Fenomena bencana dan dinamika gerak zaman dalam sebuah catatan.
Hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan (ekologi), menjadi kajian menarik selama beberapa tahun terakhir. Namun, wajib diketahui, sejak 2 abad silam, isu ekologi sudah dicatat Syekh Abdurrohman Alfadangi sebagai bagian dari pembacaan gerak zaman.
Muasis Pesantren Klotok Padangan, Sidi Abdurrohman bin Syahiddin bin Sidi Murayun Alfadangi alias Syekh Abdurrohman Alfadangi atau Mbah Abdurrohman Klotok (w. 1877 M), menulis banyak literatur dari abad 19 M. Selain puluhan kitab fan keilmuan, beliau juga mencatat hikmah fenomena alam yang terjadi di masa ketika beliau masih hidup.
Tulisan-tulisan tentang fan keilmuan, beliau tulis dengan jenis khot dan gaya tulis yang amat bagus dan jelas. Sementara catatan tentang peristiwa dan kisah perjalanan, beliau catat dengan gaya tulis seadanya dan agak rumit dibaca. Sehingga harus dibaca dengan berulang-ulang.
Sidi Abdurrohman Klotok termasuk ulama yang cukup intens memerhatikan dan mencatat gerak-gerik alam. Beliau sering menulis ibarat menggunakan unsur alam. Dalam kitab Hikayat Fadhilatus Shiyam (kitab fikih) yang ditulis Sidi Abdurrohman pada (1254H/1838 M), terdapat sebuah kalimat berbunyi:
رجب مثل الرياح وشعبان كالسحاب والرمضان كالمطر
Artinya: Rajab semisal angin, Syaban serupa awan, dan Ramadhan seperti hujan.
Rajab angin, syaban awan, dan ramadhan hujan, merupakan frasa metaforis yang penuh dengan semiotika. Terkait pengibaratan kualitas pahala (fiqih) dengan alam. Namun, dalam konteks yang lebih luas, ini menunjukan betapa beliau memiliki kedekatan pada unsur alam. Dalam kitab fikih pun, beliau menulis ibarat menggunakan alam.
Angin, awan, dan hujan memang sebuah entitas pengibaratan yang sangat jarang bagi kaidah fikih. Namun, dalam konteks yang lebih jauh, angin, awan, dan hujan juga sangat identik dengan berbagai macam semiotika ekologis. Tentang peran alam bagi kehidupan manusia. Dalam catatannya, Sidi Abdurrohman Klotok ingin menunjukan betapa alam sangat dekat dengan kehidupan manusia.
Dalam risalahnya, Sidi Abdurrohman pernah mencatat peristiwa bencana yang terjadi di hulu dan hilir Sungai Bengawan. Sepintas, risalah itu lebih mirip catatan jurnalistik. Namun jika dibaca secara mendalam, catatan-catatan itu justru merepresentasikan pesan-pesan di dalam Al Qur’an. Baik surat Al Baqoroh (155) ataupun surat Ar-Rum (41).
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. — Al Baqoroh ayat 155
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”-— Ar-Rum ayat 41.
Secara runtut dan jelas, Sidi Abdurrohman mencatat sejumlah kejadian bencana dan fenomena alam yang pernah terjadi di wilayah Pulau Jawa. Khususnya wilayah yang berhubungan dengan lintasan Sungai Bengawan. Di antara kejadian-kejadian yang ia catat seperti Banjir Endut, Gunung Jungkur, hingga Udan Awu.
Sanah Jim Hijratun Nabi sewu rongatus pitung puluh pitu, sasi rowah, negara Sukarejo (Sukoarjo) akehe patang distrik karo negara Banyuamas (Banyumas) den kelem banyu ndut teko gunung jungkur, akehe wong mati limang ewu, distrik Kutorejo banjur kelem banyu ndut. Artinya: Tahun Jim 1277 (1860 M), Sukaharjo sebanyak empat distrik dan Banyumas tenggelam lahar dari gempa gunung, orang meninggal sebanyak lima ribu, wilayah Kutorejo tenggelam lahar dingin.
Sanah Za Hijrotun Nabi sewu rongatus pitung puluh wolu ...
Sanah Dal Hijrotun Nabi sewu rongatus pitung puluh songo…
Sanah Ba Hijrotun Nabi Sewu rongatus wolong puluh bener, sasi rejeb tanggal telulikur dinten isnen, jam wolu hingga sonten (Padangan) ana udan awu. Artinya: Tahun Ba 1280 (1863 M), bulan rajab 23, senin, jam 8 (pagi) hingga sore, ada hujan debu di Padangan.
Sanah Wau Hijrotun Nabi Sewu rongatus wolong puluh siji sasi besar tanggal slawe sonten ana lindu. Distrik Padangan sasi jumadil awal wong loro weteng wong mati ewon. Artinya: Tahun Wau 1281 (1861M), tanggal 25 bulan Besar ada gempa bumi di Padangan. Tahun yang sama pada bulan Jumadil Awal, banyak orang sakit perut yang wafat ribuan.
