Suluk Ekologi dibangun atas dua pilar metodologi: pengalaman ekspedisi, dan pengamalan data literatur melalui kegiatan berdiskusi.
Kami melakukan transek lapangan dalam rangka mengenal, memahami, dan mencari data pada sabtu pagi (3/5/2025). Hasil amatan itu yang kemudian kami diskusikan bersama. Kegiatan ekspedisi-diskusi (ekspediskusi) ini, merupakan bagian dari tradisi pembelajaran Suluk Ekologi.
Studi Luar Kampus: Ekosistem Alam dan Local Genius (Suluk Ekologi), merupakan kegiatan belajar bersama yang membahas ekologi dalam berbagai paradigma. Kegiatan dibina Pak Noer Fauzi Rachman ini, adalah bagian dari program studi dalam Civitas Bhinnasrantaloka.
Local genius (kearifan lokal) harus dijaga, harus dipahami, dan harus dilestarikan. Dan yang pantas menjaga, memahami, dan melestarikan local genius di sebuah tempat, adalah generasi muda di tempat itu sendiri. Dari alasan itulah, Suluk Ekologi dihadirkan.
Doktrin Suluk Ekologi adalah belajar sepanjang masa. Berapapun usianya, manusia hanya akan hidup sekali. Dan di dalam keterbatasan hidup itu, belajar tetap sebuah kewajiban. Artinya, selama masih manusia dan belum pikun, selalu punya kepantasan sosial untuk mengalami belajar.
Proses belajar, tentu bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Bisa diformalkan dengan bermacam agenda. Jika tidak ditakdir belajar di kampus ternama, kita sendiri yang harus menciptakan ekosistemnya. Studi Luar Kampus (SULUK), adalah spirit menciptakan ekosistem itu.
Suluk Ekologi dibangun atas metode ekspedisi dan diskusi —- menyelaraskan pengalaman ekspedisi dan ketelatenan membaca literatur, kemudian mengamalkannya dalam diskusi. Melalui ekspediskusi, kami belajar mengenali lapangan dan memahami literatur.
Ekspedisi Lapangan
Datang dari Jakarta sejak dini hari, Pak Noer Fauzi Rachman (Om Oji) mengajak kami untuk transek (ekspedisi) lapangan pada sabtu, 3 Oktober 2025. Kegiatan yang dimulai sejak pagi hingga malam hari tersebut, kami awali dari Bukit Sotasrungga (Malo).

Di usianya yang sudah 60 tahun, Dosen Psikologi Lingkungan Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung itu masih bersemangat melakukan penelitian. Spiritnya melebihi kami yang masih muda-muda. Beliau, bahkan masih mau memimpin kami saat melintasi semak dan tebing Sotasrungga.
“Kalian yang muda-muda, harus tahu ini namanya batuan karst. Hanya pohon-pohon tertentu saja, yang bisa mengambil gizi dari batuan ini” Ucap Om Oji, sambil menunjuk batuan di depan kami.
Salah satu pendiri Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) itu mengajak kami tafakuran di Puncak Sotasrungga. Menyaksikan kemegahan pohon ficus raksasa, sembari mengenal, memahami, dan mengakrabinya sebagai bagian dari bumi hidup manusia.
Baca Juga: Berkomunikasi dan Mendengar Pohon Bercerita
Om Oji mengajarkan pada kami cara mengakrabi pepohonan raksasa itu. Ia juga mengajarkan tentang Etika Forestry, bahwa manusia harus punya kesantunan ekologis saat berada di hutan. Kesantunan ekologis, hanya muncul atas prinsip keberlanjutan dan keberpihakan terhadap alam.

