Semoga Tuhan salah memilih pejabat pemerintah, pak. Mereka tidak benar-benar bermanfaat bagi orang kecil. Kita tak pernah diperhatikan.
Seorang lelaki umur 53 tahun berdiri di tengah petak sawah. Sibuk menali padi yang roboh diterpa hujan angin kemarin sore. Tangannya yang hitam legam mengkilat diterpa sinar mentari pagi.
Peluh keringat membanjiri badan dan membasahi pakaiannya. Pakaian kusut yang sudah tiga hari tak dicuci.
“Pak, sarapan!”
Lelaki itu menengok ke arah suara. Terlihat anak perempuan di ujung pematang sawah membawa renteng makanan.
“Iyo, Nak” sahut lelaki sembari tersenyum. Anak perempuannya telah tiba membawa sarapan.
Anak perempuan itu berjalan ke arah rumah-rumahan kecil di pojok petak sawah. Rumah itu mirip pos kecil yang dibangun dari bambu dan beratap anyaman padi. Ia duduk dan menunggu bapaknya.
Selepas menali tiga ikatan hingga sisi samping kiri sawah, lelaki itu menghampiri anaknya.
“Kamu nggak sekolah, Nak?” tanyanya setiba di rumah kecil itu.
“Mboten, Pak. Sekarang sekolahnya dari rumah.” Jawab anak perempuan yang berbaju biru. Ia terlihat anggun mengenakan baju biru dengan kerudung yang sewarna dan rok hitam. Pakaian itu dibelikan bapaknya setahun yang lalu saat hasil panen padi lebih dari biasanya.
“Lho dari rumah? Maksutnya gimana, Nak?” Dahinya mengernyit. Lantas tangannya sibuk mengambil nasi dan lauk dalam rantang.
“Inggih, Pak. Karena virus corona. Sekolah ikut himbauan pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Makanya kegiatan belajar dialihkan dari sekolah ke rumah-rumah”
Tangan anak perempuan itu membuka kresek, dua buah krupuk diberikan kepada bapaknya.
“Belajarnya diganti di rumah. Guru tetap memantau siswa, termasuk Ais, Pak,” lanjut anak perempuan yang bernama Aisyah itu.
Sang bapak memasukkan sesendok nasi ke mulutnya.
“Oalah iya iya. Ais pernah bilang ke Bapak soal virus itu. Berarti gak libur ya, Nak?” Mulutnya yang penuh makanan itu masih sempat bertanya.
“Bapak selesaikan sarapannya dulu. Gak baik makan sambil berbicara, Pak,” Ucap Aisyah.
Ia menatap kosong hamparan kuning di depannya. Sedang bapaknya menikmati sarapan yang dibuat anak perempuan satu-satunya.
Lelaki tua itu seorang duda beranak dua. Istrinya meninggal lima tahun lalu bersama anak lelakinya yang berusia 21 tahun karena kecelakaan. Motor yang ditumpangi mereka berdua dihantam truk tronton dari belakang.
Kini ia hidup berdua bersama Aisyah. Anak perempuan yang sebentar lagi akan naik kelas 3 SMA.
“Kenapa melamun, Nak?” Pertanyaan Bapaknya menghamburkan lamunan Aisyah. Dengan terburu-buru ia mengelak.
“Ais tidak melamun, Pak. Ais hanya berpikir bagaimana kita tidak lagi miskin. Ais ingin kerja seperti kakak untuk bantu perekonomian keluarga, Pak,”
“Ais..”
Lelaki itu telah selesai sarapan. Disusunnya rantang makanan itu seperti semula.
“Ais tidak perlu kerja,” lanjutnya. “Bapak hanya meminta Ais untuk belajar yang giat dan rajin selama sekolah agar setelah lulus SMA, Ais bisa melanjutkan kuliah di kampus yang Ais suka dan meraih beasiswa. Sepetak sawah ini biar bapak yang urus. Bapak masih bisa menanggung biaya pendidikan Ais” Jawab lelaki itu.
