Satu-satunya energi yang mampu menjatuhkan hati tanpa terluka, adalah perasaan bahagia. Begitulah konsep cinta estetika bekerja.
“Aesthetics as the perfection of sensuous cognition”. Begitu kata Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762), salah seorang filsuf Jerman yang meyakini bahwa estetika sebagai kesempurnaan kognisi sensual.
Kognisi sensual, atau bolehlah saya artikan sebagai kemampuan indera manusia dalam menangkap rasa senang, memang selalu berkait dengan konsep estetika atau bagaimana keindahan itu terbentuk.
Contoh paling mudah adalah saat kita jatuh cinta. Terlepas perasaan itu harus ambyar atau tatas di tengah jalan, pasti ada unsur keindahan yang masih bisa dikenang. Sebab, ditakdir jatuh cinta saja sudah sebuah kebahagiaan, bukan?
Hati kita terbiasa mengambang dan melayang-layang. Tentu butuh energi yang sangat kuat untuk membuatnya jatuh. Dan satu-satunya energi yang mampu menjatuhkan hati tanpa terluka, adalah perasaan bahagia.
Andai jatuh cinta tak diawali perasaan bahagia, mayoritas manusia pasti akan malas menjatuhkan hatinya. Dan kebahagiaan, kau tahu, identik dengan keindahan. Di sinilah filsafat estetika memerankan perannya.
Kita tentu sering mendengar jargon; kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda takdir. Nah, kesan pertama di sini, pasti ada unsur keindahannya. Tak mungkin sesuatu yang tak indah bisa menggoda manusia.
Beberapa hari lalu, kawan baik saya, Atok M. Nurozaqy, mengajak saya berdiskusi tentang bagaimana energi non fisik mampu membangun bangunan fisik berupa kelas sekolah dan lapangan bola. Diskusi itu berjalan cukup lama.
Saya mengatakan pada Atok bahwa segala hal di dunia ini, entah fisik atau psikis, hanya bisa diawetkan oleh sebuah kesan. Pandangan kita pada seseorang, atau pada sesuatu, bisa awet karena adanya sebuah kesan.
Dan kesan inilah yang sering disinggung filsafat estetika sebagai kognisi sensual — sesuatu yang bisa membuat orang lain menaruh hati pada kita. Atau sebaliknya.
Coba ingat sekali lagi, bagian apa dari bangunan sekolah jaman SD kita, yang saat kita ingat, memori masa lalu begitu cepat membekap isi kepala? Tentu jawabannya bisa macam-macam. Ada yang bangku paling belakang, bangku paling depan, toilet, atau kantin.
Apapun itu, setidaknya kita pernah punya momen indah-bahagiawi di sana. Ingat, ini SD bukan SMP atau SMA. Dan ingatan kala SD adalah ingatan tentang manusia bijaksana. Tentang masa yang tak mudah kecewa pada apa saja.
Kenapa saat mengingat sekolah di zaman SD, hati kita mendadak bisa terharu? Juga mendadak bisa ngakak ingat kelucuan masa lalu? Ya karena ada unsur bahagia dan estetika disana.
Terlepas saat ini bangunan kelas di sekolah kita sudah banyak yang berubah; tapi saat kita berkunjung kesana, pasti mata kita masih mampu menangkap bangunan zaman kita masih sekolah dulu. Menangkap energi keceriaan masa lalu.
Barangkali benar jika bangunan sekolah (ruang kelas) semasa kita SD, adalah lapangan bola bagi jiwa kanak-kanak kita. Sebab di sana, meski kita sering jatuh dan sakit, tapi tetap bahagia dan tak sekalipun merasa kecewa.
Ingatan masa lalu juga mudah sekali membekap kepala tatkala kita mengingat tanah lapang sempit di halaman kelas yang dulu sering kita sebut sebagai lapangan bola.
Di tempat itu, dulu kita sering terjatuh dengan lutut berdarah-darah, tapi luka dan memar itu tak pernah bertahan lama. Sebab semua selesai dibasuh dengan canda-tawa. Dan itu semua bermetamorfosis menjadi sebuah kesan kolektif di kepala kita.
Dulu semasa SD, di lapangan bola, kita lebih banyak belajar berdedikasi daripada berkompetisi. Ini tentu berbeda dengan permainan bola ketika kita sudah dewasa. Barangkali benar jika lapangan bola adalah ruang kelas bagi jiwa yang tak pernah berhenti belajar dedikasi.
Bangunan sekolah adalah lapangan bola bagi jiwa kanak-kanak kita. Sementara lapangan bola, adalah ruang kelas bagi jiwa yang tak pernah berhenti berkompetisi berdedikasi.
Dan yang inti dari ingatan masa SD itu, bangunan sekolah dan lapangan bola adalah energi bahagia. Semacam spektrum yang mampu membuat ingatan kita terbang ke masa-masa yang, bahkan seharusnya sudah kita lupakan itu. Tanpa energi bahagia, bisakah kita mengingat itu semua?
Jadi jika kita mau membangun ruang kelas atau lapangan bola, mau tak mau, harus menggunakan energi bahagia. Bahan bakunya boleh pakai batu atau besi atau semen, tapi energinya harus pakai kebahagiaan.
Lalu, energi kebahagiaan seperti apa sih yang bisa digunakan untuk membangun sebuah kesan pada bangunan fisik? Mari kita jawab pada edisi diskusi selanjutnya.