Konsep hidup santri akademisi, sekaligus akademisi yang juga seorang santri, dalam menghadapi dinamika disrupsi teknologi.
Santri dan akademisi punya muara yang sama. Yakni, mereka-mereka yang bergelut di dunia intelektualitas. Mereka yang mau membaca, menulis dan merenungi sunatullah sebagai tugas hidup manusia.
Dalam khazanah kemajuan zaman, orang-orang urban modern cum ilmiahis menganggap, santri dan akademisi punya celah dikotomi yang tak senyawa. Ia seolah dipisah dua kutub rasionalitas dan ghaibitas yang tak sejalan.
Padahal, andai mau merenung lebih lama, rasionalitas dan ghaibitas merupakan keseimbangan in harmonia progressio yang sesungguhnya. Sebab, ghaibitas bisa terasa benar-benar ghaib karena ada sudut pandang yang rasional. Sementara konsep rasional bisa eksis, karena ada pembanding berupa keghaiban.
Ini menunjukan betapa sesungguhnya ghaibitas (irasio) dan rasionalitas berjalan secara beriringan. Mengandalkan rasio dan mengabaikan irrasionalitas merupakan kesalahan, sementara mengandalkan irasio dan mengabaikan rasionalitas juga kesalahan.
Nabs, istilah “ghaib” jangan diafiliasikan pada perkara yang horor-horor terus ya. Istilah “ghaib”, nggak selamanya horor kok. Nggak selamanya mistis dan nggak selamanya aneh-aneh. Ingat, ghaib itu sebuah istilah yang punya makna. Bukan hantu atau horor.
Ghaib, secara harfiah, dimaknai tersembunyi atau tak tampak. Sementara secara etimologi bahasa, ghaib berasal dari kata ghoba yang artinya tidak tampak atau tidak hadir. Lawan kata dari hadhoro atau dhoharo yang artinya hadir dan tampak.
Jadi, secara istilah, kata “ghaib” nggak berhubungan sama sekali dengan hantu dan horor-hororan. Kata ghaib justru lebih dekat dengan jomblo. Sebab, seorang jomblo jodohnya masih ghaib. Maksudnya, masih belum terlihat. Hehe
Kiai saya pernah berpesan, ghaib itu maksudnya sesuatu yang tak/belum kita ketahui. “Sesok iku ghaib (besok itu sebuah keghaiban)”. Begitu kata Kiai saya. Maksudnya, kita tak pernah tahu takdir apa yang akan terjadi pada diri kita besok, karena masih dalam keghaiban.
Jadi, intinya, hantu dan horor-hororan itu bagian dari sifat ghaib. Sesuatu yang tak tampak. Tapi, “ghaib” bukan hantu atau horor-hororan. Sebab, seperti yang dikatakan Kiai saya, ghaib adalah perkara yang tidak tampak. Nggak usah jauh-jauh ke hantu, jodoh yang belum datang itu saja sudah ghaib kok. Eh ~
“Dadi cah lanang kudu iso nyuwuk, ya iso nggepuk. Iso nyembur, ya iso nggempur”. Kalimat itu pernah diucap bapak pada saya. Tapi saya lupa, kapan pastinya kalimat itu beliau ucapkan.
Yang saya ingat, itu terjadi ketika saya sakit akibat jatuh dari Bus Umum beberapa tahun silam. Dan sialnya, saya tak tahu apa maksudnya. Beberapa bulan lalu, saya baru ngeh arti dan maksud dari kalimat tersebut, setelah bertahun-tahun diucapkan.
Saat pandemi Covid-19 menggempur jagat psikologis manusia, konsep ilahiah dan ilmiah bergerak saling dukung satu dan lainnya. Dan di saat itulah, kalimat “cah lanang kudu iso nyuwuk, ya iso nggepuk. Iso nyembur, ya iso nggempur” terasa benar-benar kembali menabrak kepala saya.
Nyuwuk adalah konsep ilahiah, konsep ghaib yang tak tampak. Konsep tawakal. Sementara nggepuk adalah konsep ilmiah, konsep rasio yang tampak. Konsep ikhtiar. Nyembur adalah konsep yang halus dan tak begitu terasa. Sementara nggempur adalah konsep kasar yang benar-benar terasa secara fisik.
Tapi, baik nyuwuk ataupun nggepuk, baik nyembur ataupun nggempur, semua punya makna aktif. Punya makna bergerak dan berupaya melakukan sesuatu. Terlepas apapun hasilnya, itu perkara ghaib yang belum tampak dan bukan menjadi urusan manusia.
“Dadi cah lanang kudu iso nyuwuk, ya iso nggepuk. Iso nyembur, ya iso nggempur” (seorang lelaki harus bisa (berupaya) tawakal dan berusaha. Bisa pasrah —pada Allah— dan bisa berupaya secara nyata”.
Tentu, secara general tak hanya lelaki. Tapi perempuan juga. Hanya, konteksnya waktu itu memang lelaki. Karena yang dibilangin adalah saya.
Dan, tentu saja, di tengah disrupsi teknologi yang luar biasa buas saat ini, konsep keseimbangan demikian patut untuk dipertahankan. Agar tetap jadi santri ilahiah, dan akademisi yang ilmiah. Pandai bertawakal, tapi juga lihai berikhtiar.