Air mata Aisyah menetes. Ia tak kuasa menahannya. Dibiarkannya air itu membasahi pipi lantas segera ia usap dengan ujung kerudungnya.
“Ais tidak bisa begini terus, Pak. Ais belajar di sekolah tak pernah bisa tenang. Ais mikirin Bapak yang tiap hari harus berpanas-panasan di sawah. Sedangkan sepetak sawah ini tak pernah bisa mencukupi kebutuhan kita,” Matanya memerah. Kesedihan menghapus keceriaannya melihat sawah yang menguning.
“Tiga hari lagi kita akan panen, Nak. Kita patut bersyukur padi di sawah kita menguning. Walau hasilnya Bapak taksir tidak sebanyak tahun lalu, tapi ini cukup untuk kebutuhan kita sehari-hari. Apalagi kata Ais kemarin, pemerintah akan melarang orang berkumpul atau bekerja di luar rumah karena virus corona. Setidaknya selama virus belum berakhir, kita masih bisa makan dari hasil panen ini, Nak.” Terang lelaki yang kini duduk persis di depan anaknya.
Lelaki itu benar. Padi-padi yang diikatnya itu bertanda bahwa hasil panen tidak akan sama dengan tahun lalu. Penurunan kualitas padi petani menjadi persoalan serius. Ditambah lagi pemerintah yang gencar impor beras dari luar. Padahal jika melihat fakta, negara ini tidak akan pernah kekurangan beras untuk makan. Karena tani menjadi pekerjaan yang banyak digeluti oleh rakyat.
Namun pemerintah tak melihat karunia itu. Mereka sibuk dengan bisnis impor beras yang sangat menguntungkan kantong mereka. Bahkan negeri yang disebut sumber lumbung pangan dari padi ini tak pernah dihargai dengan pantas. Padi dibeli dari petani dengan murah lantas menjualnya kembali kepada rakyat dengan harga dua kali lipat.
Sungguh miris. Tapi inilah faktanya.
“Kenapa Tuhan tidak adil, Pak? Kenapa kita terus-terusan miskin? Sedangkan mereka yang duduk di pemerintahan semakin hari semakin kaya? Kita yang di bawah patuh membayar pajak, tapi mengapa mereka yang menikmatinya? Kita ditindas dengan dipaksa bekerja setiap hari untuk memenuhi hidup dan mereka yang hanya duduk-duduk di balik meja bisa kaya? Tuhan tidak..”
“Cukup, Ais.” Bapaknya memotong.
Aisyah tak bisa menahan emosi. Ia sudah lama ingin mengatakan ini tapi tak pernah tega karena takut menyakiti perasaan Bapaknya. Namun pagi ini Aisyah tak kuat. Dilampiaskan beban pikirannya. Pikiran yang memberatkan hari-harinya.
“Bapak tahu apa yang ada di pikiran Ais, apa yang Ais rasakan. Kita tidak berhak menyalahkan Tuhan atas kondisi yang menimpa kita. Kita harus yakin, Nak. Apapun yang menjadi takdir kita tidak akan pernah melewati kita dan apapun yang melewati kita tentu itu takdir yang telah ditetapkan Tuhan kepada kita,”
Sang Bapak duduk di samping Ais dan merangkul anaknya. Ia melanjutkan,
“Tugas manusia adalah untuk terus menghamba. Banyak cara untuk menjadi hamba, bersyukur dan terus berikhtiar, misalnya. Pastinya sikap pasrah dan tawakkal menjadi bumbu yang wajib kita gunakan sembari terus berdoa untuk kebaikan.”
“Tuhan salah memilih pejabat pemerintah, pak. Mereka tidak benar-benar bermanfaat bagi orang kecil. Kita tak pernah diperhatikan. Bahkan BLT yang dijanjikan tak pernah sampai pada rakyat miskin. Virus telah menyebar dan menghentikan banyak pekerjaan. Seharusnya kita juga dapat bantuan, Pak!” protes Ais pada bapaknya.
