Minggu-minggu ini, banyak bakal calon legislatif (bacaleg) yang beramai mendaftar ke KPU Bojpnegoro. Kedatangan mereka, tentu untuk mendaftar sekaligus memantabkan diri sebagai calon politisy ~
Semangat mereka cukup luar biasa. Tak jarang, kehadiran mereka ke kantor KPU diiringi pawai beserta hiburan musik. Ini bukti kuat betapa besar semangat mereka dalam mencari nafkah memperjuangkan hak-hak rakjat kecild.
Nabs, sudah tahu belum kalau ada partai-partai besar legendaris yang pernah eksis di Kota Bojonegoro. PKI, PNO, PNI, Masyumi adalah partai besar yang pernah eksis di Bojonegro lho, Nabs.
Dinamika sosial dan budaya di Bojonegoro pada 1958 sudah amat riuh. Sejumlah nama partai dan organisasi kepemudaan nan legendaris pernah meramaikan dinamika perpolitikan di Kota Ledre, sejak zaman Sukarno.
Bagi kita yang so called anak milenial, mungkin hanya pernah dengar atau sekadar baca sejumlah nama partai seperti PKI, PNO atau PNI beserta uborampe kengerian masa lalunya. Pada 1958, partai-partai itu eksis di Bojonegoro.
Partai Komunis Indonesia (PKI) bahkan, pernah mendapat suara terbanyak. Waktu itu ada beberapa partai besar. Di antaranya ialah PKI, Partai Nahdlatul Oelama (PNO), Masyumi, dan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Pada 1958 di Bojonegoro, di bidang legislatif, PKI mendapat 15 kursi, Masyumi 9 kursi, PNO memperoleh 6 kursi, dan PNI 5 kursi. Ketuanya dari PNO dan wakil ketua dari Masyumi.
Nabs, PKI, PNO, PNI, Masyumi adalah empat partai besar yang pernah eksis di Bojonegro. Jauh sebelum nama-nama itu punah di telan sejarah itu sendiri.
Bidang eksekutif urutan dari suara terbanyak yakni PNI, Masyumi, PKI, dan PNO. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 dibentuk daerah swatantra tingkat II dengan 2 lembaga yaitu DPRD (kekuasaan tertinggi) dan DPD (pelaksana), pemerintahannya otonom.
Organisasi yang ada di Bojonegoro tahun 1958 adalah Katholik, PSI, dan Buruh. Selain itu, ada organisasi yang bergerak di bidang kepanduan seperti Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), Hizbul Wathan (HW) yang merupakan organisasi kepanduan Muhammadiyah, Pandu Rakjat, Ipindo, dan Pandu Ansor.
Organisasi pemuda ada Ansor, Pemuda Kristen, Pemuda Sosialis, Pemuda Rakjat, dan lain-lain. Organisasi wanita ada Muslimat NO (Nahdlatul Oelama), Perkumpulan Wanita Kristen, Aisyah, Gerwani, Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI), Perkumpulan Istri Guru, Persit, Bayangkara, dan lain-lain. Organisasi Tionghoa: Persatuan Warge Negara Indonesia Turunan Tinghoa, Cung Hua Tsung Hui (CHTH), dan Baperki.
Lalu, politik dan pemerintahan di bidang desa. Struktur pejabat pemerintah di desa-desa yaitu lurah sebagai petinggi, kemudian ada carik (kesekretariatan), jogoboyo (keamanan desa), bayan, kamituwo, modin, dan djokotirto yang mengurusi pengairan desa.
Pejabat dianggap sah apabila dihadiri tiga perempat dari jumlah penduduk yang hadir dalam pemilihan. Dan keputusan bersifat “sah” apabila disetujui setengah dari penduduk. Hal itu menunjukkan sistem demokrasi di desa telah berjalan dan masyarakat menyukainya. Namun dalam hal kualitas demokrasi (hingga sekarang) masih menjadi tanda tanya.
Itulah nabs gambaran dinamika sosial dan budaya Bojonegoro di tahun 1958. Gambaran itu s.aya olah dari berbagai sumber, satu di antaranya dari Sosiographic Data Pappers yang ditulis oleh Sarini (1959) dengan tajuk Masjarakat Bodjonegoro/Bodjonegoro Society.
Yuk Nabs, kita gali khazanah sejarah Bojonegoro. Pak Kuntowijoyo (begawan Sejarah Indonesia) bahkan pernah berkata, “dengan sejarah kita belajar jatuh cinta”.
Dengan mengetahui sejarah Bojonegoro, akan menambah rasa cinta terhadap daerah yang konon sebagai lumbung pangan dan energi. Selain itu, sejarah juga mengandung beragam hikmah yang bisa kita download.