Di Sotasrungga, kami diminta belajar mempertajam semua indera. Baik itu indera penglihatan (mata), pendengaran (telinga), penciuman (hidung), pengecapan (lidah), maupun indera peraba (pori-pori kulit). Sebab, alam berkomunikasi dengan indera manusia. Termasuk pori-pori kulit.
Ia mengajak kami semua merasakan sensasi mengunyah daun sambiloto dan tapakliman. Sebab, indera manusia butuh pengalaman untuk menghimpun data. Tak ayal, kami pun gaber-gaber merasakan pahitnya dedaunan itu dikunyah secara lawaran.
Akademisi yang mendalami bidang Environmental Science di Universitas California Berkeley ini, juga mengajarkan pada kami konsep ekopsikologi — mekanisme pohon berdialektika dengan organisme di sekitarnya, termasuk manusia, dalam mengorkestrasi sistem hidrologi.
Ujung akar ficus, kata Om Oji, serupa jarum yang mampu mengambil gizi batuan karst. Kemampuan mengambil gizi bebatuan karst ini, tak dimiliki semua jenis pohon. Ini alasan utama kenapa di Sotasrungga, banyak pohon ficus raksasa yang tetap hidup meski berada di atas bebatuan karst.
Pendiri Pondok Cikedokan Garut itu meminta kami untuk menyaksikan secara langsung betapa hebatnya akar-akar pohon ficus yang berjibaku mengikat tebing, sehingga tebing curam itu tak jatuh. Keberadaan pohon ficus memang “At-Tin” yang jadi bukti atas: Hadhal Baladil Amin.
Di sejumlah spot perjalanan, Om Oji kerap meminta kami untuk berhenti, kemudian ia menerangkan nama-nama, jenis, fungsi, hingga di mana referensi ilmiah tentang subjek ekologis itu bisa kami baca. Tak lupa, ia meminta kami semua untuk berterimakasih kepada pohon ficus Sotasrungga.
Sebab, pohon ficus adalah konservator alami. Kemampuannya menjaga stabilitas dan ketersediaan air, terbukti sejak ratusan hingga ribuan tahun. Om Oji berpesan, manusia seperti kita tak boleh berlagak pintar dan ngatur-ngatur di hadapan pohon ficus.
“Tugas manusia hanya belajar dan melindungi, jangan sekali-kali mengintervensinya. Sebab, pohon ficus ini lebih berpengalaman daripada kita” Tegas Dewan Pembina Sajogyo Institute Bogor tersebut.
Puncak Bukit Pagerwesi
Pasca turun dari Bukit Sotasrungga, kami melanjutkan perjalanan ke dataran tinggi Pagerwesi, sebuah perbukitan batu yang puncaknya dikenal dengan puncak Pertapan. Serupa Sotasrungga, kawasan Bukit ini juga bagian dari baris Pegunungan Kendeng Utara.
Tempat ini berada di atas pemukiman, dengan komposisi tanah berwarna merah kecoklatan. Di atas puncaknya, terdapat batu pertapan yang bentuk dan ukurannya mirip panggung. Sementara di atas batu pertapan itu, terdapat pohon besar dengan daun yang rindang.
Sekali lagi, Om Oji meminta kami semua menyaksikan dahsyatnya alam. Sebab, di atas batu pertapan itu, adalah pohon ficus — pohon yang Tuhan bersumpah dengan namanya. Om Oji meminta kami mengamati tempat itu menggunakan ketajaman semua panca indera. Sehingga kami mengumpulkan data berbasis amatan empiris.

Setelah melakukan pengamatan dan diskusi pendek di Bukit Pertapan Pagerwesi, kami memutuskan untuk turun dan pulang. Di tengah perjalanan, Om Oji memberi kami sanad ijazahan berupa jurnal ilmiah untuk kami pahami. Jurnal inilah yang keesokan harinya kami diskusikan bersama.
Keponakan Mansour Fakih itu selalu berpesan, seorang Pesuluk Ekologi harus suka membaca buku. Baik itu Kitab Hijau, Kitab Kuning, maupun Kitab Merah sebagai pedoman melewati Lalu Lintas kehidupan. Menguasai lapangan memang penting, tapi memahami literatur juga sangat perlu.
Diskusi Literatur
Hasil pengamatan ekspedisi tak boleh dibiarkan memudar. Namun harus diawetkan sebagai relief keilmuan. Sejak pagi sekali, Om Oji meminta kami semua untuk menggelar diskusi. Khususnya membahas Jurnal Ilmiah yang sebelumnya telah kami pelajari.
Om Oji tak hanya meminta kami lihai mengenali lapangan, tapi juga meminta kami untuk telaten membaca bermacam literatur. Dalam kaitan Suluk Ekologi, beliau mendorong kami untuk membaca dan mempelajari konsep Ekopsikologi ala Theodore Roszak, Climate History-nya Dipesh Chakrabarty, dan Ecological Refleccifity-nya J. Pickering — untuk dipahami dan dibahasakan secara awam.

Jika sebelumnya Om Oji mengajarkan kami untuk merasakan besarnya ikatan psikologis dengan alam, melalui diskusi ini, Om Oji meminta kami untuk berpikir dalam skala lebih luas: Skala Bumi — bahwa keberadaan kita di bumi, punya potensi sebagai perusak sekaligus penyelamat ekosistem bumi.
Om Oji menjelaskan bagaimana Alam berubah menjadi Sumber Daya Alam. Penempelan kata “Sumber Daya” pada kata Alam, adalah proses komodifikasi Alam menjadi barang dagangan. Setelah diubah dengan nilai uang, maka kata Alam akan dilepas, sehingga yang tersisa hanya Sumber Daya saja.
“Alam akan hilang setelah di-sumberdaya-kan. Ia hanya akan jadi komoditas. Karena itu, harus ada yang mau membela Alam” ucap Om Oji.
Dalam diskusi itu, Om Oji juga bercerita tentang bagaimana kondisi bumi yang kini sedang tidak baik-baik saja. Di 25 tahun terakhir, misalnya, kata Om Oji, sudah ada pulau sampah plastik di tengah lautan. Sementara kita tak pernah menyadari bahwa selama ini, kita juga jadi bagian dari para penyumbang sampah plastik itu.
“Karena itu, sekecil apapun kepedulian kita pada lingkungan sekitar, punya dampak besar bagi bumi secara keseluruhan”. Pesan Om Oji.
Suluk Ekologi dibangun atas dua pilar metodologi: pengalaman ekspedisi, dan pengamalan data literatur melalui diskusi. Kegiatan ini memang kecil saja belum. Namun, sekecil apapun itu, akan membawa makna di tengah hamparan bumi. Sebab, Suluk Ekologi ibarat pohon ficus yang bisa hidup di atas tanah, di kanal air, maupun di bebatuan karst Pegunungan Kendeng.