Mansukrip kuno, sekalipun ditulis ratusan tahun lalu, seringkali mampu menjawab pelbagai masalah kontemporer. Solusi dari perkara modern, justru kerap ditemukan dari kertas kuno nan lusuh ini.
Beberapa waktu lalu ketika saya sedang bimbang dan gamang dengan beberapa urusan yang menyangkut kehidupan pribadi saya. Ndilalah beberapa waktu berlalu, saya kemudian seakan mendapatkan solusi dari seorang kiai saya yang sudah wafat lewat sebuah mimpi.
Dalam tulisan ini saya tidak sedang mengajak pembaca untuk mempercayai mimpi saya. Tidak. terserah anda percaya atau tidak. Saya hanya sekedar bercerita bagaimana sebuah manuskrip begitu mempengaruhi pemikiran saya.
Pikiran saya waktu itu adalah apakah benar mimpi tersebut merupakan jawaban atas masalah yang sedang saya hadapi. Masak iya lewat mimpi? Pertanyaan demi pertanyaan beruntun berjejal di pikiran.
Tak lama setelah itu, saya kemudian iseng membaca manuskrip-manuskrip kitab peninggalan masyayikh Pondok Pesantren Langitan yang sudah didigitalisasi di website milik British Library. Acak saja waktu itu.
Memang kala itu, demam kajian manuskrip sedang gencar-gencarnya melanda kalangan pesantren. Apalagi didukung dengan didirikannya wadah Nahdlatut Turats yang menjadi tempat berkumpul para peminat dan penggelut manuskrip pesantren.
Baca juga: Manuskrip Padangan, Serpihan Jimat Peradaban
Setelah membaca beberapa halaman dari manuskrip Aqidat al-Awwam, di sebuah catatan halaman saya menemukan anotasi asli tulisan tangan dari KH. Ahmad Sholeh, (Pengasuh ke-2 PP. Langitan).
Dalam anotasi tersebut beliau menulis pengalaman beliau bermimpi bertemu dengan KH. Muhammad Nur, Pendiri PP. Langitan yang tidak lain adalah ayah beliau sendiri.
Kejadian tersebut beliau alami Malam Jumat, 8 Ramadhan tahun 1308 H/1890 M. Diakhir tulisan beliau menyisipkan satu kalimat yang cukup memorable, yang menggambarkan betapa beliau taslim atau menerima, bahwa mimpi tersebut juga memiliki pesan khusus. Beliau menulis:
فكل ما أخبر به الميت عن نفسه أو عن غيره فهو حق لأنه فى دار الحق
“Segala sesuatu yang dikabarkan oleh seseorang yang telah meninggal oleh dirinya sendiri atau dari orang lain, maka itu adalah hal yang benar. Karena dia berada di surga Allah Dzat yang Haqq (Maha Benar)”
Kalimat tersebut menunjukkan bahwa apa yang dialami oleh KH. Ahmad Sholeh dalam mimpi merupakan pesan nyata. Bukan hanya bunga mimpi belaka. Tidak berasal dari gangguan-gangguan setan.
Sangat sulit dipercaya awalnya, pertanyaan saya atas kebenaran mimpi yang saya alami, rupanya terjawab dengan sarih dalam sebuah manuskrip tua yang sudah berusia ratusan tahun. Karena kalau melihat titimangsa manuskrip Aqidat al-Awwam tersebut menunjukkan tahun 1890. Itu artinya tulisan 132 tahun yang lalu.
Masih belum sepenuhnya percaya, saya kemudian melacak sumber dari kutipan tersebut. Apakah itu memang mempunyai rujukan yang otoritatif atau hanya kesimpulan dari KH. Ahmad Sholeh semata.
Benar saja, setelah saya telusuri kalimat tersebut juga bisa saya temukan dalam kitab Ta’bir al-Ru’ya karya Muhammad Ibnu Sirin (w. 110 H). Sebuah kitab yang memang khusus berbicara tentang ta’wil dan tafsir mimpi. Bunyi kalimat dan redaksinya pun sama persis.