“Sudah, Ais. Sawah ini nanti akan jadi saksi betapa keras perjuangan hidup keluarga kita. Padi-padi juga akan membantu kelangsungan hidup kita. Himbauan pemerintah untuk bekerja dan beribadah dari rumah tidak sepenuhnya salah, Nak. Bagi mereka yang punya pekerjaan dan bisa dikerjakan di rumah alangkah senangnya. Sedangkan Bapak harus bekerja di sawah yang resikonya tentu tidak tahu. Begitu pun Ais yang mengantar sarapan ini,” ucapnya sambil memegang rantang makanan.
“Oleh karena itu, kita tetap hati-hati saat beraktivitas dan tidak pantas kita menyalahkan Tuhan atas takdir ini. Mereka yang jadi pejabat pemerintah sejatinya juga sedang diuji sebagai hamba, Nak. Mereka diberikan amanah yang sungguh berat. Amanah itu bukan main-main. Amanah itu untuk mensejahterakan rakyatnya,” lanjutnya.
Sekali lagi bapaknya benar. Jabatan itu adalah ujian sekaligus amanah bagi yang memegangnya. Tuhan pun telah mengikatkan janji pada manusia.
Barangsiapa yang berbuat salah, ingkar, jelek dan dosa maka neraka adalah balasannya. Sedangkan mereka yang baik, maka imbalannya adalah surga.
“Bapak sudah selesai sarapan. Ais bisa pulang dan lanjut belajar. Jangan berburuk sangka kepada orang lain nak, apalagi kepada Tuhan. Ingat, sekali lagi pemerintah bukan Tuhan. Pemerintah adalah kumpulan manusia yang punya ikatan, motif dan kepentingan. Bapak mau lanjut ngikat padi ya, Nak. Usap air matamu dan hati-hati pulangnya.” Elus tangannya mendarat lembut di kepala Ais. Lantas beranjak kembali meneruskan ikatan tali padi.
Aisyah meraih rantang. Dilihatnya punggung lelaki tua yang telah membesarkannya. Ia tersenyum dan segera pergi meninggalkan rumah sawah.
Sepanjang pematang ia tersenyum. Ucapan bapaknya selalu benar tentang nilai hidup.
Bahwa sesungguhnya hidup adalah tentang bersyukur dan berikhtiar. Hidup bukan untuk menyalahkan Tuhan. Melainkan menerima ketetapan atas takdirnya. Begitu pula pemerintah, ia tidak layak menyalahkan karena pemimpin pemerintah merupakan cerminan rakyatnya.
Selepas percakapan pagi itu Ais mantap untuk menjadi orang yang bermanfaat. Jika jalannya menjadi bagian dari wakil rakyat di pemerintahan., ia tidak akan menyalahgunakan jabatan. Setidaknya ia dapat mengentaskan satu permasalahan, kemiskinan.
Bagi Ais, mengentaskan kemiskinan tak lagi dilihat dari empati. Mungkin lebih tepat untuk menjawab itu adalah membuat sistem yang teruji. Rakyat tidak lagi butuh himbauan deretan pidato atau janji-janji manis, tetapi bukti bahwa pemerintah mempunyai alat pelindung untuk kaum miskin.
Alat pelindung itu dulu bernama subsidi. Subsidi sektor pendidikan yang telah memberangkatkan sekian juta anak untuk bersekolah. Subsidi pupuk yang membuat pekerjaan sebagai petani masih bisa menjanjikan. Subsidi kesehatan yang membikin rumah sakit dapat menjawab kebutuhan-kebutuhan orang miskin.
Pikirnya, BLT adalah bagian dari subsidi. Tapi bedanya disaat seperti virus yang melemahkan banyak aktivitas, BLT malah diterima orang-orang kaya. Ia sampai pada satu kesimpulan, BLT salah sasaran.
Aisyah sampai di samping jalan. Diletakkannya rantang makanan di keranjang sepeda. Dinaikinya sepeda tua lantas mengayuhnya menuju rumah.
Ruang Tamu, 25 April 2020