Sebuah analisis hukum secara bil-ilmi dan bil-teori tentang Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan pentingnya restoratif justice.
Beberapa hari lalu, tingkat lanjut upaya hukum yang berkaitan dengan Bupati Bojonegoro, Ibu Anna Mu’awanah, akhirnya menemui titik terang dengan dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Polda Jatim.
Nabs, kasus ini bermula dari laporan Pak Budi Irawanto yang juga menjadi Wakil Bupati Bojonegoro atas dugaan pencemaran nama baik melalui media elektronik.
Pencemaran nama baik tersebut terjadi dalam sebuah percakapan di grup WhatsApp. Menurut Budi Irawanto, Anna Muawanah menulis beberapa hal yang menurutnya menyerang secara pribadi.
Berdasarkan hal tersebut, kemudian Budi Irawanto melaporkan kepada pihak berwajib dalam hal ini Kepolisian. Lebih lanjut, dikeluarkannya SP3 dari Polda Jatim atas kasus tersebut dipertegas oleh Kabid Humas Polda Jatim Kombes Gatot Repli Handoko didampingi Wadir Reskrimsus Polda Jatim AKBP Zulham dan Kasubdit Siber AKBP Wildan tanggal 2 Februari 2022 yang mengatakan bahwa penghentian penyidikan perkara itu dilakukan setelah tim penyidik Siber Ditreskrimsus Polda Jatim telah meminta keterangan dari 9 saksi dan 3 saksi ahli, selain pelapor dan yang dilaporkan.
Lebih lanjut, ditegaskan bahwa salah satu alasan dikeluarkannya SP3 dari Polda Jatim adalah karena tidak cukup bukti serta pada perkara pencemaran nama baik itu tak ada unsur pidana.
Hal ini mempertegas bahwa penghentian penyidikan perkaranya bukan karena damai. Namun, dari hasil pemeriksaan tak ada unsur pidananya, sehingga perkaranya akhirnya di SP3.
Lebih lanjut, adanya SP3 dalam kasus dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Bupati Bojonegoro, Anna Mu’awanah, mendapatkan tanggapan dari Mochammad Mansur selaku Ketua Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) Cabang Bojonegoro. Menurutnya, dalam proses penyelidikan terdapat kemungkinan sebuah perkara ditingkatkan ke penyidikan atau tidak dapat dilanjutkan ke penyidikan.
Sebagai konsekuensi logis, jika tidak ditemukan hal tersebut, maka perkara dihentikan penyelidikannya.
Lebih lanjut, pendapat lainnya juga diutarakan oleh Triyasa Pinto Utomo yang merupakan Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Menurutnya, alasan penghentian penyelidikan yang dinyatakan oleh Tim Penyelidik Polda Jatim dikarenakan keterangan saksi menyatakan bahwa WhatsApp Group yang dibuat alat bukti oleh pelapor adalah WhatsApp Group terutup, sehingga menurut Pinto Utomo, yang dinamakan WA Group tertutup itu adalah grup yang isinya dalam group itu hanya terdiri satu bidang profesi atau pekerjaan.
Lebih lanjut, Triyasa Pinto Utomo, menegaskan bahwa satu bidang pekerjaan atau profesi contohnya seperti: WA Group Alumni SMA yang berisi semua adalah alumni SMA itu dinamakan WA Group tertutup, kemudian WA Group RT yang isinya adalah warga satu RT, kemudian Satu Group Wathsapp yang isinya satu kantor dalam bekerja atau profesi ini berarti itu namanya WA Group tertutup.
Akan tetapi, kalau dalam grup itu terdiri dari berbagai bidang profesi misalnya ada banyak profesi atau misalnya ada profesi guru, ada tokoh masyarakat, ada LSM ada penegak hukum, wartawan, pejabat, maka itu merupakan Group WA terbuka karena isinya berbagai macam bidang profesi, terang Pinto Utomo.
Pendapat Pinto Utomo tersebut dipertegas bahwa untuk menyatakan apakah suatu Group WA itu tertutup atau terbuka maka harus ada kejelasan pendapat ahli dari Kominfo.
Dikeluarkannya SP3 dalam kasus dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Bupati Bojonegoro, Anna Mu’awanah tersebut selain mendapat tanggapan dari Mochammad Mansur selaku Ketua Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) Cabang Bojonegoro dan Triyasa Pinto Utomo yang merupakan Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) juga menarik untuk dilihat dan dianalisis dari aspek hukum.
