Banyak pemuda-pemudi hebat nan terampil justru enggan kembali dan berkontribusi kepada tanah kelahiran. Fenomena tersebut biasa disebut dengan brain drain. Lalu, seperti apa sih Nabs, fenomena brain drain itu?
Indonesia tak bisa dilepaskan dari masalah ketimpangan. Penduduk kota besar cenderung punya taraf hidup lebih baik dibanding dengan penduduk pedesaan.
Salah satu penyebab dari ketimpangan di Indonesia adalah kualitas sumber daya manusia yang ada. Orang-orang yang punya keahlian tertentu lebih senang tinggal dan menetap di kota besar, dibandingkan dengan daerah asal. Alhasil, ketimpangan dalam hal ekonomi hingga pendidikan sangat terasa.
Istilah brain drain menjelaskan faktor utama penyebab ketimpangan di Indonesia. Secara sederhana, fenomena brain drain dapat diartikan sebagai perpindahan orang-orang terampil di suatu negara ke negara lainnya.
Hal ini dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi, seperti tingginya gaji di negara tujuan, taraf hidup yang lebih tinggi, maupun biaya kehidupan sehari-hari yang lebih murah.
Negara-negara pemasok utama jumlah imigran dengan ketrampilan tinggi atau high-skill immigrant di tahun 2000 antara lain Inggris, Filipina, India, Meksiko, Jerman dan Tiongkok.
Namun dalam perkembangannya, imigran dengan ketrampilan tinggi banyak berasal dari negara berkembang yang dapat dikatakan belum mampu memberikan fasilitas yang memadai bagi orang-orang dengan keterampilan tinggi.
Data tersebut sekaligus menjadi bukti bahwa brain drain telah menjadi salah satu fenomena yang terjadi dalam migrasi masyarakat.
Brain drain berakibat pada berkurangnya sumber daya manusia (SDM) terampil di negara-negara pemasok yang umumnya adalah negara-negara berkembang atau miskin.
Dan sebaliknya, meningkatkan SDM di negara-negara penerima yang umumnya adalah negara-negara maju. Hal ini didukung pendapat pengamat politik asal Inggris, Le Grain, bahwa fenomena brain drain dapat memberikan suatu keuntungan maupun kerugian bagi sebuah negara.
Fenomena brain drain ini juga sangat relevan jika dikaitkan dengan daerah-daerah di Indonesia. Tak terkecuali di Bojonegoro.
Banyak pemuda-pemudi Bojonegoro yang memiliki skill dan kemampuan di bidang tertentu, yang enggan kembali ke daerah asalnya. Mereka tak tertarik untuk berkarir atau bekerja di Bojonegoro.
Mereka lebih tertarik berkarir di kota-kota besar yang punya upah tinggi macam Surabaya, Gresik, Tangerang, atau bahkan Jakarta.
Iming-iming gaji yang tinggi dan berbagai kemudahan di kota besar, membuat pemuda-pemudi potensial di Bojonegoro seperti tak tertarik untuk kembali dan berupaya membangun Bojonegoro.
Namun bukan berarti semua pemuda-pemudi yang potensial di Bojonegoro enggan kembali dan membangun tanah kelahirannya. Contohnya saja Haizza Astiyan Fauziyah. Mahasiswi FISIP Universitas Airlangga Surabaya tersebut punya niat untuk kembali dan berkontribusi terhadap Bojonegoro.
“Kalau aku tetap punya keinginan untuk kembali ke Bojonegoro. Aku punya keinginan untuk berkontribusi kepada Bojonegoro dengan mendirikan perpustakaan,” ujar Haizza.
Ada pula Afrodita Indrayana, pemuda Bojonegoro yang punya pengalaman dalam mengembangkan potensi wisata. Lulusan Institut Pertanian Bogor tersebut memang belum punya niat untuk kembali ke Bojonegoro dalam waktu dekat.
Namun, alumni SMAN 2 Bojonegoro tetap berkeinginan untuk membangun tanah kelahirannya. Khususnya di bidang pariwisata.
Fenomena brain drain tentu harus disikapi dengan positif. Orang-orang yang memilih untuk berkarir di tempat yang menawarkan upah atau gaji tinggi tak bisa disalahkan begitu saja.
Peningkatan dan pemerataan ekonomi di daerah menjadi solusi utama untuk mengurangi fenomena brain drain di Indonesia, termasuk Bojonegoro.
Buat Nabsky semua, jangan pernah melupakan daerah kelahiran tercinta. Sedikit atau banyak, cobalah untuk berkontribusi dan memberikan sesuatu kepada daerah kelahiran ya, Nabs.