Untuk merawat progresivitas pergerakan, sejumlah pelajar NU Bojonegoro gelar diskusi progresif dalam rangka Hari Kebangkitan Nasional.
Dalam rangka merawat ghirah kebangkitan dan melestarikan perjuangan, Lembaga Student Crisis Center (SCC) IPNU Bojonegoro selenggarakan Kamisan Daring ke-dua bertema “Mengeja Bojonegoro dari Bumi Manusia.”
Diskusi dilaksanakan pada 21 Mei 2020, dimulai pukul 20.00 WIB via zoom itu, menghadirkan Wahyu Rizkiawan, founder Jurnaba.co, Yogi Abdul Gofur, kolumnis/kader IPNU dan dimoderatori Direktur Lembaga SCC IPNU Bojonegoro, Ruri Fahrudin Hasyim.
Di berbagai tanah air, setiap individu, organisasi, lembaga NGO dan lembaga pemerintahan memaknai Hari Kebangkitan Nasional dengan cara berbeda-beda. Di tengah ramadhan pandemi plus menjelang hari raya Idul Fitri, SCC IPNU Bojonegoro memaknai Harkitnas dengan diskusi daring.
Setelah sukses dengan diskusi daring pertama tentang Ombibus Law, Lembaga SCC IPNU Bojonegoro menyelenggarakan diskusi ke-dua.
Di berbagai sumber buku pelajaran sekolah, telah diketahui bahwa Hari Kebangkitan Nasional berkenaan dengan berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. Didaku sebagai organisasi pribumi pertama yang berani dan kentara menyemai kesadaran nasional di tengah kolonialisme.
Dalam roman Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, ada seorang terpelajar bernama Minke (Tirto Adhi Soerjo/TAS) yang menggagas organisasi lebih dahulu. Dalam karya Pram itu, disebutkan bahwa ia anak Bupati Kota B.
Setelah Tirto mengenyam pendidikan di HBS Surabaya, ia melanjutkan studi ke STOVIA (sekarag kampus UI Salemba). Karena Tirto sadar, sebagai kaum terdidik ia juga harus memperjuangakan tanah airnya. Lantas ia melakukan perlawanan berupa tulisan dengan membuat surat kabar pribumi pertama yaitu Medan Priyayi.
Tirto yang merupakan tokoh idola Pramoedya, lahir di Blora. Keduanya berasal dari daerah yang sama. Dari segi geografis, letak Bojonegoro dan Blora tidak begitu jauh. Juga ada hubungan antar keduanya. Semangat kebangkitan yang dikobarkan oleh Tirto, ditulis dengan menarik oleh Pram. Juga dibuat film “Bumi Manusia” yang disutradarai Hanung Bramantyo.
Diskusi diselanggarakan SCC IPNU Bojonegoro malam itu mengalir dengan santai. Sembari ngopi dan ngudud, pemantik menyampaikan pandangan terkait pembahasan dalam diskusi.
Ketua Sekte Jurnaba, Wahyu Rizkiawan memberi sejumlah pandangan. Mulai dari tinjauan karya Pram, Tirto Adhi Soerjo sebagai pemicu Kebangkitan Nasional, Marco Kartodikromo, dan Murid-murid Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto seperti Kartosoewirjo, dan lain-lain.
Ketua Sekte yang pernah tinggal di Blora dan berkunjung ke Perpustakaan Pataba untuk bertemu adik Pramoedya (Soesilo Toer), menambah kedalaman materi yang ia sampaikan untuk memantik ghirah diskusi lebih hidup.
Sementara Yogi Abdul Gofur, sejarawan muda mengawali dengan pengantar ilmu sejarah. Bagaimana suatu kejadian bisa dikatakan sebagai sejarah. Mengingat dari teori kritis yang dikemukakan oleh sejarawan Jerman bernama Leopold Von Ranke menyebutkan bahwa “no document, no history” dan berbagai pandangan lain tentang toponimi, Harkitnas, dan Bojonegoro; dulu, kini, dan nanti.
Ruri Fahrudin Hasyim selaku moderator, tak lupa memberikan pandangan juga mengajak kawan-kawan peserta diskusi untuk merangkai pertanyaan kemudian berani mengemukakan pandangannya tentang pembahasan diskusi.