Nabs, tulisan ini berorientasi pada analisis hukum atas kasus dikeluarkannya SP3 dalam kasus dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Bupati Bojonegoro, Anna Mu’awanah serta analisis hukum yang sesuai dan relevan.
Tulisan ini tidak bermaksud “menggurui”, menyerang, atau merendahkan pihak manapun. Tulisan ini hanya berfokus pada analisis hukum atas kasus tersebut.
Penerbitan SP3 Bupati Bojonegoro
Penerbitan SP3 Bupati Bojonegoro memang menuai reaksi dari berbagai pihak baik berupa pro maupun kontra.
Selain itu, pendapat dari Kabid Humas Polda Jatim Kombes Gatot Repli Handoko didampingi Wadir Reskrimsus Polda Jatim AKBP Zulham dan Kasubdit Siber AKBP Wildan yang menegaskan bahwa kasus tersebut tidak cukup bukti juga harus dihormati.
Hal ini karena dalam hukum pidana terdapat asas hukum yang menegaskan bahwa, “In criminalibus, probationes bedent esse luce clariores” yang bermakna bahwa dalam hukum pidana bukti yang dihadirkan harus lebih terang daripada cahaya.
Lebih lanjut dalam hukum pidana juga terdapat adagium yang menegaskan bahwa, “Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah, daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”.
Makna dari asas dan adagium tersebut adalah bahwa dalam hukum pidana bukti menjadi aspek kunci dalam menentukan seseorang bersalah atau tidak.
Tanpa bukti yang cukup dan relevan maka seseorang tidak dapat dijatuhi pidana.
Oleh karena itu, pembuktian dalam hukum pidana juga wajib dibuktikan oleh negara melalui aparaturnya seperti Kepolisian, Kejaksaan, hingga pada proses di pengadilan.
Hal ini didasarkan pada asas, “Actori in cumbit probatio” yang artinya, siapa yang menggugat dialah yang wajib membuktikan.
Lebih lanjut, terdapat juga asas, “Probatio qui dicit, non qui negat” yang memiliki arti beban pembuktian ada pada orang yang menggugat, bukan yang tergugat.
Selain itu, terdapat juga asas, “Probandi necessitas incumbit illi qui agit” yang berarti beban pembuktian dilimpahkan kepada penggugat, dan asas “Semper necessitas probandi incumbit ei qui agit” yang berarti beban pembuktian selalu dilimpahkan pada penggugat, termasuk juga asas, “Reo negate actori incumbit probation” bermakna jika tergugat tidak mengakui gugatan, maka penggugat harus membuktikan.
Berdasarkan uraian asas dan adagium hukum di atas, maka alasan dikeluarkannya SP3 dalam kasus dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Bupati Bojonegoro dapat dipahami dan harus dihormati, tetapi yang menjadi pertanyaan; apakah benar dalam kasus tersebut terdapat tidak cukup bukti dan harus dikeluarkan SP3?
Jika mengacu pada berbagai sumber terkait adanya dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Bupati Bojonegoro terhadap wakilnya, maka menurut hemat penulis setidaknya terdapat beberapa bukti yang dapat dijadikan dasar untuk melanjutkan proses dugaan tindak pidana tersebut.
Beberapa bukti diantaranya: pertama, berdasarkan beberapa sumber, chat tersebut disampaikan dalam grup WhatsApp “Jurnalistik dan Informasi” yang beranggotakan pejabat Forkopimda, OPD, DPRD, dan jurnalis di Bojonegoro.
Berdasarkan fakta tersebut, mengacu pada Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Jaksa Agung RI, dan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021 dan Nomor KB/2/VI/2021 tentang pedoman implementasi atas pasal tertentu dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Infomasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik pada nomor 3 ditegaskan bahwa unsur diketahui umum terdapat tiga aspek, yaitu: (i) unggahan di sosial media yang dapat diketahui oleh publik (bersifat umum) dan tidak ada aturan/moderasi tertentu dalam media tersebut yang berupaya mengatur secara terbatas unggahan tersebut, dan (ii) tidak termasuk penghinaan dan/atau pencemaran nama baik apabila dalam grup percakapan tersebut bersifat terbatas/tertutup hanya untuk kalangan tertentu, contohnya: grup percakapan keluarga, kelompok teman akrab, kelompok profesi, dan sebagainya, serta (iii) karakter umum/publik di dalam suatu grup percakapan didasarkan bahwa terdapat pihak yang tidak saling mengenal.