Hal tersebut semakin menguatkan saya bahwa memang keberadaan manuskrip begitu memiliki nilai yang luar biasa bagi peradaban kita saat ini. Baik dari segi isi, konten, relevansi, serta pengaruh nilai-nilai yang terkandung dalam manuskrip tersebut. Pengalaman yang saya alami secara subyektif tadi, itu hanya secuil dari sekian banyak manfaat yang bisa dikorek kembali pada masyarakat.
Saya selalu yakin, setiap goresan kata dalam sebuah manuskrip buku atau kitab di masa lalu, selalu punya nilai universal yang akan menjawab tantangan dan dinamika zaman.
Karena pada dasarnya hal yang terkandung dalam manuskrip-manuskrip kuno, jika dikaji dan disesuaikan dengan konteks saat ini bukan tidak mungkin akan menjadi semacam bangunan peradaban yang selama ini masyarakatkan imajinasikan sebagai masyarakat madani.
Hal tersebut bisa benar-benar akan dicapai oleh masyarakat jika masyarakatnya sadar betul akan pentingnya khazanah masa lalu, sebagai pijakan dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang selaras dengan nilai-nilai kearifan.
Gus Dur & Manuskrip Ibnu Ruysd
JIka masih belum sepenuhnya percaya dengan kekuatan khazanah kekayaan intelektual masa lalu. Saya akan memberikan satu contoh serupa. Hal ini tidak saya alami sendiri. Melainkan oleh sosok yang pernah menduduki kursi 01 di Indonesia, walaupun cuma setahun. Siapa lagi kalau bukan Gus Dur.
Pengalaman tersebut dialami oleh Gus Dur beberapa dekade silam. Ketika sedang berada di Maroko, Gus Dur secara khusus menyempatkan untuk mengunjungi salah satu perpustakaan di kota Fez. Sebagaimana lazimnya, ketika mengunjungi sebuah negara salah satu hal yang pasti dikunjungi Gus Dur adalah Perpustkaan.
Nah ketika di Maroko tersebut Gus Dur sengaja mengunjungi perpustakaan kampus tertua di dunia yaitu Al-Qarawiyin di kota Fes demi membaca sebuah manuskrip Talkhis Akhlak Aristo karya Ibnu Rusyd.
Kitab tersebut asalnya karya Aristo tentang etika yang ditulis untuk anaknya yang bernama Nekomakhos/Nekomakhiya. Kemudian diringkas dan diberikan kritik oleh Ibnu Ruysd menjadi Talkhis Akhlak Aristo.
Rupanya setelah membaca manuskrip buku tersebut, Gus Dur sempat meneteskan air mata. Hal yang sangat jarang terjadi, seorang Gus Dur sampai menangis ketika membaca sebuah buku.
Rupanya Gus Dur terpesona dengan isi manuskrip Ibnu Rusyd yang mana mengajarkan tentang etika. Sambil menangis, bahkan Gus Dur berkata, “Andaikan saya tidak baca buku itu, saya bakal jadi teroris.” (Ali Mustafa Ya’qub: 2012)
Begitu besarnya pengaruh sebuah turats atau warisan masa lalu tersebut bahkan bisa mempengaruhi sosok besar Gus Dur. Padahal kita tahu sendiri, Gus Dur sejak muda telah mempunyai wawasan serta kekayaan intelektual yang begitu luas.
Tidak hanya kitab kuning, buku-buku berat tulisan para pemikir barat sudah kenyang dilahapnya. Tapi apa kata beliau, semua pengetahuan tersebut rupanya hanya membentuk dan melahirkan pola pikir yang ekstrim kalau saja ia tidak membaca satu manuskrip berjudul “Talkhis Akhlak Aristo” tersebut.
Penulis merupakan pustakawan di Perpustakaan Ponpes Langitan.