Nabs, lahirnya RUU Permusikan, bisa jadi, disebabkan kurangnya komunikasi antara pelaku musik dan pembikin kebijakan. Padahal nih Nabs, untuk melahirkan sesuatu, harus ada komunikasi lho hmm
Banyak orang menyebutkan, musik merupakan bahasa universal. Padahal, dalam musik terdapat lirik atau syair yang mengikuti bahasa penyanyinya. Bukan perkara lirik yang menjadi universal, melainkan makna yang tersirat dari jenis-jenis lagu itu, tentu saja.
Situs Brainly yang merekam pendapat netizen menyebutkan, dengan musik, manusia dapat saling berkomunikasi hingga menyentuh segala lapisan masyarakat. Seperti dirangkum dari berbagai sumber, musik merupakan bunyi sebagai media menyampaikan pesan.
Tidak perlu jauh membandingkan musik luar negeri, di Indonesia dengan beragam budaya dan bahasanya, melahirkan berbagai macam jenis musik. Mungkin saja masyarakat Sulawesi tidak mengerti bahasa Jawa, namun mereka bisa menikmati lantunan musik khas Jawa, begitupun sebaliknya.
Bahkan, sejumlah musisi dunia mengakui jika musik teramat penting. Beberapa bahkan mengungkapkan rasa tentang kehadiran musik.
“Satu hal yang baik dari musik, ketika itu menyentuh Anda, Anda tidak merasakan sakit”, Bob Marley.
“Punk adalah kebebasan musik. Itu mengatakan, melakukan dan bermain apa yang Anda inginkan. Dalam istilah Webster, ‘nirwana’ berarti kebebasan dari rasa sakit, penderitaan dan dunia luar, dan itu cukup dekat dengan definisi saya mengenai Punk Rock”, Kurt Cobain.
“Musik adalah milik semua orang. Hanya perusahaan rekaman yang berpikir ia milik seseorang,” John Lennon.
Banyak musisi yang mengungkapkan keresahan, kegelisahan, protes, kritik, semangat, sampai membangun suasana melalui karya musik. Hingga pesan moralnya sampai ke telinga pendengar.
Nah, bagaimana jika semua itu harus dibatasi oleh kepentingan negara? Betapa itu semua menunjukkan betapa karya para musisi bisa berpengaruh mengoncangkan negara?
Baru-baru ini masyarakat di gemparkan RUU Permusikan. Di mana, para musisi lokal dibingungkan dengan rancangan peraturan baru tersebut.
Sejumlah musisi bahkan menemui ketua DPR RI untuk menyampaikan keluhan. Satu di antara musisi tersebut, Glenn Fredly mengatakan, materi muatan RUU Permusikan ini berdampak terhadap perlindungan dan hak para pelaku industri permusikan di Indonesia.
Tak hanya hasil karya cipta lagu dan musik, kata Glenn, skema pembagian royalti antara pencipta dengan pengguna musik hasil ciptaan orang lain juga bakal terdampak. Karena itu, dia berharap agar ada tinjauan kembali terkait RUU tersebut.
”Kita berharap RUU ini bisa memberi manfaat dan tidak menimbulkan dampak buruk bagi pelaku musik di Indonesia,” ungkap Glenn.
Sementara itu, menanggapi keluhan para musisi, Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo, mengatakan Rancangan Undang-undang Permusikan masih akan disempurnakan. Itu disampaikannya pasca berdialog dengan sejumlah musisi di kantor DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta Selatan, beberapa hari lalu.
“Baru bisa kami pahami setelah beberapa mereka (musisi) menyampaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi sehari-hari,” ujar pria yang kerap disapa Bamsoet tersebut seperti dikutip Viva.co.id
Nabs, walau RUU itu masih sebuah rancangan untuk disempurnakan lagi, para musisi sudah siap pasang badan guna menghadapinya lho. Bagaimana tidak, karya beberapa seniman adalah respon dari kondisi lingkungan.
Jika lingkungan sekitar tidak beres, mereka akan membuat sebuah karya tentang ketidakberesan atas lingkungan itu. Dan berusaha menyampaikan ke pendengar bahwa disitu ada sebuah keruwetan yang harusnya bisa teratasi.
Tentu itu akan menjadi masalah bagi sejumlah pelaku musik. Meski kesannya agak menakutkan, bisa juga diambil pelajaran lho Nabs, bahwa harus lebih cerdas dan tidak fulgar dalam membikin karya.
Yang paling inti dari itu semua adalah, tiap pembentukan RUU maupun UU, sudah seharusnya mendengar secara langsung masalah yang dihadapi para musisi. Para musisi harus diajak ngobrol.
Kenapa RUU terkesan menyeramkan? Karena, tentu saja, tidak mengajak hearing para musisi. Sebab, andai pemerintah tahu, para musisi tentu memiliki masalah yang sama dengan kecemasan pemerintah.
Contohnya, kehadiran musisi baru yang vulgar dan mencemaskan, sebenarnya masalah itu tidak hanya dihadapi pemerintah saja. Tapi juga jadi masalah musisi yang memang profesional dan memegang marwah berkesenian.
Jadi, intinya, kebijakan memang harus kontekstual. Dan harus diobrolkan dengan pelaku musik itu sendiri. Tidak ujug-ujug dibikin, dan tahu-tahu mengagetkan.
Seperti keyakinan Jurnaba, bahwa apapun di dunia ini pasti ada celah baiknya. Se-menakutkan dan se-menyeramkan apapun RUU, pasti ada kebaikan yang didapat. Tenang saja. Hehe
Terkait kondisi kehadiran RUU Permusikan itu di Bojonegoro, ada juga yang berkomentar optimistis.
Menurut Oky Dwi Cahyo, komposer musik asal Bojonegoro, adanya peraturan tersebut tidak membatasi para seniman, entah itu musisi atau yang lain. Sebab semua tinggal bagaimana mengemas karya.
Dengan keahlian dan keterampilan yang dimiliki, musisi bisa menyampaikan pesan secara tersirat. Meski, tidak mengurangi nilai musikalitasnya. Sebab yang jadi masalah adalah lirik.
“Penyampaian pesan lebih dicermati dan dikemas dengan perumpamaan yang baik. Meski, tentu saja itu sulit,” imbuhnya.
Paling inti, kata dia, adalah bagaimana menyampaikan karya tersebut. Tetap cadas namun lebih tidak fulgar. Sehingga, fokus pada pesan tersirat yang dikemas menggunakan makna-makna tersirat atau perumpamaan.