Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba
Home Destinasi

Padangan – Baureno: Batas Kota dan Peradaban Lama yang Istimewa

Ahmad Wahyu Rizkiawan by Ahmad Wahyu Rizkiawan
December 28, 2019
in Destinasi
Padangan – Baureno: Batas Kota dan Peradaban Lama yang Istimewa
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan Ke WA

Padangan dan Baureno punya kemiripan istimewa. Dua nama itu, bahkan disebut dalam sebuah laporan berjudul Further Topographical Notes on The Ferry Charter of 1358 (with appendices on Djipang and Bodjanegara) yang tersimpan rapi di KITLV Leiden.

Saya lahir di sebuah kawasan padat penduduk di sudut utara Padangan Raya, sebuah tempat yang mirip seperti labirin rumah tua. Selain rumah-rumah lama, tempat pertama saya lahir ke dunia, dipenuhi rumah-rumah burung walet dengan dinding dingin yang menjulang tinggi ke angkasa.

Orang-orang memberi nama tempat itu sebagai kawasan Omah Manuk. Sebab, banyak sekali bangunan berdinding tembok berbentuk kotak berukuran raksasa tanpa ruang tamu yang hanya dihuni burung-burung walet, alih-alih manusia beserta keluarganya.

Di kawasan itu pula, masa kecil saya dipenuhi permainan dari rumah burung satu ke rumah burung lainnya. Saya dan teman-teman sering mencari rumah burung yang tak berpenghuni untuk dijadikan markas tempat bermain. Mencoreti tembok dan berteriak lalu asyik mendengar gema yang keluar dari teriakan kami.

Baca Juga: Rumah Tua Padangan dan Kebangkitan Wisata Bangunan Lawas Bojonegoro

Padangan menjadi tempat yang sangat menyenangkan bagi masa kecil saya. Tiap Ibu berangkat ke pasar, misalnya, saya akan selalu ikut di belakangnya sambil berlarian melintasi celah sempit tembok-tembok bangunan rumah burung.

Di usia sekolah dasar, saya suka bersepeda mengelilingi rumah atau bangunan tua yang lokasinya agak jauh dari rumah saya. Di sana, ada banyak sekali bangunan tua yang menurut saya kala itu, lebih mirip rumah hantu daripada rumah manusia. Sebab konon, tempat-tempat itu, dulu adalah Rumah Sakit zaman Belanda.

Di sana, mudah ditemui musala geladak tua, rumah-rumah tua, gedung kosong tua, hingga pertokoan tua yang dipakai pedagang-pedagang Cina. Kelak, setelah saya remaja, banyak dari sejenis bangunan itu mengalami perubahan, bahkan berubah wujud akibat kian gencarnya pembangunan.

**  **

Saat bapak sudah sering mengajak saya berziarah ke makam Sunan Ampel Surabaya, Sunan Malik Ibrahim, atau Sunan Giri Gresik; hampir tiap kali kendaraan kami melintas di kawasan Baureno, bapak tak pernah lupa meminta saya melihat ke arah kaca jendela sambil berkata: tempat ini mirip sekali dengan Padangan.

Sejak saat itu, tiap kali saya melintasi kawasan Baureno, saya sering melempar pandangan ke arah kaca jendela. Dan benar, saya merasakan sesuatu yang mirip tapi samar, dengan apa yang saya rasakan saat berada di kediaman saya, Padangan.

Perasaan itu kian tebal saya rasakan, pasca membaca buku berjudul Istanbul: Memories and The City karya Orhan Pamuk. Sebuah buku yang membuat saya kian peka pada rasa sepi dan dinginnya dinding-dinding bangunan tua. Saat membaca buku itu, yang ada dipikiran saya justru Padangan atau Baureno, alih-alih Istanbul itu sendiri.

Istanbul, dalam buku tersebut, digambarkan secara ensiklopedik oleh Pamuk serupa kawasan Padangan. Bangunan-bangunan tua melankolis yang berjejer rapi di pinggir selat Bosphorus, tak ubahnya bangunan tua di pinggir sungai Bengawan Solo Padangan. Keduanya punya eksotisme kesuraman yang tak jauh berbeda.

Padangan dan Baureno dua kawasan yang membatasi Kota Bojonegoro dari arah barat dan timur. Di kedua tempat itu, ada sesuatu yang mirip antara satu dan lainnya. Selain masih banyak bangunan dan gedung-gedung tua, dua kawasan itu pernah didiami wali penyebar agama Islam, yang dipertebal dengan adanya kawasan Kauman.

