Tiap golak zaman selalu menghadirkan kisah perjuangan. Dengan cara dan siasat yang tak harus sama, tentu saja.
Hari demi hari berlalu. Sebelum Hari Pahlawan, ada Hari Santri (22 Oktober) kemudian Hari Sumpah Pemuda (28 Oktober). Menyongsong Hari Pahlawan (10 November), merupakan hari yang sarat akan perjuangan.
Dalam konteks masa lalu, semangat perjuangan untuk menghapuskan kolonialisme dan imperialisme dalam wujud fisik ‘pertempuran’. Di era kiwari, semangat perjuangan serupa namun tak sama. Dilakukan dengan perang pemikiran terhadap kolonialisme dan imperialisme gaya baru.
Salah satu di antaranya ihwal ilmu dan pengetahuan. Genosida intelektual oleh Orde Baru terhadap gerakan rakyat yang dicap kiri, membuat sejarah dan khususnya sejarah perjuangan yang ada kaitannya dengan Hari Pahlawan cenderung bersifat militeristik.
Dimana yang seakan-akan berjuang hanya tentara-tentara saja, padahal perjuangan secara fisik dan diplomatik dilakukan oleh segenap rakyat Indonesia.
Upaya mengkikis ‘militeristik’ amat sangat penting. Untuk menghindari adanya ‘militerisme’ yang terkesan otoriter dan tidak demokratis. Perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia juga dilakukan oleh jurnalis, pelajar, petani, buruh, dan lain sebagainya.
Dalam buku Api Sejarah (Mansur Suryanegara, 2014) dikisahkan juga mengenai perjuangan pemuka agama. Seperti Kiai Hasan Gipo, Kiai Hasyim Asyari, Kiai Ahmad Dahlan, dan ulama lainnya.
Menurut begawan ilmu sosial profetik Kuntowijoyo, dalam Pengantar Ilmu Sejarah (2013), sejarah sebagai ilmu memiliki ciri dan karakteristik yaitu bersifat empiris, mempunyai teori, objek, generalisasi, dan metode.
Dan menurut Leopold Von Ranke, bahwa no document, no history. Tidak ada bukti berupa dokumen, belum bisa dikatakan sebagai sejarah. Masa lalu belum tentu sejarah, sejarah sudah pasti ihwal masa lalu.
Dalam sejarah Bojonegoro, semangat perjuangan juga dilakukan oleh berbagai kalangan. Ada pemuka agama, pelajar, petani, buruh, dan lain sebagainya. Seperti Tio Oen Bik yang terlibat dalam Perang Sipil Spanyol 1936-1939 dan memiliki peranan penting dalam pergerakan kaum Tionghoa. Selain itu juga ada tokoh-tokoh yang lainnya.
Merebut kemerdekaan pada pertempuran 10 November 1945, yang kita kenal dengan Hari Pahlawan. Adalah bentuk perjuangan baru rakyat Indonesia di pertengahan abad 20 dengan penuh kesadaran nasional, yang belum ada di zaman Perang Jawa/Diponegoro (1825-1830) dengan filsafat politik kerajaannya.
Namun keduanya sama-sama mengobarkan semangat yang sama, semangat pembebasan dari belenggu jajahan. Termasuk adanya perlawanan dalam lingkup lokal oleh segenap masyarakat adat, seperti pembangkangan suku Samin untuk membayar pajak kepada Belanda.
Dalam hal ini, lembaran sejarah Bojonegoro, turut mewarnai dalam setiap fase pergolakan waktu itu.
Pertama
Pada awal Perang Jawa (1825), di sisi barat Kota Bojonegoro, tepatnya di Padangan, terdapat markas pasukan Diponegoro yang bernama Pasukan Malang Negoro. Dikomandoi Tanggono Pura dan Kiai Khasan.
Tanggono Pura merupakan panglima perang, sementara Kiai Khasan yang bernama asli Sayyid Abubakar Alaydrus, adalah penasehatnya. Di dalam pasukan ini ada nama-nama seperti Kiai Munada, Kiai Zakaria, Kiai Nursalim, dan banyak nama lain yang belum sempat ditulis sejarah.
Pasukan Malang Negoro adalah pasukan yang melumpuhkan gerak Belanda dari arah Jawa Timur ke arah Jawa Tengah selama 3 hari. Kesuksesan melumpuhkan Belanda ini, membuat Belanda kian ngamuk dengan mengirim lebih banyak pasukan.
Meski sempat kocar-kacir, setidaknya Pasukan Malang Negoro mampu memicu perang lanjutan yang digerakkan Sosrodilogo di sisi timur Padangan. Selain itu, dzuriyah (keturunan) sisa pasukan Malang Negoro inilah yang kelak menghimpun perlawanan lebih sengit dan sistematis. Yakni, Sarekat Islam Bojonegoro.
Kedua
Pasca perlawanan Malang Negoro, dan Perang Jawa masuk tahun ketiga (1827-1828), orang dekat Pangeran Diponegoro, bernama Sosrodilogo, memimpin front pertempuran dan menguasai kawasan Jipang-Rajegwesi, Tuban, dan Rembang (Peter Carey, 2019).
