Huzun doesn’t just paralyze the inhabitants of Instanbul, it also gives them poetic license to be paralyzed.
Beberapa tahun lalu, saya suka sekali nongkrong di pinggir Jalan WR Supratman, sudut Jalan Ade Irma Suryani dan sering sekali tanpa tujuan apa-apa, melintasi Jalan Hayam Wuruk atau Rajawali saat mendekati senja hari.
Tak banyak yang saya lakukan. Saya hanya berupaya membuktikan bahwa setiap sudut kawasan menyimpan kemurungan. Sedang wujud bangunannya terdapat nyawa yang berkisah tentang kesedihan.
Hingga akhirnya saya menyadari setiap objek menyimpan nilai berupa masa, cerita dan kerap kali endap kenangan. Bangunan tua dan pepohonan yang rapat, misalnya, kerap menyimpan kemuraman yang eksotis.
Deretan rumah-rumah menyimpan kisah dan sejarah ketercipataannya. Dalam diam dan tanpa bersuara, rumah-rumah itu menyimpan melankolia yang dikisahkan melalui tiap lekuk temboknya.
Sejak mengenal Orhan Pamuk dalam Istanbul: Memories and the City, terdapat orientasi melankolis di kepala saya, terutama dalam memandang sebuah kota beserta deretan dingin dinding bangunan yang ada.
Dalam buku memoar itu, Pamuk merangkum berbagai fenomena sejarah dan kejadian aktual, sekaligus menebar kisah di tiap sudut Kota Istanbul secara ensiklopedik. Dan di tiap penjelasannya, Istanbul dimetaforkan sebagai mahluk yang berwajah murung, atau ia istilahkan sebagai Huzun.
Seperti yang tertera dalam kalimat awal tulisan ini, sesuai ungkapan Pamuk: Huzun tak hanya melumpuhkan warga Istanbul, tapi juga memberi izin puitis untuk dilumpuhkan.
Huzun adalah kata dalam bahasa Turki yang berakar dari bahasa Arab; menggambarkan kehilangan sekaligus harapan bercorak spiritual terhadap situasi yang lebih baik di masa depan.
Namun, dalam konteks Istanbul: Memories and the City, Huzun diartikan sebagai perasaan terputus dari kejayaan bangsa Turki semasa kesultanan Utsmani, sekaligus kecemasan terhadap sesuatu yang baru.
“Ia bukanlah kesedihan seorang manusia, tetapi mood hitam yang melingkupi jutaaan orang sekaligus,” kata Pamuk dalam memoar itu.
Penjabaran Pamuk tentang Kota Istanbul dan Selat Bosphorus beserta kemuraman kolektif warganya, kerap kali melempar ingatan saya pada kemuraman kolektif masyarakat Bojonegoro pada sungai Bengawan-nya.
Masyarakat Bojonegoro, saya kira punya kesedihan kolektif yang membentuk ingatan melankolik tentang banjir dan longsor di bantaran sungai Bengawan. Itu titik paling mudah untuk menggambarkan maksud Pamuk tentang Huzun.
Dan entah kenapa, secara personal, perasaan semacam itu bisa mudah sekali muncul di sejumlah tempat. Seperti Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Rajawali. Lokasi yang banyak terdapat bangunan kuno-nya. Meski, tentu saja, kemuraman yang muncul tak melulu perkara banjir.
Orhan Pamuk menjadi satu-satunya penulis Turki yang, sementara ini, karyanya pernah dan sering saya baca. Dan Pamuk lah yang memberi banyak gambaran pada saya tentang bagaimana denyut Istanbul bekerja.
Peraih Nobel sastra 2006 itu menunjukkan betapa sebuah kota mampu memberi banyak Ilham untuk menulis. Banyak karya Pamuk berlatar Istanbul. Istanbul, bagi Pamuk adalah mata air yang terus menerus memberi inspirasi.
Dari Pamuk saya tahu, bahwa seorang penulis memiliki hubungan emosional yang sangat kuat dengan kota kelahiran. Istanbul, tentu menjadi bagian hidup yang tak tergantikan bagi Pamuk.
