Sehabis Corona, di Kota Sisilia kini dibangun patung Livia Drusilla sebagai penghormatan kepadanya yang telah berkorban menyelamatkan nyawa penduduk.
Livia Drusilla keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Sepasang tangannya memegang handuk mengusap dan mengeringkan rambutnya. Tubuhnya bulat kuning menghadap matahari sore di kotak jendela. Ia berada jauh sekali dari kekasihnya.
Livia sesungguhnya menahan gelombang kangen dengan kekasihnya yang kumuh itu, si Augustus. Ia memanggilnya dengan nama sayang “Agus”. Seorang pemuda yang tak mudah nurut. Kini ia tertahan di kota Roma sebab Corona. Semalam ia menelephone Livia bilang kangen. Ia bilang kota Roma sekarang tak ubahnya kota mati, tiap siang ambulance hilir mudik kesana –kemari.
Tiap malam pukul 21.00 waktu Roma, aku harus bergegas membayar kopi dan pulang, masuk rumah, mematikan lampu dan tidur.
“Sayangku apakah Corona mampu melompat dan melewati pagar besi? pertigaan sebelum tempat tinggalku kini ditutup, tak boleh seorang pun keluar atau masuk.” Ucap Agus sebelum hand phone Livia mendadak dimatikan.
Agus menjauhkan hand phonenya dari telinga dan melihatnya. Ia menghirup nafas panjang dan membuangnya. Kemudian ia letakkan hand phone itu di atas bantal, juga kepalanya.
** **
Paginya Livia menelepon Agus tapi tak diangkat. Mungkin Agus masih tidur. Kemudian ia mengirimkan sebuah pesan permintaan maaf sebab semalam mematikan hand phone mendadak. Ia juga mengirimkan sebuah poto saat ia sedang bertugas, supaya Agus percaya dan tak marah.
Semalam Livia mendapat panggilan mendadak pula dari Puskesmas Sisilia tempat ia praktek. Ada pasien yang tiba-tiba demam, indikasi Corona. Hingga pagi ini Livia tak tidur, ia dan beberapa petugas kesehatan lainnya mengecek kesehatan penduduk Sisilia yang sedang mengantre. Ia kenakan masker, sarungtangan dan baju yang mirip astronot.
Siangnya Agus membalas pesan Livia. Ia tertawa melihat foto Livia yang mirip astronot itu. “Hahaha, Sayang apa tidak ada seragam kesehatan yang membuatmu tetap cantik? Lihatlah kau seperti astronot!”
Livia membalas “Mas, bisakah kau tak menertawakan wabah ini? Berpakaian seperti ini di masa wabah Corona jauh lebih aman ketimbang menggunakan bikini”.
Livia dan Agus memang sejak awal kemunculan Corona mereka sering berdebat. Agus yang seorang aktivis menganggap bahwa virus ini adalah akal-akalan belaka. Ia menganggap bahwa virus yang melanda seluruh dunia ini merupakan konspirasi jahat dari para pemodal kapitalis dan para penguasa. Menurutnya juga virus ini akan mengakibatkan perang saudara sebab sejak kemunculannya virus ini membuat keadaan ekonomi dunia semakin kacau.
Sementara, Livia yang seorang petugas kesehatan menganggap bahwa virus ini benar adanya. Keselamatan manusia ada di tangannya dan sebagai petugas kesehatan ia akan mengorbankan apapun demi kesembuhan dan keselamatan semuanya, bahkan jika ia harus mengorbankan nyawa sekalipun.
Setiap hari ia selalu mengingatkan Agus supaya menjaga kesehatan dan menggunakan masker ketika terpaksa keluar rumah. Ia meminta Agus supaya menahan diri di rumah dan keluar hanya jika ada urusan penting. Namun diam-diam rupanya agus tetap keluar mengelilingi Kota Roma. Ia tetap mencintai Livia tapi ia tak peduli dengan nasihatnya.
Keadaan Kota Roma semakin buruk, korban corona setiap harinya semakin bertambah. Setiap jengkal langkah kakinya ia selalu mengumpat “bangsat”. Melihat keadaan tersebut ia makin sedih, belum lagi ia harus menyelesaikan misinya membebaskan rumah penduduk di sebuah desa di Roma yang hendak digusur.
Ia sama sekali tak peduli dengan kuliahnya yang tak kunjung selesai 10 semester.
** **
Cuaca Roma malam ini terasa dingin. Agus duduk di kursi di samping pintu rumah. Tidak ada tetangga yang keluar menyapanya malam ini. Beberapa kali polisi menegurnya supaya segera masuk, tapi ia hanya mengangguk. Ia teguk cappucino hangat sesekali, kemudian ia genggam di tangannya supaya sedikit reda hawa dingin yang hinggap di telapak tangannya. Hasratnya naik, tiba-tiba ia kangen kepada Livia.
