Ada kontribusi besar dari para dzuriyah Mbah Jabbar dan jejaring ulama Fiidarinnur dalam Perang Jawa di wilayah Kota Bojonegoro. Raden Yahya Klangon adalah perpaduan dua energi itu.
Nama Raden Yahya Klangon tak banyak diperbincangkan. Lokasi makamnya pun tak banyak yang tahu. Padahal, beliau punya kontribusi dalam peradaban islam di wilayah Kota Bojonegoro. Hal itu mendorong kami melakukan tracing makam dan peninggalan jejak hidup figur bernama Raden Yahya tersebut.
Tulisan ini lanjutan dari riset Ekspedisi Jejak Leluhur Bani Jojogan yang kami lakukan demi menauladani sisi baik leluhur, khususnya dalam hal ubudiyah dan muamalah. Sehingga yang kami tahu tak hanya kisah karomah, tapi juga bagaimana beristiqomah.
Raden Yahya disinggung dalam salah satu lembar manuskrip, sebagai salah satu jejaring ulama yang berkiprah pada periode 1800 M di kawasan Kota Bojonegoro. Beliau punya jasa dalam persebaran islam di kawasan Klangon, Kauman, Ledok, hingga Sranak Trucuk (sisi bengawan Kota Bojonegoro).
Raden Yahya termasuk ulama yang memiliki pengaruh, terutama dalam hal peradaban islam di kawasan bantaran Sungai Bengawan Solo. Karena itu, meski tak mudah, itikad dan upaya pencarian terhadap jejak beliau harus tetap ada, bagaimanapun hasilnya.
Penelusuran jejak Raden Yahya hampir mustahil kami temukan. Sebab, satu-satunya informasi yang kami punya, hanya tulisan kecil di salah satu lembar manuskrip. Tak ada informasi lain yang bisa kami baca. Namun ada semacam keyakinan, sosok yang kami cari pasti akan ditemukan. Hal itu mendorong kami terus melanjutkan observasi.
Secara ilmiah, ulama adalah episentrum energi positif. Tiap episentrum, punya frekuensi energi yang bisa mengintervensi alam semesta untuk mempertemukan gelombang yang sama. Serupa jodoh, gelombang energi yang memiliki kecocokan, pasti akan berjumpa. Bagaimanapun keadaannya.
Begitulah. Setelah hampir menyerah melakukan pencarian, langkah kami terhenti di sebuah makam yang terletak di sudut Kelurahan Klangon. Tempat yang hampir tiap hari kami lintasi, tapi tak pernah kami sadari. Lokasinya memang cukup sulit ditemukan. Sebab, tak berada di makam umum. Posisinya tepat berada di bawah tanggul Kelurahan Klangon. Di sanalah, Raden Yahya dikebumikan.
Kebenaran lokasi makam juga terkonfirmasi secara langsung oleh salah satu dzuriyah Mbah Yahya yang kebetulan masih bisa kami akses. Hal ini memperkuat keyakinan kami bahwa Mbah Klangon memang benar-benar ada, dan memiliki kontribusi syiar islam di Kawasan Kota Bojonegoro.
Selama ini, makam Raden Yahya cukup dikeramatkan. Tapi tak banyak yang tahu jika sosok yang bersemayam di sana adalah seorang ulama. Makam beliau dikenal dengan nama Makam Keramat Mbah Canggah. Ini wajar karena di kawasan makam tak meninggalkan identitas apapun. Sehingga masyarakat sekitar pun kurang tahu.
Pada 1960/1970 (Orde Baru), makam beliau bahkan sering diziarahi masyarakat luar kota untuk mencari pusaka dan bertawasul atas hajat-hajat yang diinginkan. Kesan angker tentu terbangun dari sana. Sayangnya, tak banyak yang tahu jika sosok yang diziarahi adalah ulama besar Kota Bojonegoro.
Dalam salah satu lembar manuskrip, tertera nama Kiai Yahya Kauman Klangon Bojonegoro. Beliau ulama yang syiar dan berdakwah di kawasan Kota Bojonegoro pada awal 1800. Tepatnya di kawasan yang saat ini kita kenal dengan nama Kauman Klangon.
Beliau juga dikenal dengan nama Mbah Yahya Kauman. Ini karena waktu itu, Kauman adalah dukuh (bagian dari kelurahan) Klangon, sebelum berdiri sendiri sebagai Desa Kauman seperti saat ini. Beliau berdakwah di beberapa kawasan. Diantaranya; Klangon, Kauman, Ledok, hingga Sranak Trucuk.
