Thomas Woodrow Wilson adalah pria kelahiran Staunton, Virginia yang menjadi Presiden ke-28 Amerika Serikat. Dia lahir pada 28 Desember 1856. Lebih dari satu setengah abad yang lalu, dia tumbuh dalam kondisi Perang Sipil Amerika Serikat.
Perang tentu dapat membentuk nilai-nilai suatu bangsa. Perang juga dapat mempengaruhi sikap Wilson kecil, anak lelaki yang saat itu berusia empat tahun. Dia melihat kematian dan pembantaian tepat di halaman rumahnya. Ayahnya, seorang kepala Gereja, melayani yang sekarat di garis depan. Sedangkan ibunya merawat tentara yang terluka dan sekarat.
Wilson tumbuh dengan menorehkan prestasi yang cemerlang. Dia mengawali karirnya sebagai dosen. Kemudian menjadi kepala dari Princeton University. Namanya tersohor, hingga akhirnya dia masuk ke dunia politik. Dia sempat menjabat sebagai gubernur New Jersey. Kemudian dia dicalonkan sebagai kandidat presiden dari Partai Demokrat.
Dengan kampanye kreatif menggunakan film, Wilson terpilih menjadi presiden ke-28 Amerika Serikat. Tepatnya pada 1913-1921. Tahun pertama pemerintahan Wilson sebagai presiden, kondisi internal Amerika Serikat mengalami kemajuan dalam berbagai bidang. Ini berkat kebijakannya yang progresif di bidang perbankan, ekonomi, dan pajak.
Sayangnya, dunia internasional kala itu sedang carut marut. Utamanya di kawasan Eropa. Pada 1914, negara-negara Eropa mengibarkan bendera Perang Dunia I. Nah, pada awalnya, Presiden Wilson memosisikan Amerika Serikat sebagai negara yang netral.
Ini tentu bukan hal mudah. Apalagi, kala itu Jerman sempat memprovokasi dengan menenggelamkan kapal Inggris. Hal ini menyebabkan 128 rakyat Amerika Serikat meninggal.
Pada periode kedua kepemimpinannya sebagai presiden, Wilson masih tetap pada pendiriannya untuk tidak terlibat dalam perang. Bahkan, prinsip inilah yang membuat rakyat Amerika Serikat memilihnya kembali. Dia menang dengan suara mayoritas.
Upayanya menyuarakan perdamaian tidak berhenti pada internal negaranya. Dia juga muncul di panggung politik internasional. Dengan menempatkan Amerika Serikat sebagai mediator untuk mencapai perdamaian.
Presiden Wilson menyampaikan suatu pidato yang dikenal dengan “peace without victory”. Dia adalah sosok idealis yang juga mampu membaca resiko. Hal ini dapat dilihat dari makna mendalam dari pidato tersebut. Wilson menjelaskan dalam pidatonya:
“Kemenangan berarti perdamaian yang dipaksakan pada pihak yang kalah, syarat seorang pemenang akan dikenakan pada yang kalah. Itu akan diterima sebagai suatu penghinaan, di bawah paksaan …dan akan meninggalkan sengatan, kebencian, kenangan pahit yang dilabeli perdamaian. …perdamaian semacam ini tidak akan permanen, tetapi hanya sebagai pasir apung.”
Posisi netral Amerika Serikat bertahan, hingga terjadi perpecahan dalam opini publik mengenai perang. Hmm, kala itu, mau tidak mau, Presiden Wilson akhirnya ikut andil dalam Perang Dunia I.
Hanya status Amerika Serikat yang larut dalam perang. Idealisme dan prinsip Wilson tentang perdamaian tetap tumbuh. Dalam carut marut Perang Dunia I sekalipun. Kala Amerika Serikat menyatakan perang, Wilson memiliki perspektif yang berbeda. “A war to end war”, Wilson menyebutnya. Keputusannya untuk terlibat dalam Perang Dunia I adalah strategi lain untuk menghirup nafas perdamaian.
Presiden Wilson mampu menunjukkan hasil dari kegigihannya. Ia menyampaikan the Fourteen Points atau empat belas poin untuk mengakhiri peperangan pada 1918. Ringkasan dari empat belas poin Wilson diantaranya adalah tentang perjanjian damai, penyesuaian diantara pihak yang berkonflik, serta dibentuknya asosiasi negara. Asosiasi negara tersebut tidak lain adalah dibentuknya Liga Bangsa-Bangsa. Suatu wadah negara untuk menyelesaikan konflik melalui diplomasi.
Pada momentum negosiasi untuk mengakhiri perang di Versailles, Wilson mendapakan kekecewaan. Kongres menolak inisiasi Liga Bangsa-Bangsa. Termasuk legislatif Amerika Serikat juga menolak dibentuknya liga ini. Meski begitu, dunia internasional mengapresiasi kegigihan Wilson menginisiasi perdamaian dunia dengan penghargaan Nobel pada tahun 1919.
Wilson tidak menyerah memperjuangkan Liga Bangsa-Bangsa yang dia pandang sebagai wadah terciptanya damai. Hingga akhirnya tubuhnya menyerah pada penyakit stroke, pada September 1919.
Dia menolak turun dari jabatan presiden. Sebab masih ada pekerjaan yang belum terselesaikan. Lagi-lagi, bukan semangatnya yang menyerah. Tapi raganya yang akhirnya menyerah. Dia meninggal pada 3 Februari 1924.
Nah Nabs, banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari sosok Woodrow Wilson. Seseorang yang tumbuh dalam perang antar saudara. Melihat pembantaian di halaman rumah, tempat di mana dia seharusnya bermain.
Dia tumbuh menjadi seseorang yang masih percaya pada nafas perdamaian dunia. Walaupun dihadapkan pada perang paling destruktif sepanjang sejarah Eropa. Jadi, jangan menyerah untuk percaya pada perdamaian yah, Nabs. Kita juga harus menghembuskan nafas damai itu di tanah air kita.