Syekh Syahid Kembangan adalah penyebar islam di wilayah Kalitidu dan Gayam Bojonegoro. Beliau juga salah satu pilar hubung jejaring ulama Padangan pada abad ke-19.
Nama Kiai Muhammad Syahid memang kurang dikenal. Namun, peran dalam persebaran islam abad ke-19 (periode 1800 M), cukup besar. Khususnya di wilayah Kalitidu dan Gayam Bojonegoro. Beliau figur ulama waliyyun minauliyaillah nan masyhur alim alamah.
Tulisan ini lanjutan dari riset Ekspedisi Jejak Leluhur Bani Jojogan yang kami lakukan demi menauladani sisi baik leluhur. Baik dalam hal ubudiyah atau muamalah. Sehingga yang kami tahu tak hanya kisah karomah. Tapi juga cara beristiqomah.
Nama Syekh Al Hajj Muhammad Syahid Alfadangi, tertulis di salah satu lembar Manuskrip Padangan, sebagai bagian dari jejaring penyebar islam di Jipang Padangan. Beliau berdakwah di wilayah Kalitidu, Gayam, Kemiri Malo, hingga Ngasem, pada periode 1800 masehi.
Kiai Syahid Kembangan merupakan ulama dzuriyah Syekh Abdul Jabbar. Kiai Syahid juga bersanad genealogi dan berafiliasi secara langsung dengan para ulama Fiddarinur (ulama yang berdakwah di Jipang Padangan pada 1700 – 1800).
Nasab dan Sanad Ilmu Kiai Syahid
Beliau bernama Muhammad Syahid (1810-1920 M), lahir di Padangan. Beliau ulama berumur panjang. Wafat pada usia sekitar 110 tahun. Sesuai Manuskrip Padangan, nasabnya tercatat sebagai berikut: Kiai Syahid bin Syihabuddin bin Istad bin Juraij bin Anam bin Syekh Abdul Jabbar.
Dari garis ibu, ibu Kiai Syahid bernama Nyai Syibti (Nyai Syihabuddin), yang merupakan adik kandung dari Syekh Abdurrohman Alfadangi (Mbah Abdurrohman Klothok). Kiai Syahid merupakan keponakan dari Syekh Abdurrohman Alfadangi (sohib Manuskrip Padangan).
Kiai Syahid ulama berumur panjang. Beliau lahir dan tumbuh dalam keluarga Syihabuddin yang masyhur kesalehannya. Ayahnya, Kiai Syihabuddin, memiliki 7 anak yang mayoritas para penyebar islam di wilayah Jipang Padangan. Kiai Syahid adalah anak terakhir dari 7 bersaudara.
Diantara putra-putri Kiai Syihabuddin adalah: Kiai Abdul Latif, Nyai Muhammad Jono, Kiai Abdullah Padangan, Kiai Tohir Betet, Kiai Murtadho Kuncen, Nyai Syamsuddin Betet, dan terakhir Kiai Syahid Kembangan. Hampir semuanya punya peran dalam persebaran islam.
Dalam sanad keilmuan, Kiai Syahid belajar pada ayah dan kakak-kakaknya. Kiai Syahid juga belajar secara langsung pada pamannya, yakni Syekh Abdurrohman Alfadangi (Mbah Durrohman Klothok). Tak hanya itu, beliau juga beberapa kali ke Makkah untuk berhaji dan belajar.
Kiprah Kiai Syahid Kembangan
Serupa saudara-saudaranya, kelak setelah dewasa, Kiai Syahid ditugasi ayahnya berdakwah di sebelah timur Tlatah Padangan. Beliau memilih lokasi dakwah di sisi bantaran Bengawan Solo, Dusun Kembangan, Gayam. Di sana, beliau mengajar dan menerima santri. Ini alasan beliau dikenal Kiai Syahid Kembangan.
Pada medio 1800-an, Dusun Kembangan Gayam pernah masyhur sebagai pusat persebaran islam. Bahkan, bias pengaruhnya mencapai Kalitidu, Gayam, Ngasem, hingga Malo. Hanya, seiring berjalannya waktu, reruntuhan dakwah Kiai Syahid tak dapat ditemui lagi.
Seperti umumnya ulama abad 19, Kiai Syahid memiliki peninggalan kitab. Sayangnya, peninggalan beliau sudah banyak yang hilang. Mayoritas ulama dari Padangan, punya kecenderungan memilih pusat dakwah di sisi bantaran Bengawan Solo. Ini alasan peninggalan intelektual berupa kitab ilmiah banyak yang hilang akibat terjangan banjir.