Peradaban Islam kawasan Kota
Secara solitere (perorangan), islam masuk di kawasan Kota Bojonegoro sudah sangat lama. Tapi secara peradaban (ditandai gerak kolektif dan corak pemukiman), islam di kawasan kota diyakini bermula bersamaan dengan berdirinya Masjid Agung Darussalam Bojonegoro.
Pembangunan peradaban islam secara masif memang digencarkan pada era Perang Jawa (1825-1830). Ini tak hanya terjadi di Kota Bojonegoro, tapi hampir di semua wilayah Pulau Jawa. Sebab, pada periode ini, terdapat gelombang besar ulama turun gunung ke berbagai penjuru Pulau Jawa untuk berjuang dan syiar.
Dalam tesis berjudul Masjid Agung Darussalam Bojonegoro karya mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya, Dwi Sri Wijayanti, dijelaskan bahwa Masjid Agung Darussalam Bojonegoro didirikan pada tahun 1825 oleh seorang Laskar Diponegoro dalam Perang Jawa, yang bernama Pangrehing Projo (Patih Pahal).
Pangrehing Projo adalah patih Kadipaten Rajekwesi di era kepemimpinan Adipati Djojonegoro (1825-1827). Pangrehing Projo lebih dikenal dengan nama Patih Pahal. Pangrehing Projo atau Patih Pahal inilah, sosok penting yang mewakafkan tanah pribadinya untuk pendirian Masjid Agung Darussalam Bojonegoro.
Besar kemungkinan, Patih Pahal juga seorang ulama. Beliau punya peran besar dalam pengembangan peradaban islam di kawasan Kota Bojonegoro. Ini berdasar dua alasan. Pertama, beliau panglima Laskar Diponegoro. Kedua, mewakafkan tanah pribadi untuk pembangunan masjid. Hanya ulama yang mampu melakukan dua hal itu di era 1800 masehi.
Pada 1825, Patih Pahal bersama masyarakat dan para pedagang Keturunan Arab yang berada di kawasan Kota Bojonegoro, mendirikan masjid yang kelak kita kenal dengan nama Masjid Agung Darussalam Bojonegoro — pusat peradaban islam kawasan Kota Bojonegoro.
Raden Yahya datang ke Kota Bojonegoro pada periode 1810. Artinya, Raden Yahya sudah berada di kawasan Kota Bojonegoro beberapa saat sebelum Patih Pahal membangun Masjid Darussalam. Ini bukti penting bahwa Patih Pahal sezaman dengan Raden Yahya. Beliau berdua sosok yang berkoneksi.
Geger Geden Perang Saudara
Dari berbagai literatur sejarah, menyebut bahwa pada periode (1825-1830), Kota Bojonegoro terjadi dua perang sekaligus. Perang antara Laskar Diponegoro vs Belanda (Perang Jawa), dan perang internal antara Adipati Djojonegoro vs Adipati Sosrodilogo dalam perebutan kekuasaan tahta Kota Bojonegoro.
Geger geden antara Adipati Djojonegoro dan Adipati Sosrodilogo ini, adalah siasat divide et impera Belanda. Kompor ultra panas dari Belanda ini, bertujuan untuk nggembosi kekuatan tempur Laskar Diponegoro yang berada di Kota Bojonegoro. Hal ini sangat berpengaruh terhadap lini gerak para ulama di kawasan Bojonegoro saat itu.
Ikatan Bani Mbah Jabbar
Syekh Abdul Jabbar (Mbah Jabbar) figur yang sangat anti dengan Belanda. Anak cucu dan dzuriyahnya pun, dipastikan memiliki karakter yang tak jauh berbeda. Banyak dzuriyah Mbah Jabbar yang punya peran besar dalam perlawanan terhadap Belanda pada era Perang Jawa. Khususnya di Kota Bojonegoro.
Di tengah geger geden antara Adipati Djojonegoro dan Adipati Sosrodilogo, Patih Pahal dan Raden Yahya Klangon adalah dua ulama yang bahu membahu menenangkan kondisi masyarakat di kawasan Kota Bojonegoro kala itu. Raden Yahya dan Patih Pahal kemungkinan besar memiliki koneksi yang cukup kuat.
Terkait siapa sosok Patih Pahal (Pangrehing Projo) ini, kami masih terus melakukan observasi dan pencarian. Ia sosok penting dalam pembangunan peradaban islam di Kota Bojonegoro. Beliau ulama dan patih yang mewakafkan tanahnya untuk pembangunan Masjid Besar Darussalam.