Sanah jim akhir hijrotun nabi sewu rongatus wolong puluh loro, sasi suro distrik (Padangan) tanggal songolas ana pladu banjir ndut akeh wong mati. Wong kelonan ambek anake mbacut kelem endut. Artinya: tahun Jim 1282 (1862 M), tanggal 19 bulan Suro, di Padangan ada pladu banjir ndut (banjir bengawan), banyak orang wafat. Ada orang tidur bersama anaknya ikut tenggelam.
Fragmen Bencana
Catatan bencana yang ditulis Sidi Abdurrohman di atas, secara tidak langsung, menunjukan kondisi alam antara wilayah hulu atau barat Jogja (Banyumas, Sukoharjo, Kutoarjo) dan wilayah hilir (Padangan) Bengawan Solo. Secara tidak langsung, beliau juga menyinggung peran manusia (pengrusakan alam) dalam mengundang terjadinya bencana.
Catatan di atas, memperlihatkan posisi bencana sebagai ujian dari Allah (gempa), sekaligus posisi bencana sebagai ulah buruk manusia (banjir dan longsor). Saat Sidi Abdurrohman mencatat risalah itu, memang belum ada industri dan pabrik. Tapi manusia sudah punya peran dalam kerusakan alam. Khususnya dalam pembabatan hutan jati.
Catatan bertarikh 1860 M di atas, bisa jadi, adalah akibat dari pengrusakan hutan besar-besaran yang dilakukan Willem Daendles dan Konsorsium Imperialis — termasuk Londo Jowo — sejak tahun 1810 M. Data kerakusan manusia terhadap alam itu, tercatat secara jelas dalam buku History of Java (Raffles) dan The Power of Propechy (Carrey).
Monopoli Kayu Jati
Harus diketahui, sejak kedatangannya di Pulau Jawa pada (1808 – 1811 M), Willem Daendels telah melakukan reformasi total dalam hal adiministrasi. Daendels melakukan penekanan untuk mendapat kayu jati dari Mancanegara Wetan (wilayah timur), khususnya distrik-distrik utama seperti Panolan dan Padangan.
Inilah zaman ketika pembalakan kayu jati besar-besaran dilakukan. Pohon-pohon jati di pinggir Bengawan dijarah habis. Awalnya, permintaan mereka terbatas pada kayu untuk pembangunan Benteng Lodewijk di Surabaya. Namun pada awal 1809, permintaan ini diperlebar. Penjualan jati harus dalam pantauan Belanda, melalui monopoli kayu secara de facto.
Di Blora, seluruh perdagangan kayu jati diambil alih dari tangan bupati untuk diserahkan pejabat kehutanan Belanda. Di Jipang (Panolan dan Padangan), pengiriman lebih dari 500 batang kayu diminta melalui kontrak yang dimonopoli Belanda. Hal ini tentu mendapat perlawanan dari para pemimpin lokal.
Macan Alas Njipangan
Dalam hal monopoli kayu jati, ada tiga tokoh bupati yang melakukan perlawanan pada Belanda dan Londo Jowo. Mereka adalah Raden Ronggo Madiun, Raden Sumonegoro Padangan, dan Raden Notowijoyo Panolan. Tiga tokoh yang berafiliasi pada Poros Padangan. Tiga tokoh yang tak pernah mau tunduk pada konsep penjajahan.
Jika di Timur Tengah dikenal Singa Padang Pasir, dalam konteks ini, ketiganya dikenal Macan Alas Jati, yang mampu membangkitkan energi perlawanan dari para “Brandal Alas” untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda dan Londo Jowo. Mereka lebih memilih terbantai di medan tempur daripada menyerahkan kayu jati pada Konsorsium Imperialis.
Perjuangan dan perlawanan Tiga Macan Alas Jati (Raden Ronggo Madiun, Raden Sumonegoro Padangan, dan Raden Notowijoyo Panolan) inilah, yang kelak menginspirasi dan mempertebal tekad Pangeran Diponegoro dan Pangeran Sosrodilogo untuk menyalakan kobaran api yang lebih besar dan sistematis.
Heroisme para Macan Alas Jati ini, dan hubungan mereka pada Poros Padangan, akan lebih baik jika saya tulis dalam tulisan berbeda. Agar lebih fokus dan tak melebar kemana-mana. Sebab, dari perlawanan Tiga Macan Alas Jati ini, kelak, Perang Jawa (1825 – 1830 M), tersulut untuk kemudian berkobar secara masif.
Hikmah Ekologi
Catatan Sidi Abdurrohman tentang bencana yang pernah terjadi pada periode 1860 M, menjadi bukti bahwa Allah selalu mengingatkan bahwa tugas manusia di bumi tak sekadar berhubungan dengan manusia, tapi juga alam. Selain itu, catatan beliau juga menunjukan bahwa sebelum pabrik dan industri didirikan, kerakusan manusia sudah berperan sebagai musabab tragedi kebencanaan.