Baca Juga: Orhan Pamuk, Huzun dan Kota Bojonegoro yang Melankolis

Padangan dan Baureno juga bersebelahan dengan kota yang unik. Kota istimewa yang tidak biasa. Maksudnya, kota yang jauh lebih ramai dibanding pusat kotanya: Cepu dan Babat— sebuah kota yang layak berdiri sendiri. Jika Padangan bersebelahan dengan Cepu, Baureno bersebelahan dengan Babat.

Kita tahu, Cepu jauh lebih ramai dibanding pusat kotanya, Blora. Sedang Babat, secara pergerakan ekonomi, jauh lebih ramai dibanding pusat kotanya, Lamongan. Dua hal itu sempat membuat saya penasaran, jangan-jangan, Padangan dan Baureno memang kota ramai sejak dahulu.

Rasa penasaran itu terjawab setelah seorang kawan, mengirimi saya sebuah laporan berformat pdf tentang sejarah peradaban lama Kota Bojonegoro yang dia dapat dari perpustakaan KITLV Leiden.

Dalam laporan itu, Padangan dan Baureno punya kemiripan istimewa. Dua nama itu, bahkan disebut secara jelas dalam laporan berjudul Further Topographical Notes on The Ferry Charter of 1358 (with appendices on Djipang and Bodjanegara) yang tersimpan rapi di KITLV Leiden tersebut.

On the basis of this treaty, Grobogan and Jipang were transferred to the British in late 1812. The British Government made these regions into separate residencies in January 1813, and united them into one residency on January 1814, the resident then residing in Padangan. This residency of Grobogan and Jipang was abolished in August 1815, Jipang being joined to the Rembang Residency in January 1816. The administrative capital of Jipang then was Bawerno (Hal: 473).

Ya, di tulisan itu ada Padangan dan Baureno yang saya singgung sejak awal. Dan dari paragraf pendek itu, membuktikan sekaligus menyimpulkan secara jelas bahwa Padangan dan Baureno menjadi kawasan ramai sejak sebelum abad ke-19. Sebab, Padangan dan Baureno sudah eksis menjadi bagian dari Kadipaten Jipang, cikal bakal Kota Bojonegoro.

Tak ayal jika Padangan pernah menjadi pusat perdagangan sekaligus pusat persebaran agama Islam. Bahkan, Islamisasi Bojonegoro diyakini bermula dari Padangan. Sebuah tempat yang pernah didiami sejumlah wali penyebar agama islam seperti Mbah Hasyim dan Mbah Sabil (Menak Anggrung), Mbah Matsuni (Ponpes Abu Syukur), hingga pengarang kitab shorof Mbah Hasyim Jala’an.

Nabs, Padangan dan Baureno tak hanya menjadi kawasan pembatas Kota Bojonegoro belaka. Tapi punya keistimewaan yang tidak biasa. Yakni sebuah peradaban masa lalu yang sekaligus menunjukkan bahwa Kota Bojonegoro, dibangun dan bergerak melalui pinggir.

Tags: BaurenoBojonegoroPadangan

BERITA MENARIK LAINNYA

Ngluyur Bareng Jurnabis: Dicky Eko dan Nisan Konstitusi
Destinasi

Ngluyur Bareng Jurnabis: Dicky Eko dan Nisan Konstitusi

February 6, 2021
Benarkah Kampanye Tray Return Point Berdampak bagi Komunitas Muslim Singapura?
Destinasi

Benarkah Kampanye Tray Return Point Berdampak bagi Komunitas Muslim Singapura?

January 29, 2021
Pengalaman Mengenakan Selama Tinggal di Bojonegoro
Cecurhatan

Pengalaman Mengenakan Selama Tinggal di Bojonegoro

December 31, 2020

REKOMENDASI

Sarapan penuh Kehangatan 

Sarapan penuh Kehangatan 

February 28, 2021
Menghelat Diskusi Santai Perihal Perempuan

Menghelat Diskusi Santai Perihal Perempuan

February 27, 2021
Datangnya Kilang Minyak dan Fatamorgana Masa Depan

Datangnya Kilang Minyak dan Fatamorgana Masa Depan

February 26, 2021
Saatnya Membantah Teori Sejarah The Great Man Theory

Saatnya Membantah Teori Sejarah The Great Man Theory

February 25, 2021
Maklumat Kelas Literasi Jurnaba

Maklumat Kelas Literasi Jurnaba

February 24, 2021
Propaganda Bahagia ala Sekolah Guratjaga

Propaganda Bahagia ala Sekolah Guratjaga

February 23, 2021

Tentang Jurnaba - Kontak - Squad - Aturan Privasi - Kirim Konten
© Jurnaba.co All Rights Reserved

No Result
View All Result
  • HOME
  • PERISTIWA
  • KULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • ALTERTAINMENT
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • TENTANG
  • KONTAK

© Jurnaba.co All Rights Reserved