Serupa Raden Yahya, kemungkinan besar Patih Pahal atau Pahrehing Projo ini juga masih terhitung dzuriyah Syekh Abdul Jabbar. Sebab, ada kontribusi besar dari Bani Syekh Abdul Jabbar dan jejaring ulama Fiidarinnur dalam perlawanan para ulama di wilayah Kota Bojonegoro pada Perang Jawa (1825).
Nasab Mbah Yahya Klangon
Raden Yahya atau Syekh Yahya lahir di Kuncen Padangan (medio 1700 hingga akhir 1800). Nasabnya: Raden Yahya bin Syekh Syahiddin bin Kiai Anom bin Syekh Abdul Jabbar. Raden Yahya adalah cicit langsung dari Mbah Jabbar. Sementara ibu dari Raden Yahya (Nyai Syahiddin), adalah dzuriyah Syekh Sabil Padangan. Raden Yahya merupakan saudara kandung dari Syekh Abdurrohman Alfadangi.
Raden Yahya bagian dari lingkar besar Bani Kedung Pakuncen. Keluarga besarnya dimakamkan di Padangan. Raden Yahya tumbuh dan berkoneksi dengan jejaring Fiidarinnur — para ulama Bani Menak Anggrung yang berdakwah di Kadipaten Jipang pada periode 1700 – 1800 masehi.
Di belakang Raden Yahya, berdiri sederet nama seperti; Syekh Syamsuddin Betet, Syekh Munada Ali Husen, Syekh Syahiddin Alfadangi, Syekh Abdurrohman Alfadangi, Syekh Abdul Qodir Bringan, hingga Syekh Ahmad Rowobayan, yang tak lain adalah keranda dan para dzuriyah Syekh Sabil Menak Anggrung.
Nama-nama ulama dalam jejaring Fiidarinnur, masyhur ulama keramat yang tubuhnya tak bisa didekati Belanda. Penjajah harus jaga jarak jika tak ingin tubuhnya meledak. Serupa Mbah Jabbar, jejaring Fiidarinnur (para dzuriyah Menak Anggrung) adalah ulama-ulama yang anti dengan penjajah Belanda.
Raden Yahya atau Mbah Klangon adalah ulama yang merepresentasikan dua energi sekaligus. Di belakang nama Raden Yahya, ada sosok Syekh Abdul Jabbar dan Syekh Sabil Padangan (Menak Anggrung) yang tak lain adalah datuk dan leluhur beliau.
Peninggalan Mbah Yahya Klangon
Kami sudah berusaha secara maksimal mencari peninggalan Raden Yahya. Baik berupa catatan manuskrip atau yang lainnya. Tapi kami belum menemukannya. Besar kemungkinan beliau punya banyak karya tulis. Sebab, beliau adik kandung Syekh Abdurrohman, yang notabene ulama penulis produktif.
Tempat tinggal Raden Yahya berada di kawasan tak jauh dari makam beliau saat ini. Tanah di wilayah Tanggul Klangon, dulunya adalah tanah milik Raden Yahya. Dilihat dari luasnya kepemilikan tanah, besar kemungkinan beliau juga memiliki pondok pesantren. Sayangnya, sisa reruntuhannya pun hilang.
Banyak peninggalan Raden Yahya berupa karya tulis dan bangunan hilang diseret banjir. Ini wajar karena kawasan tempat tinggal beliau, berkali-kali di serang banjir besar. Hal serupa juga terjadi dengan karya-karya Syekh Abdurrohman, untungnya masih sempat diselamatkan.
Dzuriyah Raden Yahya (Mbah Klangon)
Raden Yahya punya banyak dzuriyah (anak cucu). Sayangnya, mayoritas tak banyak yang tahu. Mayoritas dzuriyah Raden Yahya berada di kawasan Klangon, Kauman, dan Ledok. Di tiga kawasan inilah, anak cucu Raden Yahya dulunya banyak tinggal dan bermukim.
Banyaknya dzuriyah yang tak saling tahu, disebabkan adanya link generasi yang terputus. Selain itu, banyak pula anak cucu beliau yang berada di luar kota. Sehingga, silaturahim terputus. Kami hanya mampu mengakses dzuriyah Raden Yahya dari jalur Ki Suro Projo. Ki Suro Projo ini, adalah salah satu putra/cucu Raden Yahya. Anak turun Ki Suro Projo masih tinggal di Bojonegoro.
Terkait keberadaan makam ini, kami bersama tim yang terdiri dari Ansor Kota Bojonegoro dan para pegiat sejarah, terus melakukan riset secara intensif. Benarkah makam Mbah Canggah adalah makam Mbah Yahya? Riset masih terus kami lakukan.