Selain hamilul Quran, Kiai Syahid dikenal ahli kanuragan. Beliau sosok kiai dokdeng yang kemana-mana dikawal khodam macan. Santri-santrinya juga identik punya kejadugan Lembu Sekilan. Hal ini tentu kontekstual terhadap zaman. Sebab, beliau berdakwah di bawah todongan senjata penjajah Belanda.
Salah satu penerus Kiai Syahid yang cukup populer adalah KH Muntaha (Mbah Ho). Mbah Ho adalah keponakan dari Kiai Syahid. Mbah Ho adalah putra terakhir dari Nyai Syamsuddin, kakak kandung Kiai Syahid. Tak heran jika Mbah Ho masyhur ulama pejuang yang identik ilmu kejadugan dan ahli kanuragan.
Mbah Ho merupakan ulama pendekar yang sangat ditakuti penjajah. Beliau panglima Laskar Hizbullah Padangan. Bersama Mbah Sholeh Ngerong dan Mbah Zaini Mruwut, Mbah Ho sosok ulama yang memprakarsai adanya peringatan Haul Mbah Abdul Jabbar Nglirip Tuban untuk pertamakalinya.
Kiai Syahid Kembangan wafat dan dimakamkan di pemakaman umum Tenggor, Gayam. Makam beliau konon sudah dipugar dan diberi cungkup beberapakali. Namun, cungkup sempat rusak dan hilang karena kontur tanah di lokasi makam yang tidak stabil.
Jaringan Ulama Padangan dan Singgahan
Islam di Padangan dan Singgahan memang tercatat sepuh. Bahkan, memiliki hubungan genealogi yang kuat sejak abad ke-17 (1600). Pada abad ke-19 (1800), Kiai Syahid beserta keluarga Syihabuddin punya peran besar dalam persebaran islam di wilayah Padangan, Rengel, dan Singgahan.
Syekh Syihabuddin, ayah dari Kiai Syahid, memiliki lima anak lelaki, diantaranya: Kiai Abdul Latif, Kiai Abdullah Padangan, Kiai Tohir Betet, Kiai Murtadho Kuncen, dan Kiai Syahid Kembangan. Dan dua anak perempuan: Nyai Muhammad Jono dan Nyai Syamsuddin Betet.
Dari data yang dihimpun, putra-putri Syekh Syihabuddin mayoritas memiliki peran dalam pembangunan jalur dakwah di kawasan Jipang Padangan dan Tuban selatan (wilayah Rengel dan Singgahan) pada abad ke-19, melalui konsep genealogi kekeluargaan.
Nyai Syamsuddin Betet merupakan istri dari Syekh Syamsuddin Betet. Nyai Betet dukaruniai 7 anak. Diantara anaknya adalah Nyai Abdul Qodir (istri KH Abdul Qodir Pethak), yang kelak menurunkan Syekh Ahmad Basyir Pethak hingga Syekh Sulaiman Kurdi Makkah.
Nyai Muhammad Jono adalah istri Kiai Jono (Demang Jono) dari Mayang, Kerek, Tuban. Nyai Muhammad Jono adalah ibu dari KH Madyani Ishak Rengel Tuban, salah seorang ulama kharismatik penyebar islam di daerah Rengel, Tuban hingga sebagian kawasan Gresik.
Kiai Murtadho Kuncen adalah kakek dari KH Muslich (Mbah Shoim), pendiri Ponpes Tanggir Singgahan. Kiai Murtadho memiliki putri bernama Nyai Mu’isyah, dinikahkan dengan KH Abdul Karim Singgahan dan melahirkan KH Muslich (Mbah Shoim), pendiri Ponpes Tanggir.
Jejaring ulama yang membentang dari Jipang Padangan hingga Tuban selatan tersebut, berpusat di Klothok Padangan. Yakni, di pondok pesantren milik Syekh Abdurrohman Alfadangi, yang tak lain adalah paman mereka sendiri. Jalur dakwah ini juga jadi basis perlawanan terhadap kaum penjajah Belanda.
Koridor dakwah yang menghubungkan Padangan dan Singgahan, sesungguhnya sudah terbangun sejak tiga abad sebelumnya (1600), di era Syekh Sabillah Menak Anggrung dan Syekh Abdul Jabbar Nglirip Tuban, yang tak lain adalah leluhur dari keluarga Syihabuddin.
Jalur dakwah Padangan – Singgahan pada abad ke-17 (1600), berpusat di Kedung Pakuncen (Ponpes Menak Anggrung). Sementara jalur dakwah Padangan – Singgahan pada abad ke-19 (1800), berpusat di Klothok Padangan (Ponpes Syekh Abdurrohman Alfadangi).