Tunjangan Hari Raya (THR) tahun ini tidak semulus tahun sebelumnya. Uang bonus ini datangnya setahun sekali. Hanya saat Ramadhan dan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Karena itu, uang THR sangat dinantikan masyarakat Indonesia. Seperti datangnya malam Lailatul Qadar.
Seretnya uang THR bukannya tanpa alasan. Pandemi global Covid-19 tentu yang menjadi latar belakang. Pasalnya, pembatasan aktivitas terjadi. Konsumsi masyarakat menurun. Fenomena ini membuat iklim usaha menjadi paceklik.
Buktinya, beberapa perusahaan mengurangi jumlah karyawan. Selain itu, Work From Home (WFH) membatasi produktifitas dan kontribusi terhadap perusahaan. Gerak terbatas dan hasilnya tidak maksimal. Alhasil, THR susah cair, bahkan mampet.
Manusia memiliki keinginan untuk berkontribusi terhadap orang lain. Begitu pun pekerja, pastinya ingin berkontribusi terhadap tempat dia bekerja. Ini sudah menjadi sifat dasar manusia. Sifat dasar demikian disebut Alturisme.
Setiap manusia pastinya ingin bermanfaat. Termasuk kamu juga kan, Nabs. Baik kepada sesama maupun alam semesta. Minimal, kamu ingin berguna bagi lingkaran society terdekat.
Nah, untuk itu muncul peran uang. Uang berperan sebagai nilai kontribusi. Misalnya seberapa gaji yang kamu dapatkan. Gaji menjadi nilai kontribusi yang lebih terukur. Tentunya jika dibandingkan ucapan terima kasih.
Baca juga: Hikmah Saat Kamu Tak Mendapatkan Uang THR
“Pandangan dasar uang kan sebenarnya seperti itu. Sebagai tolak ukur kontribusimu terhadap society. Sebenarnya gitu aja awalnya,” ucap budayawan muda, Sabrang Mowo Damar Panuluh, dilansir dari channel Jamaah Al Youtubiyah (15/4).
Ingat, uang hanya sebagai tolak ukur kontribusi. Pengganti ucapan terima kasih yang lebih ternilai. Maksudnya, manfaat bersifat transaksional. Setelah mendapat manfaat, juga memberi manfaat.
“Uang hanyalah indikator seberapa kamu manfaat untuk orang lain. Tidak mungkin kamu memberikan uang ke orang lain, kalau orang lain itu tidak memberi manfaat kepada kamu,” kata pria yang akrab disapa Noe tersebut.
Lambat laun, seiring berjalannya waktu, kehidupan berubah. Sudut pandang berganti dan nilai masyarakat bergeser. Akhirnya, alturisme berubah menjadi sistem bernama kapitalisme.
“Altruisme itu kemudian di-fix-kan menjadi sebuah sistem yang namanya kapitalisme. Kapitalisme itu sebenarnya bukan berebut uang,” jelas vokalis Letto itu.
Baca juga: Tata Cara Tukar Uang Baru di Masa Pandemi
Kapitalisme hasil dari perkembangan berpikir manusia. Pandangan tentang uang lebih jelas. Bukan hanya sebagai ukuran kontribusi, melainkan juga sebagai alat kontrol. Transaksional semacam ini yang membentuk budaya masyarakat sekarang.
“Tapi, kemudian kan terjadi perkembangan berpikir. Uang bisa menjadi jalur kontrol. Karena kamu saya bayar, berarti kamu harus patuh sama saya. Jadi seperti itu,” terang putra Emha Ainun Nadjib tersebut.
Kalau cara pandangnya sudah berubah, perilakunya sudah pasti berubah. Bukan lagi ingin bermanfaat, tetapi ingin mendapat uang. Uang menjadi hasil utama yang diharapkan.
“Uang adalah penanda kontribusimu pada kumpulan itu. Jadi kalau uangmu segitu, berarti komtribusimu segitu. Kalau kamu tidak memberi kontribusi, ya kamu tidak mendapatkan uang,” pungkas Sabrang.
Memang, THR bersifat uang bonus. Namun, karena berupa uang, itu menjadi penting. Padahal, gaji lebih penting untuk mengukur apa yang sudah kamu kerjakan. Tidak perlu kecewa jika kamu tidak mendapat THR.
THR di saat pandemi dan pembatasan aktivitas cukup mengkhawatirkan. Antara cair atau tidak cair. Bahkan mempengaruhi perasaan. Misalnya khawatir tidak cair dan bersedih saat kenyataannya demikian.
Namun, kamu harus tetap tenang. Bukan masalah penting jika THR tidak cair. Itu hanya akibat kebiasaan menerima THR di tahun-tahun sebelumnya. Jika tahun ini tidak ada THR, maka kamu harus tenang dan sabar. Semoga hanya tahun ini.