Aku terbangun lagi di tengah tidur malam ku, masih dengan mimpi yang sama, ku raba sekitar dan mengambil handphone, pukul 1.30 am. Aku terdiam cukup lama- tidak ada yang kupikirkan sama sekali hanya perasan kesal karena terbangun di jam jam seperti ini dan pasti akan butuh waktu lama untuk tidur kembali.
Aku mengamati sekitarku yang gelap hanya ada cahaya kecil menembus dari sela sela gorden kamar, gelap dan sunyi, lalu ku teringat puisi Chairil “mampus kau dikoyak koyak sepi”.
Aku tertawa, aku tidak akan mampus karena dikoyak sepi, Chairil. Kau salah, aku dan sepi telah berkawan sejak lama, dia tidak akan pernah mengkhianati. Gumamku. Aku beranjak dari kasur menyalakan lampu, dan mengambil sebuah notes beserta pulpen.
Datangi aku sesukamu, semaumu.
Tapi tolong jangan dini hari ini.
Ini Senin, dan itu sudah terlalu berat.
Jangan menambah bebanku, bahkan untuk sekedar hadir dalam mimpi yang berulang. Temui aku besok. Aku janji, aku tidak akan mendengus sebal seperti saat ini.
Aku mengambil hp berusaha mengalihkan segala kenangan yang sebenarnya terlalu indah disebut kenangan. Kembali kutuliskan deretan kata dalam notesku,
Bagaimana bisa ku melupa jika kenangan saja ku tak punya.
Kita hidup dalam dunia masing-masingーsaling me-reka cerita. Kau dengan dia dan aku masih saja bebal mengkhayal tentang kita.
Maka, bisakah kau sempatkan waktu? pulang menemui ku dan katakan padaku untuk menyudahi ini semua.
Aku tak ingin menjadi Don Quixote yang mengharapkan Dulcinea…
Tiba-tiba secara acak terputar lagu I miss you dari Blink 182 yang mengalun diotakku berulang-ulang
“Don’t waste your time on me you’re already the voice inside my head….I miss you…”
Lalu kembali Chairil mencibir ku, mampus kau dikoyak-koyak sepi.
** **
Aku masih tidak bisa melupa pada mimpi itu, mimpi yang tidak bisa aku ingat kembali secara penuh, hanya potongan-potongan seperti puzzle tapi tiap kali terbangun aku tahu bahwa mimpi itu adalah mimpi yang sama. Mimpi yang membuatku terbangun di malam malam sunyi hanya untuk merasakan sakitnya.
Kalau sudah begini, aku hanya bisa menyesali. Kalau saja aku tepat menakar rasa cintaku kala itu, pasti tidak begini jadinya. Tapi, bagaimana lagi- aku sudah terlanjur tesesat dalam di matamu. Bagiku dulu kamu adalah jauh yang tak bisa kutempuh namun juga dekat yang tak bisa ku ikat.
Sementara sekarang, dengan keluarga kecilmu, kamu menjelma menjadi apa yang Chairil tuliskan dalam puisi nya,
Aku kira beginilah nanti jadinya,
Kau kawin, beranak dan berbahagia,
Sedang aku mengembara serupa ahasveros…..
Aku berdehem mencoba kembali berfokus pada layar komputer di depanku, angka-angka yang tak terjangkau nominalnya; Senin, kamu, Sisiphus, Ahasveros, Chairil, rindu – membuatku teringat dengan yang dituliskan Aan Mansyur, kepalaku; kantor paling sibuk di dunia. Anehnya hanya seorang bekerja di sana, engkau saja.
Hah berisikkkk, aku maki diriku dan segera mencoba menyelesaikan pekerjaan yang dari tadi tertunda, sungguh aku adalah sisiphus yang malang.
** **
Sudah hampir sebulan sejak aku merutuki kehadiranmu dalam mimpiku dan semenjak itu pula kamu tidak pernah hadir lagi.
Aku lega tetapi juga merasakan kekosongan, seenggaknya hanya di dalam mimpi itu aku merasa begitu dekat denganmu, aku memang selalu merutuki hadirmu tetapi selalu aku timang-timang kembali dengan hati-hati seperti bayi mungil dalam gendongan, kini aku tahu, sepi telah lama pergi dan bahkan mengkhianati.
Sendiriku sepi,
Sepiku sunyi,
Sunyiku senyap,
Senyapku kosong,
Kosongku hampa
Hampaku-kau.
Benar rupanya, aku adalah orang paling kesepian di muka bumi ini. Aku telah mampus dikoyak koyak sepi. Lalu kamu, bagaimana dengan kamu? Apa tidak ada sedikit saja ingatanmu soal aku?
Kembali ku tuliskan dalam notes ku,
Apa bisa kau menangkap rindu(ku)
Kala hujan meluruh dan menyisa basah di tubuhmu
Apa kau sanggup menangkap rindu(ku)
Kala malam berlabuh dan enggan berlayar lagi.
Apa kau bisa sanggup menangkap rindu(ku)
Kala hujan di malam berkepanjangan yang tiada habisnya memeluk tubuhmu dan menyisa serpihan serat yang meluruh ditangkup rindu(ku)
Apa kau bisa?
Melupakan aku?
Bisa. Nyatanya kamu bisa. Hanya aku saja yang saat ini masih sibuk mempertanyakan tentang kita-tentang semua yang (menurutku) masih belum selesai diantara kita.
Tetapi apa pula yang mesti kita selesaikan, dari awal seharusnya aku tahu bahwa tidak semestinya aku mendekam dalam matamu.
** **
Sudah genap setahun tanpa kamu hadir dimimpiku. Aku sudah semakin terbiasa, potongan-potongan mimpi yang samar yang kali ini semakin susah aku ingat, membuatku semakin lega bahwa aku tidak cukup gila untuk terus memikirkan kemustahilan yang sering aku harapkan. Aku juga sudah berbaikan dengan sepi, kami putuskan untuk berkawan kembali, menyisakan Chairil di pojokan kamar yang memandangku dengan sebal.
Weekend ini, aku akan ke Surabaya, biasanya tiap kali ku pesan tiket kereta ke sana, aku selalu berharap dengan harapan yang sama; Rangga dan Cinta saja bisa bertemu Di Jogja padahal mereka terpisah antara jakarta dan New York, sementara kita masih di provinsi yang sama harusnya kita bisa dipertemukan, begitu harapanku dulu. Tapi tidak dengan sekarang, aku sudah cukup realistis bahwa kita memang tidak ditakdirkan bersama.
Sesampainya di setasiun Gubeng, segera ku pesan ojek online dan meminta drivernya untuk menunggu di bawah jembatan. Aku berjalan santai menikmati sore di Surabaya, sambil mengalunkan lagu silampukau- malam jatuh di Surabaya.
Perasaan bebas yang sedari lama tidak kudapatkan membuat ku melihat Surabaya dengan cara yang berbeda, Surabaya tidak lagi membuatku sesak, terasa lebih indah dan mempesona, orang-orang yang berkendara mencari jalan diantara celah-celah kepadatan, klakson-klakson yang tiada habisnya diperdengarkan pun sumpah serapah, semuannya menjadi satu.
Sambil menunggu driver ojek online datang, aku mengamati jalanan yang makin padat, dan teringat salah satu puisi Sapardi yang berjudul Rumput,
“Karena kau tak tahu mesti kemana sebab memang tak pernah ada yang memahami akhir”
Aku tersenyum, mengulang beberapa kali,
sebab memang tak pernah ada yang memahami akhir….