Tak heran jika sebagian besar novel-novel Pamuk berlatar Istanbul, kota warisan kesultanan Utsmani yang tak henti-henti bergumul dengan identitas Barat dan Timur.
Orhan Pamuk, barangkali, menjadi penulis yang cukup berpengaruh bagi saya. Terutama dalam perkara karya yang berkaitan antara penulis dan sebuah kota.
Gara-gara Pamuk misalnya, saya menulis sebuah puisi tentang kota kelahiran saya, Bojonegoro. Meski, tentu saja, saya tak pernah berani membaca puisi berjudul Bojonegoro, Kota Kecil Kesayangan itu.
Untungnya, penulis dan jurnalis sekaligus peneliti muda, Chusnul Chotimmah berani dan mau membacakannya untuk dijadikan konten YouTube. Saya sangat bersyukur kala itu.
Saya sering menghubung-hubungkan Pamuk dengan Kota Bojonegoro. Terutama dalam dua karyanya; Istanbul: Memories and the City (2003) dan The Museum of Innocent (2008).
Jika pada buku memoar Istanbul: Memories and the City berkisah tentang kemuraman kolektif sebuah kota, di The Museum of Innocent (2008), Pamuk berkisah tentang museum cinta. Ruang yang mengabadikan kisah cinta.
Dalam The Museum of Innocence, berkisah tentang cinta dan berbagai macam varian penderitaannya. Melalui tokoh bernama Kemal, si tokoh membikin museum yang tak hanya menghimpun benda-benda bersejarah.
Tapi, museum itu justru menyimpan barang-barang pribadi atau benda apapun yang memiliki keterkaitan dengan gadis yang dicintai Kemal, yakni Fusun. Tentu benda-benda pribadi itu bisa dianggap bersejarah, setidaknya bagi Kemal.
Dan Pamuk, menjadikan museum yang awalnya hanya ada dalam karya imajinasinya tersebut, menjadi kenyataan. Pada 2012, Pamuk benar-benar membikin Museum of Innocence secara nyata. Ia mendirikan sebuah museum dengan nama The Museum of Innocence yang terletak di Çukurcuma, Beyoğlu, salah satu distrik di Istanbul, Turki.
Seakan ingin mengaburkan batas antara realitas dan fiksi, dalam museum itu, berisi benda-benda milik atau yang memiliki hubungan dengan Fusun — serupa museum yang dibangun tokoh bernama Kemal dalam novel The Museum of Innocence.
Dari banyak isi koleksi — yang semula fiksi lalu direalitaskan itu — terdapat koleksi yang sungguh mengagumkan. Yakni ribuan puntung rokok yang diletakkan dalam display kaca berukuran 9 meter persegi. Jumlah pasti puntung rokok itu 4.213 batang. Semua puntung rokok tersebut diyakini pernah tersentuh bibir Fusun.
Kemal yang begitu terobsesi dengan Fusun menyimpan semua hal tentang Fusun dalam Museum of Innocence. Dan Orhan Pamuk — pencipta tokoh Kemal dan Fusun dalam novel itu— membuat itu semua menjadi nyata. Menjadi benar-benar ada.
Bojonegoro hingga kini belum memiliki museum. Padahal, bangunan sunyi itu penting untuk mengingat peradaban masa lalu atau teramat penting bagi peradaban yang masih ingin diingat oleh orang lain di masa depan.
Bojonegoro, menjadi kota yang banyak dipenuhi peninggalan-peninggalan sejarah. Benda cagar budaya dari berbagai macam jenis — arkeologis, plantologis hingga geografis — ada di sini. Tapi, benda cagar budaya itu banyak yang hilang karena tidak ada museum di dalam kota.
Andai Orhan Pamuk bertandang ke Bojonegoro, akan saya ajak dia jalan-jalan ke sejumlah tempat di Kota Bojonegoro. Terutama melintasi jalanan WR Supratman, Ade Irma Suryani, Hayam Wuruk dan Jalan Rajawali.
Saya ingin menunjukkan pada Orhan Pamuk bahwa tak hanya Istanbul saja yang memiliki Huzun, tapi juga Kota Bojonegoro. Bedanya, hingga kini, Pemerintah Kota Bojonegoro belum mempunyai museum yang bisa disinggahi.