Padangan dikenal kawah yang mengandung Idu Geni sekaligus Sabdo Dadi. Tempat konsolidasi dan kontemplasi Para Begawan Jawa; dari Pangeran Diponegoro, Bung Karno, Sultan HB IX, hingga Gus Dur.
Istilah Poros Padangan muncul tatkala KH Wahab Hasbullah ingin menancapkan cabang Nahdlatul Ulama (NU) di Padangan pada 1928 M. Menurut Mbah Wahab, Padangan tak hanya tempat konsolidasi dan kontemplasi, tapi poros yang punya koneksi ke berbagai dimensi tarekat. Ditanamnya NU di Padangan, diharap menyuburkan kader organik.
Namun, 400 tahun sebelum Mbah Wahab Hasbullah berkata demikian, Padangan sudah dikenal sebagai kawah Sabda Dadi dan Idu Geni. Ia dikenal kawah Sabda Dadi karena jadi tempat konsolidasi Para Begawan. Namun juga kawah Idu Geni, karena terdapat Kedhung Kramat, tanah penghakiman bagi para aristokrat.
Para Masyayikh Padangan memiliki peran dalam menjaga keseimbangan dinamika politik nasional di berbagai zaman. Siyasah Alfadangiyah ( سياسة الفداغية ), menjadi seni berpolitik Masyayikh Padangan, dalam rangka menjaga keseimbangan itu. Konsep ini sudah dikenal sejak zaman Pangeran Diponegoro.
Bahwa ulama selalu hadir dalam bermacam lini kehidupan. Baik dalam konsep suwuk maupun dialektika keilmuan. Termasuk dalam dimensi politik. Namun, kehadiran ulama dalam dimensi politik bukan sebagai partisan, tapi sebagai penasehat kebijakan dan penjaga keseimbangan.
Periode 1600
Pada periode 1600 M, Padangan menjadi tempat konsolidasi Mbah Sabil Padangan, Mbah Sambu Lasem, dan Mbah Jabbar Nglirip dalam menghadapi dinamika politik transisi Kesultanan Pajang ke Mataram Islam. Padangan dinilai memiliki energi dan ioni kuat karena jadi tempat bersemayam Syekh Jumadil Kubro, yang merupakan leluhur jalur lelaki dari pendiri Kesultanan Pajang (Sultan Hadiwijaya).
Periode 1700
Pada 1746 M, Padangan menjadi poros konsolidasi antara Pangeran Mangkubumi, Pangeran Mangkunegara (RM. Said), dan Kiai Tjarangsoko Malangnegoro, dalam menghadapi dinamika VOC Mataram. Ini terjadi sebelum Perjanjian Giyanti (1755), saat Mangkubumi dan Mangkunegara masih bersatu dalam rangka membreidel VOC rezim Pakubuwana II. Dari konsolidasi ini, Kiai Tjarangsoko Malangnegoro ditetapkan sebagai pemimpin Padangan masa pemerintahan (1746-1752).
Periode 1800
Pada (1825-1830), Padangan masyhur sebagai poros konsolidasi antara Pangeran Sosrodilogo dan Pangeran Diponegoro. Ini alasan utama Pangeran Diponegoro menikahi putri Bupati Jipang Panolan, yang kelak menjadikannya sebagai saudara ipar dari Pangeran Sosrodilogo.
Dalam Perjuangan Diponegoro, keterlibatan Masyayikh Padangan cukup besar dalam memberi dukungan di berbagai bidang. Para Masyayikh Padangan punya peran besar dalam Siyasah (gerakan politik) untuk membela dan melindungi Diponegoro dalam melawan penjajahan Belanda.
Manuskrip Padangan mencatat nama Pangeran Diponegoro dan Sosrodilogo sebagai bagian dari kaum pejuang Sabil. Keduanya punya hubungan baik dengan Syekh Abdurrohman Klotok dan Syekh Syihabuddin Betet. Mayoritas pengikut Sosrodilogo dan Diponegoro, mengalami tarbiyah dan penggodhokan di Pesantren Betet dan Pesantren Klotok.
Bukan kebetulan jika kelak Padangan dikenal sebagai basis Pasukan Diponegoro, sekaligus markas utama Divisi Malangnegoro, yang merupakan pasukan khusus Pangeran Diponegoro. Bahkan nama Divisi Malangnegoro pun, diambil dari figur bernama Kiai Tjarangsoko Malangnegoro, yang merupakan Pemimpin Padangan era (1746-1752 M).
