Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba
Home Fiksi Akhir Pekan

Si Kimpluk: Keliru Boleh, Salah Jangan! (2)

Erni Mufida by Erni Mufida
20/02/2022
in Fiksi Akhir Pekan
Si Kimpluk: Keliru Boleh, Salah Jangan! (2)
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan Ke WA

“Kau boleh saja keliru, namun jangan sampai salah”. (Hadji Moeloek)

Setelah sampai kost, Kimpluk langsung duduk di depan meja laptop milik temannya, ia meminjamnya kemudian menyalakannya lantas, menulis.

Memang si Kimpuk ini, adalah anak yang lumayan suka menulis, yang suka membuat semacam dokumen/arsip dari peristiwa-peristiwa yang ia alami, dan terlebih peristiwa yang ia anggap masih mengganjal, peristiwa yang belum usai.

Minimal dia menulis di status akun sosmednya. Kadang juga di lembaran kertas, juga dinding toilet tak luput menjadi sasaran untuk media coretan-coretannya.

Walau tulisannya acak-acakan, tak nyambung dari kalimat satu ke kalimat lainnya, ada juga tulisannya yang tak bisa dibaca.

Karena selain ia tak banyak memiliki perbendaharaan kata yang baik, ia juga tak mahir menulis dengan huruf yang bagus nan manis layaknya seorang sekretaris.

Tapi, ia selalu mencoba menulis, menulis dan terus menulis. Suatu ketika ia pernah membual kepada teman-temannya, jika menulis itu bak boker/ngising/buang ai besar alias BAB.

Setelah itu pasti akan lega, atau seperti ada sesuatu yang jatuh dari pundak. Lebih ringan. Ya, biarin ajalah. Asal ia senang, nggak mewek. Nggak mutung.

Berikut tulisan dari si Kimpluk yang ia tulis malam itu, dan selesai malam itu juga:

Apakah salah jika orang berbicara? Apakah keliru? Kalau keliru, itu wajar mungkin, karena bagaimanapun manusia adalah tempatnya salah keliru dan lupa. Seperti kata Pak Kiai di langgar saat itu : Al insanu mahalul khotoa wanissiyan. Manusia adalah tempatnya keliru dan lupa. Namun, kalau salah jangan lah. Jangan sampai, kita yang katanya terpelajar ini Salah.

Jangan Pernah. Sungguh! Seperti apa yang dituturkan oleh tokoh ciptaan Pramoedya Ananta Toer dalam sekuel Jejak Langkah yang ia beri nama Hadji Moeloek. Dalam tetralogi Buru besutan epic Pramoedya Ananta Toer itu, mengatakan; “Kau boleh saja keliru, namun jangan sampai salah”.

Kalau keliru itu, kau sudah memikirkan segalanya dengan matang dalam pikiran, dan kemudian tidak sesuai dalam perkataan atau pelaksanaan. Sedangkan keliru itu sejak dari pikiran sudah salah, apalagi dalam perkataan atau tindakan. Dan aku ini adalah seorang terpelajar, “seorang terpelajar harus bisa berlaku adil, bahkan sejak dalam pikiran”.

Diriku saja yang terkadang kurasai terlalu terburu-buru dalam berbicara, tak mau didahului, tak mau dikalahkan. Tak terlepas dalam perkataan dan terutama kurasakan ketika bersama teman-temanku. Sampai sekarang, aku tak mengetahui pasti. Tak terlalu memahami yang seperti ini benar atau tidak?

Atau paling tidak jika boleh dimasukkan dalam spektrum salah dan keliru, ia masuk mana? Karena di satu sisi aku memikirkan tentang perkataan dan perbuatanku sebelum bertindak. Namun di sisi lain, kadang ya tadi, seperti sudah ku sampaikan bahwa aku terlalu terburu-buru. Lagi-lagi selalu ingin unggul. Sungguh Egois.

Pernah suatu kali aku merenungkan sifatku ini. Ah, mungkin aku ini tak cocok jika bekerja dalam tim, dan sekaligus sangat bisa cocok asal aku tidak disuruh-suruh, (anggota) lebih-lebih tidak terikat.