Beberapa hari ini hubungan mereka sedikit kurang baik. Mereka semakin jarang membalas pesan. Bisa saja mereka sesekali mesra namun menjadi bertengkar lagi ketika mereka membahas corona. Agus baru saja mengutarakan keinginannya untuk mengajak Livia bertemu di tempat kesukaan mereka, bukit Palatium. Namun Livia menolak, dengan alasan keadaan tidak aman, corona sangat menghantui siapa saja.
Jika hari biasa sebelum Corona, di bukit Palatium mereka akan menghabiskan hari di sana. Ketika senja mulai turun melewati pohon-pohon cemara. Mereka akan memesan minuman hangat, berciuman, dan melepas peluk yang lama. Mereka juga akan saling bercerita tentang hari-hari kemarin dan hari-hari yang akan datang, juga sebuah rencana mereka akan membangun sebuah rumah kecil di bukit Palatium.
Itu mustahil, corona menghambat semuanya. Bagimana dengan jaga jarak, apa gunanya bertemu jika harus menjaga jarak. Bagaimana rasanya peluk jauh. Bagaimana ciuman dengan memakai masker.
** **
Di ruang istirahat Livia terduduk lemas. Ia rasai tubuhnya telah capek. Ia ingin menghubungi Agus tapi tak bisa. Ia tidak mungkin melepas pakaiannya atau ia kan tertular corona.
Di ruang pasien ia mengamati orang-orang yang lemas. Ia juga bersedih beberapa temannya juga terpapar oleh corona dan mati.
Namun ada juga orang-orang yang dirawat di puskesmas Sisilia tapi tetap nampak sehat. Hal itu membuat Livia bingung, apakah benar yang diucapkan Agus? Agus… Agus… Aku kangen Sayang.
Di Roma, Agus melalui hari-hari berat, rasa kangen, rasa benci kepada korporasi, rasa kasihan kepada korban corona dan rasa kasihan kepada orang-orang yang rumahnya akan digusur oleh penguasa semuanya harus ia lalui dengan peperangan.
Tak jarang dalam peperangan itu ia harus melawan saudaranya sendiri yang muncul dari ketiak aparat. Seperti hari ini, Agus berdiri di depan memimpin masa demonstrasi. Mereka ingin menemui Walikota Roma untuk menyampaikan penolakan penggusuran rumah penduduk. Miris sekali di masa wabah pemerintah masih sempat saja memikirkan rencana penggusuran yang tentunya akan melukai hati rakyat.
Masa semakin merangsek. Agus semakin lantang menyampaikan aspirasinya. Ia dihadang oleh beberapa aparat bersenjata. Keadaan semakin kisruh ketika mobil dibakar di belakang masa. Batu-batu dilempar melewati kepala demonstran. Pagar kantor Walikota sudah ambruk. Tiba-tiba sebuah timah panas dilepas “dor” mengenai seseorang. Agus…. Agus terkapar di kaki-kaki yang berhamburan kalang-kabut. Tidak ada yang tahu persis siapa yang membakar mobil dan melempar batu, benarkah dari masa demonstran atau ada seseorang yang memprofokasi.
Dua orang teman Agus membopongnya dan membawa lari. Demonstran kacau balau. Wartawan menulis berita. Walikota harus bertanggungjawab.
Habis itu hujan turun menderas membersihkan darah Agus. Di televisi, koran dan media daring berita bermunculan. Agus mati tertembak. Aparat itu dicopot dengan tidak hormat. Walikota menghapus penggusuran. Rakyat menang, tapi Agus jadi korban.
** **
Seorang kawan Agus mencoba menelepon Livia tapi tak terangkat. Nampaknya Livia masih sibuk menangani pasien. Malamnya Livia menelepon balik, sebuah nomor baru yang tak ia kenal.
“Halo…… ini siapa?”
“Aku…. Aku kawan Agus”
“Iya.. ada apa?”
“Agus….. Agus telah tertembak dan mati. Jasadnya dikubur di pemakaman Roma”
“Brak….”
Hand phone Livia jatuh dari tangannya. Ia lemas dan ambruk. Beberpa saat kemudian tubuhnya telah di infus. Ia tidak tersadarkan diri. Di hari ke sepuluh ia dirawat ia menyerah kepada hidup dan pulang menyusul Agus. Beberapa media mengabarkan seorang petugas kesehatan kembali menjadi korban corona. Entah apakah ia benar mati terkena corona atau ia capek dan sedih kehilangan Agus.
Sehabis corona, di kota Sisilia, kini dibangun patung Livia Drusilla sebagai penghormatan kepadanya yang telah berkorban menyelamatkan nyawa penduduk dari Corona. Di Roma, Agus diberi gelar Kaisar Octavianus Augustus oleh para penduduk yang rumahnya selamat. Mereka mengenal Agus dengan sebutan Pax Romana atau kedamaian Romawi dan setiap bulan Agustus pesta kemerdekaan akan selalu digelar.
Di bukit Palatium Agus dan Livia telah membangun rumah kecil dengan dua kamar bertuliskan nama mereka sendiri.