Juga menanyakan pandangan kepada pemantik tentang kalimat yang pernah diungkapkan Pramoedya, “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.” Khususnya tentang pengejawantahan di era sekarang.
Pandangan tentang geliat literasi sebelum, ketika, dan pasca pendemi di kabupaten yang konon menjadi lumbung pangan dan energi juga dibicarakan dalam diskusi malam itu. Kemudian bagaimana pelajar di era sekarang memaknai kebangkitan nasional dan mengambil peran.
Walau beberapa kali gangguan teknis terjadi dan peserta diskusi daring bisa dihitung dengan jari tidak mengurangi esensi diskusi. Imron Nasir Salasa, yang akrab dipanggil Impong juga memberikan tanggapan tentang kota B dalam roman Bumi Manusia, arti kata Bojonegoro dari berbagai versi, dan beragam sudut pandang lain tentang pembahasan diskusi.
Ketika menjalang akhir diskusi, Rengga Lodyvito selaku peserta diskusi juga menungkapkan pandangannya terkait pertanian dan puisi yang berjudul Sajak Seonggok Jagung dari WS Rendra sebagai refleksi bersama. Juga mengajak semua kalangan wa bil khusus pelajar (mahasiswa) untuk berkontribusi membangun daerah terkhusus di desanya.
Seyogianya sebagai pelajar kita juga mewarisi semangat kebangkitan nasional dengan berbagai cara. Jika di era kolonial perjuangan melawan penjajah. Di era revolusi industri 4.0, penjajahan masih ada namun dalam bentuk yang berbeda. Berjuang melawan bangsa sendiri plus kapitalis dari berbagai penjuru bumi yang ingin menguasai Indonesia yang kaya akan sumber daya alam.
Dimana disadari atau tidak, arah pembangunan negara bergser, dari cita-cita founding parents Indonesia sebagai negara agraris namun sekarang menjelma sebagai kapitalis. Tak jarang, kriminalisasi aktivis lingkungan, penggusuran lahan secara paksa, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) seringkali terjadi di Indonesia.
Mengingat Bojonegoro sebagai Human Rights Cities perlu dipertanyakan. Apakah itu hanya sebutan tanpa pengejawantahan? Atau hanya sekedar embel-embel sebagai branding pemerintahan? Mengingat apa yang pernah diungkapkan oleh Pramoedya seperti, “Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan”.
Apabila masyarakat menyampaikan kritik (konstruktif) merupakan bentuk kecintaan masyarakat kepada daerahnya. Kritikpun merupakan sebuah keniscayaan, mengingat kita hidup di negara demokrasi.
Sebagai pelajar Nahdliyin wa bil khusus di kabupaten yang konon menjadi lumbung pangan dan energi plus daerah yang kaya akan sejarah dan budaya. Mari, memaknai kebangkitan dengan cara masing-masing yang berorinetasi pada perubahan yang lebih baik (progresif).
Dan perlu diketahui, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi keagamaan terbesar di dunia juga senantiasa menyemai kebangkitan, sebab kata nahdlatul berasal dari kata nahdhah yang artinya bangkit.
Terbukti dari rahim NU lahir ulama’ progersif seperti Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asyari, K.H. Abdul Wahab Hasbullah, K.H. Ridwan Abdullah, K.H. Ali Maksum, K.H. Muchith Muzadi, K.H. Hasyim Muzadi, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan lain-lain.
Selain itu, NU bak miniatur negara, terdapat badan otonom (banom) dan beberapa lembaga. Ada Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama (SNNU), Lemabaga Pengembangan Pertanian Nahadlatul Ulama (LPPNU), Serikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI), dan lain-lain.
Ingat kalimat yang pernah diungkapkan oleh K.H. Muchith Muzadi, “Anak-anak muda harus suka baca, apalagi anak-anak NU! Buku apapun harus dibaca, ya, dibaca! Biar nggak kagetan biar pengetahuannya luas.”
Malam semakin larut, tak lupa Imam Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Insomniah wa Jurnabiah alias Wahyu Rizkiawan mengajak siapapun dimanapun berada untuk menulis uneg-uneg prigresif di Jurnaba.co.
Diskusi ditutup oleh moderator dengan quote dari Pramoedya Ananta Toer, “Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.”