Secara struktural, NU memang lahir pada 1926. Namun secara kultural, NU sudah berada di Bojonegoro sejak tahun-tahun sebelum 1926.
Harlah ke 96 NU diselenggarakan MWC NU Trucuk Bojonegoro beserta Banom NU pada (6/2/2022), cukup menarik. Sebab, selain membahas masuknya NU di Bojonegoro, juga membincang latar belakang keberadaan NU di Bojonegoro.
Ratusan peserta dari berbagai elemen NU (IPPNU, Fatayat, Muslimat, Banser, GP Ansor, hingga pengurus MWC NU) Kecamatan Trucuk Bojonegoro, hadir dalam acara bertajuk Sarasehan Harlah NU ke 96 tersebut.
Hadir sebagai pemateri dalam acara itu, KH Muna’amul Khoir (Pengasuh Ponpes Abu Dzarrin Bojonegoro), K. Muhammad Harsono (wakil Syuriah NU Bojonegoro), dan Ahmad Wahyu Rizkiawan (aktivis NU dan penulis buku NU Bojonegoro).
Dalam penjelasannya, KH Muna’amul Khoir (Gus Am) menjelaskan bahwa NU masuk ke Bojonegoro lewat Padangan pada 1938. Lalu, dibawa ke Bojonegoro di era 1940-an, tapi mulai benar-benar berdiri pada 1954. Tepatnya setelah Muktamar Palembang 1952. Pada 1953 persiapan, dan 1954 resmi berdiri.
“Cerita dari bapak saya, memang dulu dari Padangan dibawa ke Bojonegoro”. Kata pengasuh Ponpes Abu Dzarrin, sekaligus putra dari KH Dimyati Abu Dzarrin tersebut.
Gus Am bercerita, pada awal pendirian NU Bojonegoro, para kiai sangat getol berjuang. Baik secara fisik maupun pemikiran. Beliau mencontohkan, kakek beliau (KH Abu Dzarrin) sangat total dalam berjuang di NU. Bahkan, zaman bapak beliau (KH Dimyati) jadi pengurus, sering sekali berkonsolidasi ke Padangan untuk memperkuat jaringan NU.
Gus Am berpesan, semangat para pendahulu dalam memperjuangkan NU itu harus diwarisi dan terus dipelihara generasi saat ini. Gus Am juga berpesan agar para pemuda lebih giat melakukan syiar NU lewat media sosial.
“Saat ini zamannya medsos, generasi muda juga harus bisa memperjuangkan NU lewat medsos”. Imbuh Gus Am.
Dalam kesempatan yang sama, K. Muhammad Harsono mengatakan, meski NU Bojonegoro mulai dipersiapkan berdiri pada 1952, di Bojonegoro sudah ada NU sebelumnya. Hanya, belum secara formal. Hal itu karena banyak kiai sepuh di Bojonegoro, yang usianya lebih tua dari NU.
“Banyak kiai sepuh Bojonegoro yang usianya lebih tua dari NU (1926), jadi NU sudah ada di Bojonegoro sebelum 1926”. Kata beliau.
K Harsono menambahkan, kiai-kiai sepuh Bojonegoro banyak yang lahir sebelum 1926. Contohnya KH Abu Dzarrin, KH Sholeh Talun, KH Kholil Pasinan. Dan ajaran-ajarannya sama seperti NU yang saat ini. Berarti NU sudah ada sejak sebelum 1926.
Beliau juga berpesan pada pengurus generasi muda agar meniru jejak para pendahulu. Terutama dalam hal ketekunan belajar dan disiplin profesional dalam menggerakkan organisasi NU.
“Dulu ada tokoh pengurus NU Bojonegoro bernama KH Ali Syafi’i (Syuriah 1974-1977) yang sangat disiplin, profesional, dan detail dalam hal-hal kecil. Beliau harus ditiru generasi muda”. Imbuhnya.
Sementara Ahmad Wahyu Rizkiawan memperjelas bahwa NU memang lahir pada tahun 1926 (secara Nasional), tahun 1938 (di Padangan), dan tahun 1954 (di Bojonegoro). Namun, ruh dan esensinya sudah ada terlebih dahulu, melalui keberadaan para kiai sepuh.
Wahyu Rizky memperdetail periode keberadaan sejumlah kiai sepuh di Bojonegoro. KH Hasyim Jalakan (1850-1947), KH Abu Dzarrin (1894-1959), KH Kholil Pasinan (1900-1970), KH Sholeh Talun (1902-1992).
Bahkan jika dirunut ke atas, lanjut Wahyu Rizky, Mbah Menak Anggrung Padangan (Mbah Sabil dan Mbah Hasyim) berdakwah sejak periode 1600. Menurut dia, secara usia, kiai-kiai sepuh Bojonegoro lebih tua dibanding berdirinya NU itu sendiri. Dia mengistilahkan, sudah NU sebelum ada NU (secara formal).
Selain secara usia, secara sanad genealogi pun, banyak kiai sepuh Bojonegoro yang memang sudah NU. Dia mencontohkan, KH Hasyim Jalakan pernah berguru pada KH Kholil Bangkalan, KH Abu Dzarrin juga pernah berguru pada KH Kholil Bangkalan. KH Sholeh Talun pernah berguru pada KH Faqih Maskumambang, yang juga murid dari KH Kholil Bangkalan.
“Makanya dalam mukadimah buku Khittah Nahdliyah (karya KH Achmad Shiddiq) disebutkan bahwa energi dan esensi NU sudah ada sejak zaman Wali Songo, dan energi itu diformalkan pada 1926 sebagai organisasi NU”. Kata dia.