Namun bagaimana bisa aku tak disuruh dan tak diikat jika aku meleburkan diri dalam sebuah tim. Enyahlah. Sebut saja: intinya aku tak mau diikat, karena jika aku terikat aku merasakan ada yang dirampas dari diriku.

Aku sempat ingin merubah kebiasaan cara ngomongku ini. Namun setelah aku pertimbangkan, aku tidak mau merubahnya. Karena jika aku merubahnya, itu artinya aku bukan menjadi ‘diriku’ sendiri.

Di sisi lain, jika teman-temanku tidak benar-benar sabar menghadapiku, mungkin aku sudah dijauhi bahkan bukan tidak mungkin aku akan dihajar karena yang ku sebut ‘diriku’ ini. Atau semua ini memang sudah menjadi sifat umum kebanyakan manusia, terutama kawula muda. Kalau meminjam lirik lagu Oma Irama; darah muda darah yang berapi-api, yang maunya menang sendiri walau salah tak peduli. Yang selalu merasa gagah tak pernah mau mengalah”. Ah- serba salah kadang.

Tak bisa ku pungkiri, walau bagaimanapun aku sangat menikmati fase, atau aku lebih suka menyebutnya proses/pencarian yang harus ku lalui ini. Aku sangat nyaman. Merasa menemukan diriku. Dan yang terpenting, aku bisa merasakan Merdeka. Dan keadaan seperti ini sempat membuatku berfikir agar ‘berlari’ untuk menulis.

Bagaimanapun, dengan menulis aku bisa berbicara sepuas-puasnya, bisa melawan dengan jantan, bisa memborbardir habis-habisan tanpa aling-aling apapun. Dengan menulis, aku bisa bercerita sampai mulutku berbusa-busa, menumpahkan segala gelisah dan resah tanpa berkeluh kesah dengan mereka, sekalipun bisa menangis hingga air mataku habis. Tak terkecuali aku bisa merasakan multipleorgasm.

Aku bisa mendesah, tanpa harus berurusan dengan hal seputar selangkangan. Untuk yang terakhir ini, aku kurang bisa mengerti. Tak cukup pandai untuk menerangkan secara sistematis. Namun itulah yang ku peroleh ketika memasuki; tema, judul, alur maju atau mundur maupun maju-mundur, kemudian klimaks dan itulah multipleorgasm. Menulis itu bagaikan bergubungan intim, dan menyelesikan tulisan itu adalah orgasm.

Mungkin itu, saat ini yang kurasakan! Tak peduli, setelah menulis nanti ada yang baca apa tidak? Paling tidak aku benar-benar bisa merasa merdeka. Ya, ya, Merdeka yang sesungguhnya kurasakan tumbuh di sini.

Merdeka yang kurasai kadang terlalu cepat tumbuh, terlalu cepat lahir dengan kata lain Merdeka yang instant, Merdeka yang Ejakulasi, Merdeka yang Mbrojol prematur.

Di sana, Lihatlah! Jemari yang berdansa tanpa jeda di atas kertas dengan sebuah tinta. Atau jemari yang menari-nari di atas keyboard laptop pinjaman dari temanku ini.

Tak peduli meski tulisannya nantinya hanya akan menambah panjang daftar kata-kata yang kadaluarsa yang kemudian dilempar di tong sampah sebelah meja, kemudian dibakar dalam tungku perapian para penyamun. Tak peduli!

Dunia yang sudah kelebihan kata-kata. Setiap kata bisa di ubah artinya, setiap arti bisa diganti maknanya.” Kata Seno Gumira Ajidarma dalam Sepotong Senja untuk Pacarku. “Dan setiap makna selalu saja diperkosa” Imbuhku.

** **

Begitulah tulis, Kimpluk. Namun kadang, si Kimpluk ini merasakan gelisah. Seperti kata Ayu Utami memang, bahwa menulis adalah pekerjaan gelisah. Ia tak bisa menyangkal rasa itu.