Berdasarkan tiga aspek tersebut, penulis berpendapat bahwa disebut grup percakapan bersifat publik/umum apabila: pertama, grup tersebut secara latterlijk bersifat “terbuka” (terdapat ketentuan terbuka untuk umum), dan/atau kedua, grup tersebut secara latterlijk tidak bersifat “terbuka” tetapi memiliki esensi terbuka misalnya “Grup Informasi” yang isinya wartawan atau yang nantinya disosialisasikan pada publik.
Meski grupnya tertutup, namun terdapat esensi dan orientasi informasi yang disampaikan bersifat terbuka, maka grup tersebut dapat dikategorikan sebagai grup terbuka.
Mengacu pada beberapa fakta dari beberapa sumber, chat tersebut disampaikan dalam grup WhatsApp “Jurnalistik dan Informasi” yang beranggotakan pejabat Forkopimda, OPD, DPRD, dan jurnalis di Bojonegoro, menurut hemat penulis grup tersebut memiliki esensi dan sifat publik sekalipun dalam grup tersebut bersifat tertutup.
Hal ini dikarenakan secara teleologis, grup tersebut dibuat untuk kepentingan informasi publik yang harapannya informasi dari grup WhatsApp tersebut dapat disalurkan ke masyarakat Bojonegoro pada umumnya.
Dengan demikian, sejatinya sudah terdapat satu bukti serta kualifikasi yang menunjukkan bahwa chat tersebut dilakukan di grup yang memiliki esensi dan orientasi untuk publik sehingga dianggap memenuhi kualifikasi “agar diketahui publik”.
Selanjutnya, terkait dengan substansi chat yang diduga disampaikan oleh Bupati kepada Wakil Bupati menurut hemat penulis terdapat dua hal yang dapat dianalisis.
Pertama, secara teleologis, chat tersebut sejatinya merupakan ungkapan kekesalan terhadap kinerja orang lain. Dari rumusan kata-katanya jelas bahwa chat tersebut sejatinya merupakan ungkapan kekesalan.
Dalam konteks ini, penulis berpendapat bahwa hal ini bukanlah merupakan ranah hukum (in casu hukum pidana) tetapi lebih kepada aspek moral dan etika yang lebih relevan jika diselesaikan secara kekeluargaan.
Kedua, secara gramatikal memang harus diakui terdapat beberapa kata dan kalimat yang menyerang aspek kekeluargaan pribadi dan juga terdapat “tuduhan” yang seyogianya hanya disampaikan secara pribadi, bukan di tempat publik.
Berdasarkan secara gramatikal kata-kata chat tersebut, penulis berpendapat bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut telah memenuhi unsur sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE serta berdasarkan Putusan MK No. 50/PUU-VI/2008 yang menegaskan bahwa unsur yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE meliputi: (i) setiap orang, (ii) sengaja dan tanpa hak, (iii) mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi dan/atau dokumen elektronik, dan (iv) muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Berdasarkan unsur sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut, maka kasus tersebut sejatinya telah memenuhi semua unsur dan layak dilanjutkan sehingga menurut hemat penulis dikeluarkannya SP3 adalah tidak tepat.
Meski penulis memberikan kritikan atas dikeluarkannya SP3 dan meminta kasus ini diproses, namun penulis berpendapat bahwa sanksi pidana dalam kasus tersebut lebih baik dihindari.
Dalam hal ini, penulis berpandangan bahwa kasus ini dilanjut namun sebisa mungkin menghindari sanksi pidana dan lebih menekankan pada semangat restorative justice karena sanksi pidana merupakan ultimum remidium.
Spirit Restoratif Justice
Penulis berpendapat bahwa meski seyogianya kasus ini dilanjutkan namun penulis lebih menekankan pada aspek restorative justice.
Menurut Joanna Shapland, Gwen Robinson, Angela Sorsby (2011) dalam buku yang berjudul “Restorative Justice in Practice Evaluating What Works for Victims and Offenders”, aspek utama dari restorative justice adalah adanya kepentingan umum yang dilindungi, deliberasi, tingkat kesalahan, serta proses penyelesaian sengketa di luar proses pengadilan dengan mengedepankan pada kepentingan korban.
Mengacu pada konsepsi restorative justice tersebut, dapat dilihat bahwa kasus yang diduga menyangkut orang nomor satu dan dua di Kabupaten Bojonegoro tentu memiliki dampak pada kepentingan umum.
