dirata-ratakan, hampir setiap bulan terjadi tiga kasus kekerasan, termasuk penindasan dan perisakan. Ini yang tercatat. Bisa jadi ini hanya fenomena gunung es, yakni kejadian sesungguhnya lebih banyak dari yang dicatat kepolisian.
Kabar baiknya, data ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat untuk melapor kian meningkat. Seperti dikatakan Kepala Dinas Pemberdayaan Perlindungan Perempuan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Bojonegoro, Adie Witjaksono.
Dia mengatakan bahwa keberanian korban kekerasan perempuan dan anak sudah meningkat. Mereka sadar apa yang mereka alami kemudian berani melaporkan. Meski tentu saja hal ini menambah catatan kasus kekerasan.
“Perempuan Bojonegoro sudah bisa menilai perbuatan yang dialaminya itu termasuk melanggar atau tidak,” kata Adie.
Keberanian ini diharapkan akan menjadi kesadaran kumulatif untuk melawan praktek bullying dan kekerasan lainnya.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Bojonegoro, Niko Fatkuria dalam sebuah kesempatan mengatakan bahwa bullying merupakan tindakan yang melanggar hukum.
Kata dia, berkaitan dengan kekerasan terhadap anak, negara telah mengatur dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”). Di sana disebutkan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.
“Bagi yang melanggarnya akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 Juta.”
Namun menurutnya, mencegah serta meningkatkan kesadaran kumulatif melawan kekerasan dan penindasan jauh lebih penting daripada penghukumannya itu sendiri. Gerakan ini harus dibangun mulai dari keluarga, lingkungan, hingga lembaga pendidikan.
“Jika mendapatkan perlakuan seperti kekerasan, atau anda melihat atau mendapatkan informasi kekerasan terhadap anak dan perempuan, segera informasikan kepada kami. Kami siap mendampingi,” ungkapnya mantap.
Niko berharap masyarakat tidak apatis. Selama masih banyak masyarakat yang tidak peduli dan tidak menyadari bahaya bullying, maka kejadian kekerasan akan terus terulang.
“Masalah ini harus terus menjadi perhatian kita semua. Jangan sampai kasus bully terjadi dan terulang,” pungkasnya.