Karena jika ia memutuskan untuk benar-benar ‘berlari’ menulis, tak mau mengutarakan semua unek-unek atau permasalahnnya kepada teman-temanya ia merasakan ‘Kesepian’, di sisi lain ia juga seperti mengingkari teori yang mengatakan bahwa :manusia adalah makhluk sosial.

Ia kadang merasa sangat bersalah kepada teman-temanya. Si Kimpluk kali ini benar-benar pusing tujuh keliling. Dan anehnya, ia hanya ingat hal-hal semacam itu ketika ia sedang menulis unek-uneknya, perlawanannya, atau mencurahkan isi hatinya.

Oh, kali ini bahkan ia tak bisa menuai orgasm, seperti yang ia terangkan di atas. Perasaannya seketika mendung berkabung, dan tubuhnya seketika lemas, semacam melankolis.

Selesai mengetik dua kata terakhir di tulisannya, ia terhuyung dan menghempaskan tubuh resamnya di atas kasur. Ia ingin tidur. Paling tidak, dengan tidur mungkin bisa mengurangi rasa pening, pikirnya. Posisinya tidur tertelungkup, karena tak punya daya lagi membalikkan tubuh ringkihnya itu.

Belum lagi ia benar-benar terlelap, ia teringat satu kalimat dari Goenawan Mohammad yang pernah ia baca dari Caping, tiba-tiba muncul begitu saja di otaknya; “Definisi Kesepian yang sebenarnya adalah hidup tanpa tanggung jawab sosial”.

Kini ia menggapai bantal yang tergelatak di sampingnya dan menutupkannya di atas kepala sembari menekannya erat-erat dengan kedua tangannya. Dan mendungpun mencair malam itu, Rinai hujan tengah malam mengguyur bumi.

 

Daftar Rujukan

Ananta Toer, Pramoedya. 2015. Jejak Langkah. Jakarta. Lentera Dipantara

Gumira Ajidarma, Seno. 2002. Sepotong Senja Untuk Pacarku. Jakarta. Gramedia

Mohamad, Goenawan.1982. Catatan Pinggir 1. Jakarta. Tempo Grafiti Press

Tags: Fiksi Akhir Pekan

BERITA MENARIK LAINNYA

Ketika Daun Gugur di Antapani Bernyanyi
Fiksi Akhir Pekan

Ketika Daun Gugur di Antapani Bernyanyi

27/02/2022
10.080 Menit
Cecurhatan

10.080 Menit

12/02/2022
Ketika Senja Jatuh di Pantai Pangandaran
Fiksi Akhir Pekan

Ketika Senja Jatuh di Pantai Pangandaran

30/01/2022

REKOMENDASI

Stop! Perempuan Bukan Objek Kekerasan

Stop! Perempuan Bukan Objek Kekerasan

16/05/2022
Bukan Tutorial Move On Bagi Yang Patah

Bukan Tutorial Move On Bagi Yang Patah

15/05/2022
MotoGP Mandalika dan Dampak Positif Bagi Perekonomian NTB

MotoGP Mandalika dan Dampak Positif Bagi Perekonomian NTB

14/05/2022
Cegah Pungli dan Gratifikasi, Bapenda Bojonegoro mulai Terapkan Cashless

Cegah Pungli dan Gratifikasi, Bapenda Bojonegoro mulai Terapkan Cashless

14/05/2022
Serba Serbi Akhir Ramadhan Hingga Awal Lebaran

Serba Serbi Akhir Ramadhan Hingga Awal Lebaran

13/05/2022
Memahami Potensi Deglobalisasi Ekonomi

Memahami Potensi Deglobalisasi Ekonomi

12/05/2022

Tentang Jurnaba - Kontak - Squad - Aturan Privasi - Kirim Konten
© Jurnaba.co All Rights Reserved

No Result
View All Result
  • HOME
  • PERISTIWA
  • KULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • ALTERTAINMENT
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • TENTANG
  • KONTAK

© Jurnaba.co All Rights Reserved