Oleh karena itu, sudah seharusnya jika langkah restoratif justice diperlukan untuk meminimalisasi terciderainya kepentingan umum karena pihak yang terlibat merupakan Bupati dan Wakil Bupati.
Selanjutnya pada aspek deliberasi sejatinya berkaitan dengan aspek tingkat kesalahan yang layak dipidana. Mengacu pada analisis sebelumnya, chat sejatinya lebih ditujukan untuk kritik kinerja meskipun redaksi kata dan tempat penyampaiannya berpotensi tidak tepat dan tidak sesuai.
Selain itu, penulis menilai bahwa dalam aspek deliberasi selama hal itu bisa dibicarakan serta diselesaikan secara kekeluargaan maka hal tersebut lebih baik daripada diselesaikan di pengadilan.
Dalam aspek deliberasi dan tingkat kesalahan tersebut, penyelesaian sengketa dengan restorative justice dapat dilakukan dengan saling meminta maaf, “dunungan”, serta berkomitmen untuk tidak mengulangi perbuatan lagi.
Tentu hal ini memerlukan mediator dan penengah yang sesuai. Selanjutnya, dari aspek korban dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan menurut hemat penulis, permasalahan ini memang menyakiti “korban” tapi masih bisa diselesaikan secara kekeluargaan dengan saling meminta maaf dan “dunungan”.
Hal ini tentu lebih elegan dan sesuai mengingat masyarakat Bojonegoro juga menginginkan pemimpin mereka bersatu, setidaknya sampai masa jabatan berakhir.
Dengan penyelesaian secara kekeluargaan berdasarkan restorative justice, maka dalam kasus tersebut dengan mengutip pendapat dari Harry C. Bredemeier bahwa dibandingkan sebagai saran pemberian sanksi, hukum justru harus menjadi pengembalian tatanan sosial, singkatnya hukum harus menjadi sarana pengintegrasi (law is an integrative mechanism).
Dari aspek yuridis, kasus tersebut juga relevan untuk diselesaikan secara restorative justice, Nabs. Hal ini didasarkan pada Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif pada Pasal 4 yang menegaskan bahwa penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilakukan dengan memperhatikan: (i) kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi. Aspek pertama ini tentu terpenuhi terutama kepentingan hukum lain yaitu kepentingan masyarakat Bojonegoro supaya pemimpin mereka bisa harmonis dan bersatu tanpa mereduksi hak korban, (ii) penghindaran stigma negatif telah sesuai dengan kasus ini karena pihak yang terlibat adalah Bupati dan Wakil Bupati sehingga dengan penyelesaian secara restorative justice, diharapkan dapat menjadi teladan dan contoh bagi masyarakat, (iii) penghindaran pembalasan, hal ini penting untuk menghindarkan dampak negatif dari kasus ini, (iv) respon dan keharmonisan masyarakat, hal ini sangat relevan karena masyarakat Bojonegoro tentu menginginkan pemimpin mereka harmonis sebagaimana saat mencalonkan diri dalam Pilkada, serta (v) kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum, aspek ini jelas terpenuhi karena jika dilihat dari tingkat kesalahannya dan ketercelaannya, kasus tersebut dapat diselesaikan dengan cara meminta maaf, saling “dunungan”, serta dapat memberikan teladan yang baik di masyarakat.
Penulis berharap dari tulisan ini kasus tersebut dapat selesai dengan pendekatan restorative justice meskipun penulis juga mengkritisi penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Meski begitu, penulis tetap berpegang teguh bahwa hukum (termasuk hukum pidana) tidak boleh identik dengan sanksi. Selama masih ada “cara lain” yang patut, relevan, dan bisa mengembalikan tatanan sosial maka hukum harus hadir sebagai solusi yang mampu membahagiakan rakyatnya. Hukum yang digerakkan oleh teks tertulis, pada masanya akan usang dan hancur oleh gempuran konteks yang kian berkembang.
Hukum harus ditegakkan dengan ide, cita-cita, kesantunan, serta moralitas yang berkembang di masyarakat. Tanpa ide, cita-cita, kesantunan, serta moralitas, hukum hanyalah seperangkat peraturan tertulis yang kehilangan ruh bernama keadilan. Semoga saja, ke depan pendekatan restoratif justice mampu menjadi solusi dari permasalahan ini, Nabs.