Sambil ia didaulat oleh rakyat Rajegwesi menjadi Bupati, menggeser Joyonegoro yang melarikan diri. Setahun kemudian Sosrodilogo terdesak oleh pasukan Belanda ke wilayah Madiun, Joyonegoro kembali menduduki bupati. Lalu mengganti nama Rajegwesi menjadi Bojonegoro, untuk menghapus masa kelam pemberontakan.
Ketiga
Menjelang akhir abad 19, ada sosok Raden Ayu Tirtonoto, istri Bupati Tirtonoto, yang mengasuh Tirto Adhi Soerjo di Bojonegoro semasa kecil. Kelak setelah keluar dari STOVIA di Betawi sang cucu ini akan jadi pelopor surat kabar pribumi dan organisasi pertama kali di abad 20 (Pram, Sang Pemula)
Berkat didikan Raden Ayu yang pernah bersumpah supaya anak cucunya mencari pahala dalam kemiskinan saja. Karena pemerintah Belanda telah melengserkan suaminya dan mengebiri hak jabatan untuk anak cucunya. Ini yang turut mempengaruhi Tirto memilih jalan terjal di zaman kebangkitan nasional.
Keempat
Pada waktu itu pula terjadi pembangkangan masyarakat Samin yang berpusat di Ngraho Bojonegoro dan Klopoduwur Blora (Radar Bojonegoro, 10/11/20).
Di mana mereka tak mau diatur-atur apalagi diperintah oleh kolonial, perlawanan mereka cukup unik karena tidak mengerahkan kekuatan fisik, yakni dengan menolak membayar pajak. Tapi berhasil membuat Belanda geram, sehingga membuang pemimpin ajarannya Samin Surosentiko di Sumatera Barat.
Kelima
Pada masa revolusi kemerdekaan, segenap rakyat bersama kaum santri berani bertempur melawan agresi militer Belanda-Inggris yang ingin menjajah kembali. Berkat fatwa dan resolusi jihad Nahdlatul Ulama (NU), berhasil mengobarkan perjuangan pada Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Termasuk bala pasukan santri yang datang dari Bojonegoro, di mana laskar Hizbullah waktu itu bermarkas di Pesantren Darul Ulum Baureno Bojonegoro di bawah pimpinan Kiai Cholil Pasinan. Seruan jihad fi sabilillah, menjadi magnet spiritual para santri untuk berlatih kanuragan, lalu berbondong-bondong menyerbu bala tentara penjajah.
Keenam
Jejak juang Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) Bojonegoro. Dimana jembatan Kali Ketek menjadi saksi bisu perjuangan pelajar yang terlibat dalam gerilya menghadang pasukan Belanda. Semangat perjuangan mereka yang begitu luar biasa terekam dalam buku Sejarah Perjuangan TRIP Bojonegoro (1980) dan diabadikan dalam bentuk monumen yang berada di dekat Pasar Halte Bojonegoro dan di kawasan alun-alun.
Progresivitas Kiwari
Penggalan-penggalan sejarah demikian, tentu bukan untuk meromantisir masa lalu yang penuh perjuangan heroik. Tetapi bagaimana kemudian, semangat Hari Pahlawan ini menjadi momentum kita untuk menelaah kembali perjuangan yang relevan hari ini, supaya tidak berhenti menjadi prasasti sejarah.
Karena dengan sejarah kita belajar jatuh cinta. Jatuh cinta bukan artian yang ‘murahan’ melainkan jatuh cinta secara esensial nan elegan dan tidak vulgar (Kuntowijoyo, 2013). Denga cara memperjuangkan rakyat dan menghapus belenggu imperialisme dan sisa-sisa feodalisme di Indonesia, khususnya di daerah yang konon sebagai lumbung pangan dan energi, dimana lagi kalau bukan di Bojonegoro.
Sebagaimana dialami kaum tani yang menjadi basis mayoritas masyarakat Bojonegoro. Selain banyak petani yang berlahan sempit, juga banyak buruh tani yang punya sawah. Biaya produksi pun masih melangit dan harga jual yang murah.
Justru skema pembangunan di masa mendatang yang berangkat dari Perpres No. 80 Tahun 2019, tentang Gerbang Kertosusila serta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bojonegoro yang baru, akan banyak merampas ruang hidup dan menimbulkan konflik agraria. Seperti rencana jalan tol, kawasan industri, dan tambang-tambang migas baru.
Apalagi adanya UU Cipta Kerja kian menghalalkan merampas tanah, memuluskan investasi, dan tidak begitu menjamin hak-hak buruh. Seyogianya menjadi perhatian penting akan ‘hak tanah’. Dan khususnya untuk rakyat Bojoengoro dan sekitarnya, mengapa hak tanah yang ada kaitannya dengan kedaulatan tanah itu penting? Karena di atas hak tanah ada hak-hak lain, salah satunya human rights atau Hak Asasi Manusia (HAM).
Rentetan kejadian luar biasa itulah yang akan kami bahas dalam kegiatan sore nanti. Harapannya, agar kita bisa mendapat ibrah dari perjuangan para leluhur.