Pada hari ini, 21 Maret diperingati sebagai Hari Puisi Dunia. Ini ditetapkan UNESCO pada 1999 di Paris, Perancis. Puisi dianggap berperan penting dalam perkembangan sejarah dunia. Terlebih, pada bidang sastra dan literasi.
Puisi itu luas, Nabsky. Bukan saja soal seni merangkai kata. Puisi seperti samudra yang memuat segala apa yang ada di dalamnya. Puisi penuh dengan pemaknaan-pemaknaan yang berasal dari si peulisnya. Bahkan, akan muncul makna baru di dalam kepala pembacanya.
Indonesia memiliki seniman puisi yang karnyanya sangat meledak. Bahkan berlaku sepanjang masa. Sebut saja Chairil Anwar, W.S. Rendra dan Sapardi Djoko Damono. Karya mereka begitu abadi dan bertebaran di mana-mana.
“Mampus kau dikoyak-koyak sepi”
Puisi karya mereka tidak hanya dibaca di berbagai event. Tembok-tembok di beberapa kota pun tak terlewatkan. Sepenggal kalimat puisi berjudul Sia-sia karya Chairil Awar abadi tercatat di sana. Mengingatkan betapa sepi mengekang hati.
Menurut Sapardi Djoko Damono, puisi itu bunyi. Puisi merupakan permainan bunyi tentang ini dan itu. Sehingga kita yang mendengar mampu merasakan indah. Persoalan makna, tentu tergantung kita semua yang mendengar.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Sepenggal bait puisi berjudul Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana karya Sapardi begitu meledak. Rasanya, puisi itu adalah gambaran dari puncak romantisme yang terbahasakan.
Bahkan, puisi ini kerap ditorehkan pada kertas undangan pernikahan.
Puisi bukan hanya soal cinta dan kegalauan. Puisi merupakan media spiritualitas. Ia berisikan kegelisahan yang muncul secara sadar.
Spiritualitas tentu saja berbeda dengan religiusitas. Religiusitas erat kaitannya dengan agama dan kepercayaan. Sedangkan spiritualitas adalah kesadaran atas keadaan.
Misalnya puisi karya Wiji Tukul. Banyak tema bernuansa perlawanan dalam puisi karyanya. Itu berasal dari pengalaman spiritual penulisnya.
Membaca puisi karya Wiji Tukul mampu membuat dada pembaca terbakar. Terbakar dengan keresahan yang ada dalam pikirannya.
Melalui puisi, kita bisa menuangkan segala pikiran yang memberatkan kepala. Melimpahkan perasaan yang menyesakkan dada. Puisi adalah cara hati berteriak, tapi tanpa suara yang mengusik terlinga.
Puisi juga identik dengan kemurungan. Kita bisa memaknainya sebagai kemurungan yang elegan. Atau kemurungan yang menye-menye sekalipun. Se-bahagia-bahagianya puisi, saat dibaca, ia akan berwujud kemuraman.
Tengok saja puisi-puisi Emily Dickinson atau puisi Charles Bukowsky. Yang memang identik dengan kemuraman. Tapi, kemuraman itu tidak berhenti. Seperti air, ia bergerak mencari sudut-sudut selah hidup.
Puisi adalah gambaran hidup. Bahwa dalam hidup, pasti ada sisi-sisi yang muram. Yang tatkala diingat, ia mampu membikin tubuh bergetar lalu mencairkan air mata.
Nabs, terlepas dari itu semua, puisi adalah satu padatan yang sangat akrab dengan pribadi manusia. Setiap orang pernah berpuisi. Dengan berbagai cara. Bahkan ngorok pun proses berpuisi.
Lalu, hati siapa yang masih belum pernah berpuisi?