Forum Limolasan dilaksanakan di Gunung Jali, Tegiri, Tebon, Padangan, Bojonegoro pada (21/6/2024), berjalan dinamis dan konstruktif. Agenda jagong ilmiah di malam purnama penanggalan hijriyah itu, membincang peran penting Bukit Tegiri sebagai pilar Kebudayaan Islam abad 14 M yang masih jarang diketahui.
Acara digelar di halaman makbaroh Mbah Jimat Tegiri itu, berkesan hikmat, sederhana, namun gayeng. Acara dihadiri sejumlah tokoh dan para pemangku wilayah setempat. Di antaranya: Kamituwa Tegiri, Kamituwa Tebon, Sesepuh dan Kiai Dusun Tegiri, para Pemuda Ansor, para jurnalis, peneliti, serta para pegiat literasi dari Kota Blora dan Bojonegoro.
Baca Juga: Limolasan, Menyigi Wajah Jipang yang Sejati
Gunung Jali Tegiri punya peran besar dalam merekam jejak kejayaan Islam abad 14 M di wilayah Tlatah Jipang (Bojonegoro dan Blora). Bukit yang kini menjadi pembatas antara Kabupaten Bojonegoro (Jawa Timur) dan Blora (Jawa Tengah) itu, menjadi titik penting keberadaan Islam pada Masa Keemasan Majapahit.

Gunung Jali Tegiri tercatat secara literatur sebagai tempat dakwah Syekh Jumadil Kubro (Mbah Jimatdil). Ini sesuai data tercantum pada History of Java (1817), The Passing Over (1998), dan Atlas Wali Songo (2012). Singgungan Manuskrip Padangan (1820), serta keberadaan Prasasti Pucangan (1041), Prasasti Maribong (1248), dan Prasasti Canggu (1358) juga memperkuat bukti akan besarnya peradaban Gunung Jali.
KH Abdurrohman Wahid (Gus Dur) menyebut, Sayyid Jamaluddin Akbar alias Mbah Jimatdil Kubro menancapkan tongkat dakwah di Gunung Jali Tegiri pada periode 1344 M. Menurut Gus Dur, dakwah Mbah Jimatdil Kubro di wilayah tersebut, masyhur akan sikap toleransi dan penuh welas asih. Konsep ini yang kelak menginspirasi Gus Dur dalam sikap dan karakter dakwahnya.
Mbah Jimat juga membangun masjid yang berada di sisi seberang sungai Gunung Jali Tegiri. Masjid itu dikenal dengan masjid kuno Mesigit Jipang. Dakwah penuh toleransi dan welas asih ini, kelak dilanjutkan para santri dan penerus Mbah Jimatdil. Para santri Mbah Jimatdil itu dikenal dengan Keramat Songo dan Keramat Santri.

Sesuai literatur kitab Tarikhul Aulia, pada akhir masa Kerajaan Majapahit, lokasi dakwah Mbah Jimatdil Kubro beserta para santrinya tersebut, kelak dilanjutkan Sunan Ngudung (Sunan Jipang Panolan). Lalu pada masa Kerajaan Giri Kedhaton, estafet dakwah berbasis welas asih dan penuh toleransi tersebut kemudian dilanjutkan dakwah Syekh Nursalim Giri.
Gunung Jali Tegiri menjadi bukti dakwah penuh toleransi yang dilakukan dari zaman ke zaman, sejak Mbah Jimatdil Kubro. Di wilayah itu, Islam dan kebudayaan masyarakat tak bisa dipisahkan. Sebab, para pendahulu dan para masyayikh telah menancapkan metodenya. Ini alasan Gus Dur menyebut lokasi tersebut sebagai Prototype Toleransi Nusantara.
Limolasan adalah agenda jagong ilmiah di malam purnama penanggalan hijriyah, yang dilakukan para pegiat literasi dari Blora dan Bojonegoro. Limolasan menjadi forum yang mencari ibrah dari masa silam, mengkontekstualisasikannya pada masa sekarang, sekaligus membangun ancang-ancang untuk masa depan.