Pasca Era Diponegoro
Pada era keulamaan Syekh Ahmad Munada Rowobayan (1827 – 1915), kawasan Padangan kembali dikenal sebagai tanah kontemplasi bagi para politisi. Sejumlah Bupati Bojonegoro seperti Tumenggung Tirtonoto I dan Tumenggung Tirtonoto II tercatat memiliki hubungan baik dengan Syekh Ahmad Rowobayan.
Pada era Syekh Ahmad Rowobayan, jaringan tarekat Padangan sangat luas. Dari Blora, Ngawi, Lamongan, Tuban, hingga Gresik. Pada paruh kedua abad 19 M, Padangan masyhur lautan Para Pesuluk, kawasan dipenuhi para Pesuluk Tarekat. Ada banyak jenis dan nama aliran tarekat berada di Padangan.
Pada periode yang sama, guru dari Bung Karno sekaligus Pendiri Perguruan Ilmu Sejati, Raden Soedjono (1875-1961), juga nyantri di Pesantren Betet pada 1895 M, di era pengasuh kedua, yaitu Syekh Syamsuddin Betet Alfadangi. Raden Soedjono merupakan santri kinasih dari Syekh Syamsuddin Betet.
Sanad keilmuan Raden Soedjono pada Syekh Syamsuddin Betet, dicatat secara jelas Clifford Geertz dan Kamil Kartapradja di buku mereka. Dalam The Religion of Java (1960), Geertz menyebut Raden Soedjono punya peran besar dalam memperluas sanad Sufisme Padangan ke Pulau Jawa. Termasuk memperkenalkan Bung Karno pada Poros Padangan.
Bung Karno merupakan santri kinasih Raden Soedjono. Sementara Raden Soedjono adalah santri kinasih Syekh Syamsuddin Betet. Dalam konteks sanad keilmuan, Bung Karno bersanad lurus ke Padangan, melalui Raden Soedjono. Ini alasan Bung Karno kelak menyempatkan diri untuk berkontemplasi ke Padangan.
Bung Karno dan Dorodjatun HB IX
Masyhur, Bung Karno dan Raden Dorodjatun (Sultan Hamengkubuwana IX) berkontemplasi ke puncak Gunung Jali Padangan, pada masa pendudukan Jepang (1942 M). Dari kontemplasi di puncak Gunung Jali itulah, kelak bertahun kemudian, Bung Karno dan Sultan HB IX mendapat inspirasi kebijaksanaan.
Tepat di bawah Gunung Jali Padangan, terdapat kanal irigasi yang dikenal Bengawan Sore Jipang. Inilah kanal irigasi buatan Raja Airlangga pada abad 11 M. Kontemplasi di Gunung Jali, menginspirasi Sultan HB IX dalam membangun kanal irigasi di Jogjakarta pada 1944 M, yang kelak dikenal Selokan Mataram.
Gunung Jali Padangan identik bukit dipenuhi tanaman jagung, yang juga dikenal dengan nama Tebon. Kontemplasi di puncak Gunung Jali, menginspirasi Bung Karno menerbitkan uang kertas bergambar jagung, yang secara semiotika bermakna kemakmuran dan kesejahteraan berbasis kerakyatan.
Jagung sebagai simbol kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, kelak sangat melekat dengan keberadaan simbol-simbol kemakmuran ala Bung Karno. Terutama berhubungan dengan lembar mata uang. Lembaran mata uang bergambar foto Bung Karno, di belakangnya kerap terdapat gambar jagung.
Gus Dur
KH Abdurrohman Wahid (Gus Dur) meyebut Jipang atau Padangan sebagai tanah toleransi. Di tempat itu, menurut Gus Dur, Syekh Jumadil Kubro menanamkan sebuah tauladan penting tentang hubungan sosial yang penuh toleransi. Gus Dur sering bertabaruk ke sana, dan pernah menuliskan pengalamannya itu.
Siyasah Alfadangiyah
Dari data di atas, memunculkan fakta bahwa Padangan dikenal sebagai kawah yang mengandung Idu Geni sekaligus Sabdo Dadi. Tempat konsolidasi dan kontemplasi Para Begawan Jawa; dari Pangeran Diponegoro, Bung Karno, Sultan HB IX, hingga Gus Dur.
Data di atas juga menunjukan peran penting para masyayikh Padangan di tiap zaman. Bahwa ulama harus hadir dalam bermacam lini kehidupan. Termasuk dimensi politik. Namun, kehadiran ulama dalam dimensi politik, adalah penasehat kebijakan. Bukan bagian dari politik itu sendiri. Siyasah Alfadangiyah ( سياسة الفداغية ) merupakan seni berpolitik para masyayikh Padangan, dalam rangka menjaga keseimbangan antara dimensi ulama dan umara untuk mengawal harmoni kehidupan sosial.